Mengupas Jejak dan Kontribusi Tokoh Perdamaian Perempuan, Ni Wajan Gedong Bagoes Oka

Ibu Gedong Bagoes Oka merupakan seorang perempuan Bali yang menganut agama Hindu. Ia dikenal dengan manifestasinya pada ajaran Gandhi, yang mana dengan sebuah perjalanan ini ia menemukan makna kehidupan seutuhnya.

Oleh Arie Riandry Ardiansyah

Tokoh dan kontribusinya merupakan bagian dari dinamika sejarah, seperti apa yang dikatakan oleh beberapa pendapat, bahwa pemikiran seseorang akan terus abadi dalam kepala masyarakat yang mempelajarinya. Di Indonesia banyak beberapa tokoh baik pejuang reformasi, intelektual, hingga agama. Tapi pernahkah kita sesekali melihat buku catatan sejarah? Yang dimana catatan sejarah didominasi oleh kaum laki-laki. Padahal disamping itu ada beberapa tokoh perempuan yang turut membangun peradaban sejarah. Kita seringkali menyebutkan tokoh perdamaian Indonesia itu pasti KH. Abdurrahman Wahid atau sering disapa dengan Gus Dur, padahal jika kita menelisik lebih dalam lagi Indonesia sendiri mempunyai tokoh perdamaian perempuan, yaitu Ibu Gedong Bagoes Oka. Ibu Gedong sendiri merupakan sahabat dari Gus Dur, mereka turut andil dalam memperjuangkan kesetaraan serta keberagaman.

Ibu Gedong Bagoes Oka merupakan seorang perempuan Bali yang menganut agama Hindu. Ia dikenal dengan manifestasinya pada ajaran Gandhi, yang mana dengan sebuah perjalanan ini ia menemukan makna kehidupan seutuhnya. Ibu Gedong lahir sebagai tokoh pendobrak dari ajaran-ajaran filsafat Hindu, dikarenakan pada saat itu masyarakat Hindu Bali lebih menekankan pada ritus yang terjebak dalam kultur feodal.

Meskipun lahir pasca-kemerdekaan, ia sering kali merasakan bagaimana perempuan-perempuan (khususnya di Bali) pada saat itu cukup dogmatis, keterbelakangan pendidikan, termajinalkan oleh kultur patriarkis. (Artadi, 1993)

Ibu Gedong lahir di keluarga yang menguntungkan, karena ayahnya yang berpikiran modern, ia dapat melanjutkan pendidikan yang lebih layak dibandingkan dengan perempuan lainnya. Kesempatan ini merupakan dari jalan untuk dirinya agar bisa membebaskan perempuan di Bali yang memiliki keterbelakangan pendidikan. 

Pluralisme Gedong Bagoes Oka

Disamping itu Ibu Gedong merupakan seorang Hindu yang taat pada ajarannya. Banyak hal yang menjadi fokus perhatiannya. Diantaranya pada pemikiran mengenai pluralisme, agama, pendidikan, kerukunan, hingga lingkungan. (Interfidei, 1998) Dalam menjalani semuanya itu Ibu Gedong sangat terpengaruh oleh pemikiran dan ajaran hidup Gandhi yang merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran Hindu. 

Menurutnya, dalam problematika pluralisme, interpretasi mengenai ketuhanan bersandar pada agama universal (universal religion) dengan memegang prinsip “God is Truth”. Menurut beliau, hal ini pula yang menjadi renungan sosok Gandhi sembari menyediakan diri untuk Seva-pengabdian untuk masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa tentang interpretasi God is Truth ini didekontruksi menjadi Truth is God. Mengganti kata Tuhan dengan kebenaran imanen, maka akan terbukanya ruang kerukunan antar sesama agama, bahkan juga dengan mereka yang tidak mengakui akan eksistensi Tuhan dapat disangkal dengan pola pikir kebenaran, karena sejatinya mereka tidak dapat mengingkari kebenaran.

Gedong Bagoes Oka dan Pendidikan

Perhatian Ibu Gedong dalam hal pentingnya pendidikan sebagai kualitas manusia sesungguhnya dapat disimak dari rasa keprihatinannya, ia mengutamakan aspek nilai pendidikan dan juga prioritas pendidikan watak dan juga budi pekerti. Menurutnya dunia pendidikan harus selaras yang diucapkan oleh Gandhi “pendidikan harus menggali segala sesuatu yang paling baik dan esensial dalam diri manusia”. Artinya dengan pendidikan manusia harus menjadi haus akan segala hal serta mengulik apa itu pendidikan bagi diri manusia itu sendiri. 

Pemberdayaan Perempuan

Mengenai problematika pada perempuan, Ibu Gedong membuktikan perhatiannya dengan mendirikan sebuah lembaga atau yayasan Kosala Wanita dan yayasan kesejahteraan perempuan. Keduanya mempromosikan pemberdayaan perempuan di tengah dunia dunia patriarkis. Dalam pandangannya ibu Gedong menyatakan bahwa perempuan harus terbebas dari yang namanya buta huruf dan oleh Karena itu perempuan harus berpendidikan serta memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam memajukan kesejahteraan bangsa dan negara.

Baca Juga :   Pramoedya Ananta Toer  dalam Sejarah Sastra  Indonesia

Ibu Gedong adalah wajah inspirasi yang tiada habisnya. Beliau merupakan wajah bahwa perempuan bisa berbuat banyak untuk kemajuan umat manusia dan kerukunan beragama. Tak hanya berhenti di situ, beliau merupakan pribadi yang tak ada henti-hentinya memperjuangkan masyarakat dan bangsanya. Perjuangan di bidang spiritual; berlangsung sejak dini hingga dirinya menikah dengan I Gusti Bagoes Oka.

Kehidupannya sendiri merupakan suatu pesan atas keniscayaannya bahwa perempuan dapat mengatasi dan mampu membuat mereka didengar baik pada tingkat lokal maupun internasional. Beliau merupakan perempuan pertama Bali yang menduduki parlemen Indonesia (1986), anggota MPR (1999), salah satu bagian dari presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) yang terletak di New York dan anggota pengurus Sarvodaya International Trust yang berkedudukan di New Delhi dan Anggota yayasan Kehati.

Yang tak pernah terlupakan hingga saat ini adalah Yayasan Ashram Gandhi yang masih eksis hingga saat ini juga, hal itu merupakan sebuah peninggalan dari manifestasi gagasannya, yang mengajarkan kerukunan antar umat beragama, hidup toleransi antar agama, vegetarian, emoh kekerasan dan etika terhadap lingkungan.

Keteladanan ibu Gedong Bagoes Oka inilah adalah sebuah bentuk dari perempuan sebagai ikonik/kiblat dari perjuangan perempuan di bidang kerukunan antar umat beragama, atau bisa juga sebagai perempuan agen perdamaian.

Referensi

I Ketut Artadi, Manusia Bali, Denpasar; BP, 1993 Hal. 34.

Dian Interfidei, Identitas dan Kedaulatan (Kabar dari Pulau Dewata) 77 Tahun Ibu Gedong Bagoes Oka, Yogyakarta: Interfidei, 1998, hal vi.

Gedong Bagoes Oka dalam artikelnya “ Futurologi dalam Pandangan Hindu” Jurnal Gema Duta Wacana, Yogyakarta: Duta Wacana, 1996 hal. 61-62.

Wayan Supartha, Dharma Agama dan Dharma Negara, Denpasar: BP, 1995, hlm. 136

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

(1) Komentar

  1. You are a very capable individual!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts