Sejarah Feodalisme sudah ada sejak awal peradaban manusia, istilah feodalisme sendiri baru muncul dan dikenal pada abad pertengahan. Sistem feodal muncul sebagai respons terhadap anarki dan kekosongan kedaulatan yang tersisa di Eropa setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi dan pasang surut penjajah dari timur, utara, dan selatan Hun, Goth, Arab, Norsemen, dan lain-lain. Beberapa monarki kuat, yang lainnya lemah; namun selama seorang tuan feodal masih menjadi pengikut setia raja, maka ia berdaulat di wilayahnya sendiri. Selama hampir seribu tahun, terjadi perebutan kekuasaan antara raja, tuan feodal, Gereja, dan meningkatnya tuntutan perdagangan, dan monarki secara bertahap memperoleh kedaulatan.
Oleh Emmanuel Ariananto Waluyo Adi

Istilah feodalisme muncul pertama kali di Prancis pada abad ke-16. Sistem ini muncul setelah masa Kekaisaran Romawi Suci-Caroling mengalami kemunduran karena banyak pertikaian dan invasi asing sehingga kekaisaran pun runtuh.  Persamaan merupakan nilai fundamental dalam demokrasi. Nilai ini adalah salah satu yang terkandung dalam semboyan Revolusi Prancis “liberte, egalite, freternite” yang bermakna kebebasan, persamaan, dan persaudaraan

Feodalisme adalah salah satu sistem sosial-politik tertua di dunia. Ringkasnya, bentuk feodalisme yang dapat kita lihat adalah kerajaan. Raja-raja sudah ada sejak dahulu, bahkan dikenal dalam kisah para nabi. Pengertian Feodalisme Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Feodalisme bisa dikatakan sebagai kekuasaan aristokrasi atau kebangsawanan dalam sistem penguasaan tanah dan ekonomi di masyarakat. Feodalisme adalah paham pertama yang diterapkan manusia di dunia, baik dalam bentuk sistem sosial dan pemerintahan kerajaan. Seluruh masyarakat di dunia pada awalnya menggunakan sistem ini, mulai dari masyarakat primitif, tradisional, hingga modern. 

Sistem pengkastaan ini berakhir di awal abad ke-20 setelah munculnya paham baru seperti sosialisme yang menggunakan prinsip kesetaraan. Pada abad ke-19, Abraham Lincoln juga telah menghapus perbudakan di Amerika Serikat.

 Prinsip Feodalisme 

  1. Kekuasaan 

Sistem feodalisme berfokus pada kekuasaan, yakni menguasai politik, sosial, ekonomi, budaya, dan segala aspek kehidupan. Kekuasaan pada feodalisme bersifat sentral pada satu pemimpin. 

  1. Kekerabatan 

Kekuasaan dalam feodalisme hanya berkutat pada kelompok tertentu yang berkerabat. Misalnya, ketika seorang pemimpin meninggal akan digantikan anaknya. Jika tidak memiliki anak, maka bisa digantikan keluarga yang lain. 

  1. Pengkultusan 

Prinsip atau ciri-ciri ketiga adalah adanya pengkultusan terhadap pemimpin. Pemimpin feodal selalu dikultuskan. Mereka tidak hanya dihormati, bahkan dipuja. Biasanya pengkultusan ini tidak terlepas dari mitos yang dimunculkan. 

Orientasi Feodalisme 

Orientasi pemerintahan feodal adalah untuk menguasai tiga hal, yaitu harta, tahta, dan Wanita.

1. Harta 

Dalam pemerintahan feodal, para penguasa selalu berorientasi pada harta kekayaan dalam wujud apa saja, terutama penguasaan tanah. Penguasa sering kali hanya menjadikan rakyat sebagai alat untuk menambah harta para penguasa. 

2. Tahta 

Tahta dapat diartikan sebagai jabatan atau posisi tertentu dalam pemerintahan. Mereka yang dekat dengan pemerintahan atau memiliki gelar bangsawan akan lebih dihormati dan memiliki hak-hak istimewa. 

3.Wanita 

Bangsawan dikenal memiliki banyak istri. Mereka bahkan menjadikan wanita sebagai budak untuk memenuhi hasrat seksual. Namun secara luas, tidak hanya wanita yang menjadi orientasi kaum elite, namun berbagai kesenangan dunia, seperti judi dan minuman keras.  


Dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, proses demokratisasi terhambat oleh tradisi feodalisme dari masa pra kemerdekaan. Nilai-nilai feodalisme ini tetap bertahan dalam wujud neo feodalisme yang bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang bertumpu pada persamaan. Sebuah fenomena dari tradisi masa lalu yang membuat demokrasi di Indonesia seakan kehilangan makna aslinya.  

Neofeodalisme baru


Sebelumnya ancaman besar kepada keberhasilan demokrasi di Indonesia: radikalisme, komunisme, separatisme, dan korupsi, saat ini adalah neofeodalisme. Masyarakat Indonesia masih hidup dalam iklim feodalisme yang kuat. Memang ada pernyataan tegas, tiap warga negara setara di hadapan hukum. Namun, pernyataan itu rupanya tidak menjadi realitas. Banyak orang dianggap tidak setara dengan orang lain. Orang kaya dan penguasa masih mendapat fasilitas lebih. Sementara orang miskin dan lemah tidak mendapat fasilitas apa pun. Untuk hidup normal pun, mereka kesulitan. Mereka dianggap warga negara yang lebih rendah. Kultur feodalisme itulah yang menjadi salah satu penyebab kita tidak bisa melakukan pemilu secara efektif dan efisien.

Baca Juga :   Jepang Bergerak ke Selatan: Usaha Invasi Jepang atas Asia Tenggara dalam Teater Perang Asia Timur Raya

Banyak calon anggota legislatif menggunakan gelar kultural, seperti raden mas, untuk menarik pemilih. Saat gagal dalam pemilu, mereka merasa terhina. Perasaan itu muncul karena mereka menganggap dirinya ”berdarah biru”. Mereka menganggap status dirinya lebih tinggi dari warga lain. Bagaimana sapaan terhadap pejabat tinggi lalu turun ke strata paling rendah. Dari ini tercium bau kultur feodalisme. Coba juga cara pejabat melewati jalan raya. Merasa diri sebagai raja, yang memiliki status lebih tinggi dari orang lain. Maka, di Indonesia, slogan kesetaraan di hadapan hukum masih sekadar impian. Faktanya, banyak orang berpikir feodal, menempatkan diri atau orang lain pada status lebih tinggi daripada status orang pada umumnya. 

Hal yang sama berlaku dalam ekonomi. Semakin banyak uang dimiliki seseorang, semakin ia mendapat tempat istimewa atau lebih tinggi daripada orang lain. Uang bisa membeli segalanya. Hak asasi seseorang hanya bisa terpenuhi jika ia memiliki daya beli yang tinggi. Orang yang tidak punya uang, dianggap tidak memiliki daya beli tinggi, dinilai tidak layak mendapat hak-hak dasar. Uang membuat orang mendapatkan keistimewaan dari yang seharusnya diperoleh. Feodalisme ekonomi dan kultural juga menyuburkan korupsi. 

Jika orang itu punya gelar tinggi di mata masyarakat, masyarakat umumnya takut menuntut mereka dengan tuduhan korupsi. Hal ini harus dihindari. Semua orang—baik bangsawan, pengusaha, pejabat, maupun profesor— harus diadili dan dihukum jika terbukti definitif melakukan korupsi. 

Demokrasi berdiri di atas asumsi bahwa setiap warga negara setara di hadapan hukum. Semua bentuk feodalisme harus dihilangkan. Demokrasi juga berdiri di atas asumsi keterbukaan terhadap semua bentuk cara hidup selama cara hidup itu tidak melanggar hukum yang sah di mata rakyat. Maka, tidak ada cara hidup yang lebih tinggi daripada cara hidup lainnya. 

Baik orang keturunan keraton, pemuka agama, pengusaha kaya, maupun pejabat tinggi, semua memiliki kedudukan setara di mata hukum maupun negara. Feodalisme dalam segala bentuknya harus dimusnahkan. Jika masyarakat Indonesia masih hidup dalam alam feodalisme, demokrasi tidak akan pernah terbentuk. Buah feodalisme adalah diskriminasi, intoleransi, penindasan, korupsi, dan akhirnya pemusnahan kelompok minoritas.

Disadari atau tidak, feodalisme masih ada dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Feodalisme yang eksis di sebuah negara monarki bertransformasi menjadi neo feodalisme yang wujud di sebuah negara demokrasi dengan membawa nilai-nilai feodal yang menciptakan paradoks demokrasi. Dalam sebuah negara demokrasi dengan tradisi feodal, ditandai dengan terbentuknya faksi-faksi, hal ini terlihat jelas dalam pemerintahan yang didominasi oleh faksi kepentingan elit politik. Elit politik inilah yang memainkan alur kebijakan, membawa kepentingan kelompoknya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Tradisi feodal lain yang diwariskan adalah dengan pemberian ruang kekuasaan atau akses-akses terhadap sumber ekonomi berdasarkan ikatan primordial, emosional dan kelompok-kelompok tertentu. Menurut Ben Anderson, seorang Indonesianis, ia melihat bahwa tradisi para politikus menyiapkan putra-putri mereka.

Senjata utama untuk menghancurkan feodalisme adalah pendidikan. Pendidikan itu tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga di masyarakat maupun keluarga secara intensif. Pendidikan antifeodalisme dimulai dengan pernyataan bahwa semua orang itu setara. Semua bentuk diskriminasi atau ketidaksetaraan adalah ciptaan manusia, yang akhirnya bisa merusak tatanan yang ada. Setara tak berarti orang boleh kurang ajar satu sama lain. Prinsip penghormatan dan kepercayaan juga perlu diajarkan. Jadi, siapa pun orangnya, baik orangtua berstatus tinggi maupun orang miskin, semua harus diperlakukan dengan penghormatan dan kepercayaan yang sama. Tak ada diskriminasi apa pun. Dengan pendidikan antifeodalisme yang memadai, demokrasi bisa tumbuh subur dan korupsi dalam segala bentuknya secara bertahap dilenyapkan. Seseorang bisa menjabat sebagai pemimpin dalam bidang apa pun bukan karena keturunan orang hebat, punya uang, atau punya kedudukan sosial tinggi, tetapi karena ia mau dan mampu membela kepentingan yang mengacu pada kebaikan bersama. Setiap orang setara di hadapan hukum dan negara karena setiap orang setara di hadapan Tuhan yang Mahakuasa.

Baca Juga :   Nurburgring dan Cerita Sang Neraka Hijau

Dalam masyarakat dunia modern yang menjunjung tinggi demokrasi, tentu nilai-nilai kesetaraan yang menjadi makna lain dari demokrasi, telah menutup ruang bagi timbulnya nilai-nilai feodalistik. Begitu juga dengan semangat yang terkandung dalam falsafah bangsa Indonesia, Pancasila. Nilai ini terkandung dalam sila ke 2, kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila ke 5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi, telah menutup ruang bagi tradisi feodalisme dengan mengedepankan kesetaraan setiap warga negara.  

Demokrasi melawan paham feodalisme

Kultur feodalisme menjadi salah satu penyebab Indonesia tidak bisa melakukan pemilu secara efektif dan efisien. Banyak calon anggota legislatif menggunakan gelar kultural, seperti raden mas, untuk menarik pemilih. Saat gagal dalam pemilu, mereka merasa terhina. Perasaan itu muncul karena mereka menganggap dirinya ”berdarah biru”. Mereka menganggap status dirinya lebih tinggi dari warga lain. Simak pertemuan-pertemuan umum. Bagaimana sapaan terhadap pejabat tinggi lalu turun ke strata paling rendah. Dari ini tercium bau kultur feodalisme. Coba juga cara pejabat melewati jalan raya. Merasa diri sebagai raja, yang memiliki status lebih tinggi dari orang lain. Maka, di Indonesia, slogan kesetaraan di hadapan hukum masih sekadar impian. Faktanya, banyak orang berpikir feodal, menempatkan diri atau orang lain pada status lebih tinggi daripada status orang pada umumnya 

Melawan neofeodalisme   seperti:

  • Jangka pendek: dari dalam diri tidak terpengaruh paham feodalisme dengan terbiasa bergaul dengan banyak orang
  • Jangka menengah: bisa dengan memviralkan kasus-kasus yang melanggar demokrasi khususnya menunjukan feodalisme 
  • Jangka Panjang: terlibat dalam struktur pemerintahan yang dapat Menyusun/merubah peraturan yang tidak sepaham dengan demokrasi dan menghilangkan paham feodalisme sampai ke akar-akarnya

Setara tak berarti orang boleh kurang ajar satu sama lain. Prinsip penghormatan dan kepercayaan juga perlu diajarkan. Jadi, siapa pun orangnya, baik orangtua berstatus tinggi maupun orang miskin, semua harus diperlakukan dengan penghormatan dan kepercayaan yang sama. Tak ada diskriminasi apa pun. Seseorang bisa menjabat sebagai pemimpin dalam bidang apa pun bukan karena keturunan orang hebat, punya uang, atau punya kedudukan sosial tinggi, tetapi karena ia mau dan mampu membela kepentingan yang mengacu pada kebaikan bersama. Setiap orang setara di hadapan hukum dan negara karena setiap orang setara di hadapan Tuhan yang Mahakuasa.  untuk memastikan bahwa demokratisasi berlangsung dengan baik, feodalisme harus dihapus dan sistem kekuasaan yang adil dan merata harus dibangun. Masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam proses demokratisasi dan memastikan bahwa hak-hak mereka dilindungi dan diakui. Hanya dengan demikian, demokrasi yang sesungguhnya dapat tercapai dan masyarakat dapat hidup dalam keadilan dan kesejahteraan yang sesungguhnya. 

Referensi

Emmanuel A.W. Adi (2023), Demokrasi Indonesia : Pengantar Hukum Tata Negara,  Pradina Pustaka : Jakarta.

Fink, Hans (2003). Filsafat Sosial (Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas). Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Isnanto, B. A. (2023, July 16). Feodalisme Adalah: Kenali Sejarah, Prinsip, dan Orientasinya. Detik. Retrieved December 22, 2023, from https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6825631/feodalisme-adalah-kenali-sejarah-prinsip-dan-orientasinya

Sab, J. (2011, October 16). Ancaman Neo Feodalisme Halaman 1. Kompasiana.com. Retrieved December 22, 2023, from https://www.kompasiana.com/jabalsab/550f4431813311872cbc677a/ancaman-neo-feodalisme

Wattimena, R. A. (2009, April 30). Feodalisme sebagai Musuh Demokrasi Halaman all – Kompas.com. KOMPAS.com. Retrieved December 22, 2023, from https://nasional.kompas.com/read/2009/04/30/05233818/feodalisme.sebagai..musuh?page=all

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts