Malang Era Revolusi dan Sekelumit Kisah Perjuangan yang Terlupakan

 Kemerdekaan Indonesia dideklarasikan dalam proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Setelah peristiwa tersebut, Indonesia memasuki era yang disebut Revolusi Kemerdekaan. Masa ini dimulai dari 17 Agustus 1945 hingga pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 29 Desember 1949. Dalam terminologi lain, revolusi kemerdekaan dicirikan dengan perlawanan yang semakin menggebu, tetapi tidak hanya melalui perjuangan fisik layaknya zaman pra kebangkitan nasional. Revolusi kemerdekaan terjadi jauh sebelum proklamasi, tepatnya pada tahun 1908. Era ini merupakan tahun-tahun dimulainya kebangkitan nasional yang ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo. Selama kurang lebih empat tahun, terjadi konflik fisik atau senjata dan pertentangan antara Republik Indonesia dan Belanda. Belanda sangat berat untuk memberikan kemerdekaan bagi Indonesia dan ingin menjadikan Indonesia sebagai negara bawahan. Di sisi berseberangan, Indonesia yang baru saja lahir dengan semangat nasionalismenya menginginkan kemerdekaan penuh tanpa intervensi apapun dan menolak segala bentuk penjajahan Belanda. 

Oleh : Fahreza Rakha Winatra 

Sumber:  gahetna (Mural di Singosari, 4 November 1947) 

 

Seperti yang dijelaskan di atas, masa revolusi kemerdekaan Indonesia selama empat tahun dilalui dengan banyak konflik fisik maupun silang pendapat diplomasi. Dalam muatan sejarah klise, setidaknya Indonesia mengalami dua agresi militer Belanda,  lima perundingan diplomasi yakni Perjanjian Linggarjati, Perjanjian 

Renville, Perjanjian Roem-Royen, Perjanjian Inter-Indonesia, dan Perjanjian Meja Bundar (KMB). Selain itu, terjadi beberapa pertempuran dengan Jepang, Belanda, maupun sesama Bangsa Indonesia. Bahkan, Indonesia sampai harus berganti ibukota ke Yogyakarta dan Bukittinggi. Rongrongan untuk kedaulatan Indonesia yang sangat parah tersebut berasal dari internal maupun eksternal. Namun hal-hal tersebut tidak menghilangkan eksistensi Indonesia.

Perlawanan yang dilakukan rakyat terjadi di berbagai daerah seperti pertempuran Medan Area, pertempuran Lima Hari dan pertempuran Ambarawa (keduanya di Semarang Raya), pertempuran 10 November, peristiwa 10 November, peristiwa Bandung Lautan Api, dan Puputan Margarana. Masih banyak pertempuran lainnya yang jarang disinggung dalam buku-buku pelajaran sejarah mainstream. Salah satunya adalah Bumi Hangus Malang.  

Mobil Mallaby terbakar dan menewaskannya, 31/10/’45 (Sumber: IWM)

Kota Malang terletak di pedalaman Jawa Timur kira-kira berjarak 90 kilometer  selatan Kota Surabaya. Terletak tepat di tengah-tengah sumbu utama Jawa Timur. Kota Malang dikelilingi beberapa rangkaian pegunungan, yakni pegunungan Arjuno-Welirang di utara, pegunungan Tengger di timur, pegunungan Kawi di barat, dan pegunungan Kapur Kendeng di selatan. Kondisi ini menjadikan Kota Malang berhawa sejuk dan tanahnya subur. Sangat cocok untuk dijadikan area perkebunan. Menjadi hal yang wajar manakala Belanda menduduki suatu wilayah, maka sebuah benteng akan didirikan dengan tujuan memperkuat posisinya. Hal ini berlaku juga untuk Malang. Benteng kompeni pertama yang berdiri di Malang terletak di timur Sungai Brantas yang kini menjadi Jalan J. A. Suprapto. Di atasnya kini berdiri RSUD dr. Saiful Anwar. Sebelum abad ke-20, Malang menjadi bagian dari Karesidenan Pasuruan melalui Staatsblad No. 16 Tahun 1819. 

Suasana Jalan Ijen jaman Belanda (Sumber: Wikipedia)

Perkembangan Kota Malang semakin pesat. Melalui Staatsblad No. 141 tanggal 6 April 1875, pemerintah Hindia Belanda membangun trayek kereta api yang menghubungkan antara Surabaya, Pasuruan, dan Malang. Disusul dengan pembangunan berbagai percabangan jalur kereta api di Jawa Timur melalui Keputusan Kerajaan (Koninklijk Besluit) tanggal 6 Juni 1878 yang tertuang pada Staatsblad No. 201. Kebijakan tersebut direalisasikan di tanggal 16 Mei 1878 dengan dibukanya jalur kereta api Surabaya–Pasuruan. Menyusul setahun kemudian dengan pembukaan jalur kereta api dari Bangil–Malang pada tanggal 20 Juli 1879. Hadirnya jalur kereta api ini membuat Kota Malang semakin berkembang pesat dan mempengaruhi perancangan pembangunan Kota Malang selanjutnya. 

Potret Thomas Karsten 1911 (Sumber: Jurnal Hadinoto)
Peta letak Bouwplan I-VIII (Sumber: Cote dan O’Neill)

Perkembangan Malang yang begitu pesat membuat kota ini membutuhkan  perangkat-perangkat hukum dalam menangani problematika urban yang disebut gemeente. Pemaknaan konsep gemeente adalah istilah untuk menyebut suatu pemerintahan kotamadya dengan struktur administrasi yang otonom di zaman Hindia Belanda. Gemeente ini adalah pengejawantahan Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatie-Wet) yang ditetapkan pada tahun 1903. Adanya UU tersebut, menjadi landasan ditetapkannya Staatsblad No. 297, dan pada tanggal 1 April 1914 pemerintah Hindia Belanda meresmikan Malang sebagai gemeente. Pada tahun 1917–1929 pemerintah Kota Malang mengeluarkan delapan tahap rencana perluasan untuk mengendalikan bentuk perkembangan kota, yang masing-masing disebut sebagai Bouwplan. Bouwplan Malang berjumlah delapan jilid (I-VIII). Hal ini menjadikan Kota Malang memiliki tata letak kota terbaik pada zaman Hindia Belanda selain kota Semarang. Ir. H. Thomas Karsten yang menjadikan Malang sedemikian rupa. Salah satu bukti yang masih bisa ditemukan sekarang ini adalah kawasan Jalan Ijen, Malang. Pada zaman dahulu, wilayah yang masuk dalam kawasan bergenbuurt (kawasan jalan-jalan gunung) ini adalah pemukiman elite orang-orang Belanda dan bangsa Eropa lainnya. 

Jalannya Revolusi Kemerdekaan Hingga Sampai di Malang 

 Layaknya daerah-daerah lain di Indonesia, rakyat Malang juga dihinggapi euforia kemerdekaan. Bendera merah putih berkibar, mural, dan pekik-pekik kemerdekaan jamak ditemui dimanapun saat itu. Tak lama, tersiar kabar bahwa Belanda akan menguasai kembali Indonesia, tak terkecuali Malang. Kemerdekaan yang baru seumur jagung seakan ingin segera ditamatkan oleh Belanda. Segala cara akan ditempuh pihak Amsterdam dan di sisi lain Jakarta akan mempertahankan kemerdekaannya hingga titik darah penghabisan. Kedatangan Tentara Sekutu bersama NICA adalah titik awal serangkaian keributan antara Indonesia dengan Belanda. 

Baca Juga :   Condet Tempo Dulu

 Seperti yang telah disebutkan di atas, Indonesia melalui jalur perjuangan fisik dan diplomasi dalam upaya mempertahankan kedaulatannya. Merasa perlunya pengakuan dari negara lain, maka jalur diplomasi dipilih oleh Sutan Sjahrir yang saat itu menjadi Perdana Menteri. Perjanjian Linggarjati seakan menjadi sebuah bom waktu. Ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Belanda pada tanggal 25 Maret 1947, yang salah satu butirnya berbunyi bahwa Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Pro kontra pun menghinggapi. Beberapa partai seperti PNI dan Masyumi berujar bahwa perjanjian ini adalah bukti lemahnya pemerintah dalam mempertahankan kemerdekaan.  

Sjahrir di Malang, 1947 (Sumber: Fotoleren) 

 Pelaksanaan hasil perundingan jauh dari kata lancar. Pihak Belanda beranggapan bahwa Republik Indonesia adalah negara persemakmurannya. Di sisi lain, pihak Republik Indonesia beranggapan dirinya adalah negara merdeka dan berdaulat penuh. Sebagai hasil silang tafsir antara Indonesia dengan Belanda, pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jenderal H. J. van Mook menyatakan Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini. Keesokan harinya dimulailah Agresi Militer Belanda I yang oleh Belanda disebut dengan Aksi Polisionil dan menyatakan hal ini sebagai urusan dalam negeri. Tujuan utama Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan daerah kaya sumber daya alam terutama minyak.  

 Aksi militer ini dipimpin oleh Panglima Tentara Belanda, Jenderal Spoor. Aksi militer ini direncanakan dalam empat bentuk operasi. Operasi utama disebut Operatie Product ditujukan untuk menduduki daerah dengan potensi ekonomi cukup besar untuk menghasilkan devisa, yakni daerah yang memiliki pabrik dan perkebunan. Hal ini dikarenakan Belanda mengalami defisit anggaran untuk angkatan bersenjata yang dikerahkan untuk menancapkan kekuasaannya kembali.  

        Sebelum menduduki Malang, pada 21 Juli 1947, Belanda telah dahulu menduduki daerah karesidenan Surabaya (Gresik, Krian, Mojokerto, Sidoarjo). Perlu diketahui bahwa ibukota-ibukota daerah karesidenan tersebut diserang lalu dikuasai oleh pihak Belanda. Kampanye militer pertama Belanda di Jatim diawali dengan penerobosan barikade TNI di Porong oleh Brigade KNIL dari divisi A yang berbasis di Surabaya. Di waktu yang sama, Brigade Marine mendarat di Pantai Pasir Putih, Panarukan dan terus bergerak ke timur hingga Banyuwangi. Usai menerobos barikade, Brigade KNIL bergerak menuju Malang dan sebagian menuju Bangil untuk bergabung dengan Brigade Marine. Di palagan lain, pasukan darat Belanda berhasil melewati Mojosari, terus bergerak ke selatan melewati daerah Pacet, kemudian Cangar, dan berakhir menuju Malang melalui Batu. Dapat disimpulkan bahwa Malang akan diserang melalui dua arah, yakni barat laut (Batu) dan utara (Lawang).  

         Di tanggal yang sama, yakni 21 Juli 1947 pada pukul 16.00 pasukan Belanda menduduki Pandaan dan Lawang. Dengan pasukan-pasukan tank dan panser sebagai ujung tombak, pasukan infanteri pimpinan Mayor Jenderal Baay seakan begitu lancar. Sepertinya laju pasukan Belanda sebelum ini begitu mulus. Namun seusai menduduki Lawang, barulah mereka mendapat sedikit ganjalan. 

Mayjen Baay; tangan di punggung (Sumber: Het Nationaal Archief

     Kala itu pertahanan wilayah Jawa Timur dilimpahkan kepada Divisi VI/Narotama yang dipimpin Mayjen Sungkono yang berpusat di Kediri dan Divisi VII/Suropati yang dikepalai Mayjen Imam Sujai yang berkedudukan di Malang. Divisi VII/Suropati  terdiri dari tiga resimen, yakni Resimen 38 dipimpin Letkol Abdul Rifai, Resimen 39 dipimpin Letkol Tahirudin Cokroatmojo dan Resimen 40 yang komandannya tidak sempat ditunjuk. Untuk urusan pertahanan Kota Malang dan sekitarnya diserahkan kepada Resimen 38 yang terdiri dari empat batalyon. Keempatnya adalah: Batalyon I dipimpin Mayor Hamid Rusdi, Batalyon II dipimpin Mayor Abdul Manan, Batalyon III dipimpin Mayor Mukhlas, dan Batalyon IV dipimpin Mayor Syamsyul Islam. 

 Mayor Hamid Rusdi lantas memerintahkan untuk membumihanguskan Malang pada tanggal 22 Juli 1947. Beliau tidak ingin gedung-gedung, sarana prasarana begitu saja ditinggalkan dan dapat dipergunakan oleh Belanda. Kawasan Kayutangan, Balai Kota Malang, gedung TRIP Darmo 49 berkonferensi dengan Laskar IPI, dan Penjara Lowokwaru, gedung Concordia (Gedung Sarinah sekarang), Hotel Splendid, kantor telepon Malang, gedung DAMRI di Jalan Kawi 24, dan markas BPRl-nya Bung Torno di Jalan Tangkuban Perahu semuanya dilalap api. Bukan hanya itu, jaringan telepon dan instalasi air bersih juga dirusak agar tidak digunakan Belanda. Hamid Rusdi kemudian mundur ke daerah Bululawang untuk segera membuat pertahanan baru. 

    Butuh waktu sepekan lebih untuk Belanda bisa menjejak di Kota Malang. Para pejuang terkadang menebang pohon, kemudian dilintangkan di jalur-jalur penting yang sekiranya dilalui Belanda. Memang barikade ini tidak menahan secara permanen konvoi kafilah tentara Belanda tetapi setidaknya cukup menghambat laju gerak mereka.  

Baca Juga :   Jaranan: Seni Tari Peninggalan Leluhur yang Tidak Lekang Oleh Zaman
Serdadu Belanda di Malang (Sumber: Het Nationaal Archief)

      Kala kalender menunjukkan tanggal 30 Juli 1947 pihak Belanda melakukan serangan udara besar-besaran. Pasukan di Lawang berhasil menguasai lapangan terbang Pagas (Singosari). Mereka berhasil bergerak sampai Blimbing, wilayah Kota Malang bagian utara. Kelompok satu lagi yang disebutkan di atas, melewati Cangar mengitari kaki gunung Arjuno, terus menurun menuju Batu, dan bergerak ke tujuan akhir, Malang. Akhirnya, pada tanggal 31 Juli 1947 pasukan Belanda akhirnya berhasil masuk kota Malang. Belanda membuka serangan lewat udara sejak pukul 02.00 dini hari. 

    Di tanggal yang sama, ada sebuah pertempuran heroik yang dibuat monumen untuk mengingatnya yakni Pertempuran TRIP di Jalan Salak (Sekarang Jalan Pahlawan TRIP, Malang). Pertempuran antara TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) dengan tentara Belanda tersebut berkobar selama kurang lebih lima jam dan sebanyak 34 anggota TRIP gugur dalam pertempuran tersebut.  

Kondisi Pasca Agresi hingga Hengkangnya Mijnheer dari Malang 

 Perang tentu berdampak besar kepada segala lini kehidupan. Serentetan perang fisik hingga peristiwa “Malang Bumi Hangus” turut membawa perubahan yang mencolok. Pemerintah daerah Malang hengkang menuju Turen, sebuah kota kecamatan berjarak kurang lebih 30 kilometer di tenggara Malang. Kala itu, Residen Malang dipegang oleh P.T. Soenarko. Ia ikut bertolak menuju Turen. Sementara pemerintahan di dalam Kota Malang dipegang oleh wakil Residen P.T Soedjadi. Untuk Pemerintahan Kota Malang yang baru, sesuai yang diminta Belanda maka wakil Residen Malang menetapkan R. M. Moestedjo sebagai pemimpin Pemerintahan Kota Malang. 

Gedung Balai Kota Malang usai dibakar (Sumber: http://kelsumbersari.malangkota.go.id/sejarah-berdirinya-balaikotamalang/ )

 Kemudian terjadi aksi penjarahan dan perusakan kepada rumah, pertokoan, dan pabrik milik orang-orang Tionghoa di permukiman Tionghoa di sepanjang daerah Kebalen, Mergosono sampai Gadang, yang merupakan poros Kota Malang ke arah selatan..Chaos berlanjut dengan aksi pembantaian terhadap kurang lebih 25 orang etnis Tionghoa dan puluhan orang Tionghoa lain diculik. Para korban disiksa, dibakar, maupun dimutilasi oleh para oknum yang tidak bertanggungjawab tersebut. Mereka juga menjadi target pelampiasan emosional warga bumiputera lainnya. Sentimen anti Tionghoa ini dipicu atas berita bahwa etnis Tionghoa menjadi mata-mata Belanda. Hal ini nantinya berimbas pada perjuangan di masa Pendudukan Belanda karena hubungan yang tak kunjung harmonis. Kelompok masyarakat bumiputera maupun Tionghoa saling menaruh curiga satu sama lain. Pemerintah Kota Malang saat itu tidak mampu segera memberangus sentimen antar golongan ini. Perekonomian Malang pun setali tiga uang.  

   Pada masa itu muncul profesi yang bernama tukang catut atau sepadan calo. Mereka perantara jual beli barang kebutuhan yang saat itu sulit didapatkan akibat perang yang meluluhlantakkan wilayah kota Malang. Perekonomian lumpuh total. Pasar dan pertokoan banyak yang tutup ataupun sudah menjadi puing akibat bumi hangus. Selain itu, penduduk yang tetap tinggal di dalam kota hanya sekitar 100.000 orang saja. Lepas sebulan Belanda berkuasa, perekonomian tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Kemudian, setelah mediasi berkali-kali antara pemerintah kota dengan pihak Belanda dan dirasa sudah sedikit aman, maka beberapa pengungsi kembali ke kota.  

       Langkah selanjutnya, pemerintah kota mengeluarkan Undang-Undang Beras, yang bertujuan mengawasi sirkulasi beras di Kota Malang dan persediaan di toko-toko untuk menunjang kebutuhan harian dalam kota. Beras dijadikan objek pertama dalam pengendalian perekonomian pasca perang dikarenakan beras adalah bahan makanan pokok hampir seluruh masyarakat Malang. Ditambah lagi dengan banyaknya area persawahan yang tidak bisa ditanami lagi sebagai akibat dari perang fisik dan petani banyak yang belu  

 Pada akhirnya kedaulatan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Belanda pun hengkang dan padam pula ambisi H. J. van Mook dalam mengambil kembali tanah kelahirannya (van Mook terlahir di Semarang). Dua kali agresi dan berbagai perundingan, pembentukan negara- negara boneka (federal), maupun penciptaan garis imajiner atau“Garis Demarkasi”) tak mampu mengembalikan juga. Walaupun desakan negara-negara lain juga turut membantu dalam usaha mengenyahkan Belanda dari Nusantara. Kedaulatan kembali dan begitu juga di Malang kembali ke pangkuan ibu Pertiwi pada 27 Desember 1949.  

Daftar Pustaka 

Kurniawan, J. (2006). PERKEMBANGAN KOTA MALANG 1914–1942: Kajian Atas Intervensi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. [Skripsi]. Universitas Gadjah Mada.  

Nurul, K. D. (2016, Oktober). KOTA MALANG PADA MASA AGRESI MILITER BELANDA I TAHUN 1947. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, 4(3), 942-954.  

Dewan Pemerintahan Daerah Kota Malang. (1951). Laporan Tahunan Kota Besar Malang. 1951. Malang: DPD Kota Malang. 

Basundoro, P. (2009). Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 

Sukadri, K. H., Soewarno, RA, Umiati. (1991). SEJARAH REVOLUSI KEMERDEKAAN (1945-1949) DAERAH JAWA TIMUR. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Jakarta. 

Kuntowidjojo. (1995). PENGANTAR ILMU SEJARAH. Yogyakarta: Bentang Pustaka.  

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts