Lembaga Anti Rasuah yang Jarang Diingat Bernama Komisi Empat

Korupsi bukan fenomena baru dalam kehidupan sosial hingga berbangsa dan bernegara. Menurut Mochtar Lubis, korupsi merupakan bentuk penyelewengan kekuasaan oleh seseorang yang memiliki kewenangan atau kekuasaan dengan berangkat dari kebudayaan lama serta birokrasi-patrimonial. Jauh melihat ke belakang, tepatnya dalam definisi era Yunani dan Romawi, korupsi diartikan sebagai kemerosotan (Degenerasi) moral. Kemerosotan moral tersebut meliputi; kemewahan dan sikap hidup berfoya-foya, menyelewengkan mandat yang telah diberikan oleh negara, memberi dan menerima suap dari pihak musuh,hingga pemberian jabatan atas dasar kekerabatan semata. Satu hal yang dapat disepakati, korupsi adalah sebuah penyakit yang perlu segera dibasmi. Hal tersebut tidaklah berlebihan, karena dampak yang ditimbulkan sangatlah membahayakan.

Oleh Kurniawan Ivan Prasetyo

Dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia, pemerintah telah mengupayakan membuat sejumlah peraturan hukum positif hingga lembaga pemberantasan Korupsi. Tercatat pemerintah Republik Indonesia, mulai dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi telah membentuk berbagai lembaga pemberantasan korupsi. Salah satu lembaga anti rasuah yang populer pada masa Orde Baru tetapi tidak begitu populer adalah Komisi Empat. Kiprah Komisi Empat seharusnya mendapatkan tempat tetapi tidak banyak yang mencatat. 

Isu Korupsi di Masa Transisi

Sejak awal periode Orde Baru, pemerintah melakukan pembangunan ekonomi besar-besaran untuk mengangkat kondisi perekonomian negara yang terpuruk pasca terjadinya peristiwa G30S/PKI serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejumlah kebijakan diambil oleh pemerintah untuk memperlancar proses pembangunan tersebut. Namun, banyaknya kebijakan yang diambil oleh pemerintah seperti kebijakan tentang Bimas Gotong-Royong, penanaman modal asing, transfer devisa serta kebijakan impor memberikan peluang besar untuk dilakukannya tindak penyelewengan dari segi kekuasaan maupun kesempatan. 

Kondisi tersebut memicu terjadinya tindak korupsi dikalangan elit pengusaha maupun politik yang meresahkan bagi masyarakat. Masyarakat yang kecewa akan tindakan sejumlah elit pengusaha dan politik tersebut kemudian melancarkan sejumlah aksi sebagai bentuk perlawanan. Gerakan-gerakan anti korupsi seperti Mahasiswa Menggugat dan Angkatan Pelajar Indonesia 70 dicetuskan oleh para mahasiswa serta pelajar. 

Lahirnya Komisi Empat

Sebagai bentuk jawaban atas kritik dan permasalahan yang ada, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1970 tentang Komisi Empat. Berdasarkan Keppres tersebut, Komisi Empat beranggotakan 4 orang, yakni Wilopo, S. H (Ketua), I. J. Kasimo, Prof, Ir. Johannes, Anwar Tjokroaminoto. Selain beranggotakan 4 orang, Komisi Empat juga mempunyai seorang penasehat yakni Mohammad Hatta dan sekretaris yakni Soetopo Joewono. Tugas dari Komisi Empat antara lain; 

  1. mengadakan penelitian dan penilaian terhadap kebijaksanaan serta hasil-hasil yang telah dicapai dalam pemberantasan korupsi;
  2. memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaan yang masih diperlukan dalam pemberantasan korupsi. 

Sedangkan wewenang dari Komisi Empat antara lain;

  1. menghubungi pejabat-pejabat dan instansi-instansi pemerintah, sipil, atau militer dan instansi swasta untuk meminta bahan-bahan serta keterangan-keterangan yang diperlukan;
  2. memeriksa surat-surat, dokumen-dokumen, serta administrasi pembukuan dari instansi pemerintah atau swasta, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

Aksi-Aksi Komisi Empat

Setelah resmi dibentuk, Komisi Empat segera tancap gas dengan melakukan sejumlah analisis terhadap tindak-tindak penyelewengan yang ada di dalam pemerintahan, instansi-instansi, maupun perusahaan yang dicurigainya. Salah satu perusahaan yang mendapat perhatian khusus dari Komisi Empat adalah P.N Pertamina. Pertamina di bawah kekuasaan Ibnu Soetowo diduga telah melakukan sejumlah penyalahgunaan antara lain: kurangnya pengadaan budget control, kelalaian membayar pajak, kelalaian perusahaan dalam menyetorkan Dana Pembangunan sebesar 55% dari keuntungan bersih ke dalam kas negara, penyimpanan likuiditas perusahaan pada beberapa bank asing, kerjasama dengan kontraktor asing menggunakan calo-calo demi memperoleh komisi, pembelian sejumlah kapal melalui broker-broker dan tidak langsung pada pabriknya, adanya rangkap jabatan Direktur Utama Pertamina hingga upaya memperkaya diri di tubuh elit Pertamina. Hal tersebut juga mendapat sorotan serta kritik tajam dari beberapa media massa seperti Harian Operasi dan Indonesia Raya.

Baca Juga :   Kebijakan Moneter dan Deregulasi Perbankan Masa Orde Baru

Setelah melakukan sejumlah kajian terhadap potensi-potensi serta tindak penyimpangan yang ada di dalam Pertamina, Komisi Empat Empat menyarankan agar Ibnu Soetowo melepaskan jabatan di luar sebagai Direktur Utama P.N. Pertamina serta adanya pengawasan serta tindakan yang lebih tegas dari pemerintah terhadap potensi-potensi serta praktik penyimpangan di tubuh Pertamina. Akan tetapi, saran dan masukan dari Komisi Empat tersebut ada yang ditindaklanjuti oleh pemerintah dan ada yang tidak.

Perusahaan milik negara lainnya yang mendapat sorotan dari Komisi Empat adalah Badan Urusan Logistik (Bulog). Dalam analisisnya terhadap Bulog, Komisi Empat mempertanyakan korelasi terkait alokasi biaya untuk Bulog yang sedemikian besar terhadap penggunaannya serta upaya stabilisasi harga beras. Stabilisasi harga beras kemudian menjadi pokok permasalahan yang diteliti secara serius oleh Komisi Empat. Komisi Empat akhirnya berkesimpulan bahwa stabilisasi harga beras tidak hanya ditentukan oleh Bulog, tetapi juga ada berbagai faktor yang menyertainya. Faktor tersebut meliputi jumlah produksi beras atau pangan dalam negeri, kelancaran angkutan, keadaan pasar beras internasional, serta persediaan devisa oleh pemerintah untuk impor beras. 

Potensi serta tindak penyelewengan yang diperoleh Komisi Empat terhadap Bulog antara lain; rangkap jabatan petinggi Bulog, administrasi yang tidak teratur, hutang-hutang yang tidak terurus, serta keganjilan gudang dalam urusan susut-simpan. Menindaklanjuti temuan tersebut, Komisi Empat mengajukan sejumlah saran, antara lain; diadakannya pengawasan yang lebih ketat serta diambilnya tindakan tegas terhadap tindak penyelewengan, tidak diperbolehkannya adanya rangkap jabatan dalam pengelola Bulog, perlu diadakannya reformasi birokrasi di tubuh Bulog untuk meningkatkan profesionalisme kinerja Bulog sendiri.

Komisi Empat tidak hanya menyoroti kasus penyelewengan yang berpotensi merugikan keuangan negara, tetapi juga kasus penyelewengan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kasus tersebut yakni masalah pengusahaan hutan. Dalam kajian Komisi Empat ditemukan sejumlah praktek-praktek negatif yang dilakukan dalam upaya eksploitasi hutan sehingga merugikan negara dan merusak lingkungan. Misalnya, pengusaha nasional yang telah memperoleh hak pengusahaan hutan, tidak mengeksploitasinya sendiri melainkan menjual hak tersebut kepada broker luar negeri dengan harga 5 USD per meter kubik. Broker-broker tersebut kemudian mengontraknya kepada kontraktor asing dengan mengambil keuntungan yang lumayan. Kecilnya penghasilan pengusaha nasional jika dibandingkan dengan penghasilan broker atau kontraktor asing tersebut telah mendorong pengusaha nasional yang mendapat konsesi hutan itu untuk tidak membayar Royalties, ADO, dan License Fee. Negara pun kemudian dirugikan.

Komisi Empat selanjutnya memberikan sejumlah masukan terhadap pemerintah untuk lebih mengawasi tindak pengelolaan hutan biak dari segi ekonomi maupun lingkungan serta memberikan sanksi yang tegas kepada pihak pengusaha nasional maupun kontraktor asing yang melanggar peraturan. Memperketat kontrak-kontrak konsesi sehingga menjamin diadakannya pengolahan kayu, penanaman kembali hutan yang gundul, terjaminnya kelestarian hutan serta penghasilan negara tinggi. Terakhir reformasi birokrasi di dalam tubuh PN Perhutani demi menciptakan pengelolaan yang lebih sempurna.

Matinya Komisi Empat 

Usia Komisi Empat terbilang sangat singkat. Pada tanggal 16 Juli 1970, pemerintah membubarkan lembaga anti rasuah tersebut. Terlepas dari usia yang begitu singkat, Komisi Empat telah berhasil mendalami sejumlah kasus tidak penyelewengan serta memberi masukan kepada pemerintah secara cepat dan tepat.  

Referensi

B. Herry Priyono. 2018. Korupsi Melacak Arti, Menyibak Implikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mara Karma. 1979. Ibnu Soetowo Pelopor Sistem Bagi Hasil di Bidang Perminyakan. Jakarta: PT Gunung Agung.

Y. Adisubrata. 1980. I.J. Kasimo Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: PT Gramedia. 

Baca Juga :   Fotografi di Hindia Belanda

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1970.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts