Menemukan Kebenaran Lain dalam Novel Sejarah Max Havelaar

Novel otobiografi yang ditulis oleh Multatuli (Eduard Douwes Dekker) ini secara garis besar mengisahkan tentang bagaimana ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda terhadap bangsa Indonesia. Novel ini sebenarnya adalah otobiografi asli dari Eduard Douwes Dekker yang menurut catatan sejarah pernah ditunjuk untuk menjadi asisten residen lebak di bawah pemerintahan Hindia Belanda (Hal. xi). Namun dalam novel biografi ini, Eduard Douwes Dekker tidak menggunakan namanya aslinya sebagai tokoh utama. Penulis juga tidak langsung memakai tokoh utama (Max Havelaar) tetapi penulis menggunakan tokoh pembantu (Bontavus Droogstopel) untuk membantu memperkenalkan tokoh Max Havelaar. Jadi, novel biografi ini bukan menceritakan tentang biografi seorang Max Havelaar, tetapi biografi seorang Bontavus Droogstopel. Max havelaar hanyalah bagian dari cerita biografi seorang Bontavus Droogstopel.

Oleh:  Yakhin Maufa

 Novel ini diawali dengan pertemuan Bontavus Droogstopel seorang makelar kopi dengan Sjaalman seorang miskin yang meminta batuannya untuk menerbitkan tulisananya. Karena tidak suka dengan sifat Sjaalman yang kurang baik dalam beretika, maka Bontavus Drogsotopel menolak untuk membantunya. Sjaalman pun mengambil langkah nekat dengan mengirim sebuah paket berisi tulisan miliknya ke rumah Bontavus Droogstopel, dengan tujuan agar Bontavus Droogstopel dapat tergerak hatinya dan bersedia untuk membantu menerbitkan tulisannya. Setelah membaca isi paket tersebut, Bontavus Doogstopel tertarik dengan beberapa isi paket yang berisi tentang laporan penjualan kopi di Hindia Belanda. Karena ketertarikannya dengan beberapa tulisan tentang penjualan kopi yang sangat berguna untuk pekerjaannya, maka Bontavus Droogstopel bersedia untuk membantu Sjaalman menerbitkan tulisannya. Bontavus Droogstopel pun meminta salah satu anak koleganya Stern untuk menulis naskah dari Sjaalman tersebut. Konflik ini menjadi titik awal kisah seorang Max Havelaar yang banyak menyinggung tentang penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda. 

Cerita Stern sendiri berisi tentang seorang bernama Max Havelaar, seorang asisten residen Lebak yang baru menjabat menggantikan asisten residen yang lama yaitu Carolus. Setelah menyelidiki arsip-arsip peninggalan milik Carolus, Max Havelaar banyak menemukan arsip-arsip yang menjelaskan tentang penindasan dan kecurangan yang dilakukan terhadap masyarakat Lebak. Bupati sebelum sudah mengusahakan untuk mengadukan namun  ditolak oleh Sepnya (kepala residen) Brest van Kampen yang tidak mau merusak citra bupati-bupati di depan pemerintahan Belanda.  Max Havelaar bermaksud untuk melakukan pengaduan mengenai penindasan ini, tetapi pengaduan yang dilakukan pastilah sia-sia karena akan ditolak Sepnya. Merasa tidak ada guna lagi untuk berunding kepada Sepnya, maka Max Havelaar mengambil keputusan  untuk mengirim surat resmi kepada Gubernur Jenderal setelah sebelumnya dirinya telah mengirim surat resmi kepada Sepnya.

Namun usaha yang dilakukan Max Havelaar tidak membuahkan hasil karena pengaduannya ditolak oleh Gubernur Jenderal dengan dalih pengaduan yang diberikan Max Havelaar menyalahi aturan hirarki. Akibatnya, Max Havelaar dipindahtugaskan karena tindakan yang dilakukan menunjukan sebuah ketidakmampuan dalam menjalankan tugas. Kecewa dengan keputusan Gubernur Jenderal, Max Havelaar pun meminta agar dirinya berhenti menjadi asisten residen dan permintaan itu pun diterima. Pada Maret 1856, dirinya diberhentikan dari jabatan Asisten Residen Lebak (Cribb & Kahin 2004). Max Havelaar terus memohon kepada Gubernur Jenderal mengenai pengaduannya, meskipun dirinya tidak lagi menjadi seorang asisten residen namun tetap ditolak. Kesempatannya untuk mengungkapkan keadilan pupus. Walaupun demikian, pada akhirnya bupati-bupati tersebut tetap ditahan. Di bagian akhir cerita yang dibuat Stern, Max Havelaar kembali ke Eropa meninggalkan istri dan anaknya. Dirinya menjadi seorang penulis serta pengembara. Hidupnya penuh dengan kesusahan dan penderitaan serta kemiskinan karena pilihannya menjadi penulis. Di bagian akhir novel ini, penulis menggunakan sudut pandang dirinya untuk mengungkapkan tujuannya untuk menulis buku ini.

Baca Juga :   Sarekat Islam: Perjuangan Melawan Kolonialisme dan Kapitalisme

Tujuan lain dari Penulis Ditelisik dengan Pendekatan Ekspresif

Selama ini kita mengetahui bahwa tujuan dari Eduard Douwes Dekker menulis buku ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran tentang penindasan terhadap rakyat Indonesia karena dirinya adalah orang yang peduli terhadap kebenaran. Rasa peduli pada kebenaran ini penulis ungkapkan langsung pada beberapa potongan teks dalam tulisannya (hal. 361, hal. 363) . Walaupun demikian, Jika kita menggunakan pendekatan ekspresif, maka kita akan menemukan fakta lain mengenai tujuan penulis. Menurut M.H. Abrams pendekatan  ekspresif adalah pendekatan yang melihat karya sastra sebagai curahan, ucapan dan hasil pemikiran berdasarkan perasaan pengarang (Rokhmansyah, 2014). Berdasarkan riwayat penulis dalam buku ini (Hal. 433), penulis pernah mengalami pengalaman pahit di mana dirinya selalu beberapa kali mengalami kegagalan akibat dicurangi pemerintahan seperti dituduh menyebabkan tekor kas ketika menjadi kontelir di Natal hingga puncaknya pada kegagalannya dalam mengungkapkan penindasan ketika menjadi asisten residen di Banten. Beberapa kejadian ini membawa perasaan kecewa yang mendalam dalam diri penulis terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Perasaan kecewa ini berdampak pada tulisan penulis yang selalu berusaha untuk mengungkapkan kebobrokan pemerintahan Hindia Belanda yang menindas rakyat.

Selain itu,  Laora Akerman (penyunting buku ini), menyatakan bahwa menurut pengakuan adik penulis, Eduard Douwes Dekker sendiri adalah seorang pengidap penyakit Neurasthenia atau penyakit gangguan kejiwaan yang ditandai dengan sifat keakuan yang kuat dan kurang mengendalikan emosi (Hal.xiii). Perasaan Kecewa dan penyakit Neurasthenia inilah yang sangat mempengaruhi sikap penulis terhadap pemerintahan dan berdampak pada novel penulis yang banyak mengkritik dan bersifat balas dendam kepada pemerintahan Hindia Belanda. Lewat beberapa fakta yang dilihat dari pendekatan ekspresif ini, dapat disimpulkan bahwa selain untuk menyatakan kebenaran, penulis juga menyisipkan unsur balas dendam terhadap pemerintahan yang telah menye babkan dirinya beberapa kali gagal. 

Penggunaan nama samaran dan permainan sudut pandang

Dalam buku-bukunya, Eduard Douwes Dekker selalu menggunakan nama Multatuli sebagai nama penanya. Selain penggunaan nama samaran, penulis juga menggunakan sudut pandang yang berbeda. Walaupun buku ini adalah roman biografi, penulis tidak menggunakan sudut pandang dirinya dalam novel ini. Penulis menggunakan sudut pandang dari tokoh Bontavus Droogstopel untuk menceritakan tokoh Max Havelaar yang merupakan manifestasi dari diri si penulis. Barulah di bagian akhir, penulis menggunakan sudut pandang dirinya untuk mengungkapkan tujuannya menulis novel ini. Permainan sudut pandang inilah yang menambah nilai keindahan sastra dan membuat novel biografi ini menjadi unik.

Jika kita meninjau tujuan penggunaan nama samaran Multatuli, maka tinjauan tersebut tidak akan terlepas dari pendekatan ekspresif. Nama Multatuli sendiri berasal bahasa latin yang berarti “Aku sudah banyak menderita”. Perasaan menderita yang dimaksud penulis disini bisa merujuk pada dua kemungkinan yaitu penderitaan yang dirasakan penulis selama menjabat menjadi pegawai pemerintahan Hindia Belanda atau merujuk kepada penderitaan yang dialami orang Jawa karena penindasan. Namun, jika kita melihat dari penggunaan subjek “Aku” yang mewakili diri penulis sendiri, maka bisa disimpulkan bahwa perasaan penderitaan yang dimaksud penulis merujuk pada dirinya sendiri. Sehingga, jika didekati dengan pendekatan ekspresif, maka bisa disimpulkan penggunaan nama samaran ini untuk mewakilkan perasaan penulis yang banyak mengalami kekecewaan dan penderitaan karena pemerintahan Hindia Belanda.  Sedangkan Permainan sudut pandang yang dilakukan penulis sendiri tidak lain dengan tujuan untuk menambah nilai sastra dari novel miliknya. Selain itu, permainan sudut pandang ini juga bertujuan untuk memberikan cara pandang yang berbeda-beda bagi penulis dalam membaca novel ini sehingga pembaca dapat melihat novel ini dengan beragam sudut pandang.    

Baca Juga :   Kehidupan Masyarakat Samin di Bojonegoro

Kesimpulan

Sebuah karya sastra sangatlah kaya akan makna dan kebenaran-kebenaran lain yang masih bisa digali. Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan karya sastra kita dapat menemukan lebih banyak lagi fakta-fakta lain. Novel biografi Max Havelaar ini memiliki banyak fakta-fakta menarik yang mungkin berbeda dan diluar dari apa yang sudah diketahui oleh umum. Melalui pendekatan ekspresif kita dapat menemukan beberapa fakta lain yang membantu kita melihat novel biografi ini diluar tulisannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra akan semakin jika kita lebih menggalinya dari berbagai sudut pandang.

Referensi

Cribb, R., Kahin, Audrey. (2004). Kamus Sejarah Indonesia. Toronto: Scarecrow Press

Multatuli (2013). Max Havelaar: Atau lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda. Padasan: Jakarta

Rokhmansyah, A. (2014). Studi Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts