Lawang Sewu: Dari Kantor Jawatan Perkeretaapian Hingga Tempat Penyiksaan

Lawang Sewu merupakan salah satu gedung ikonik kota Semarang. Dalam bahasa Indonesia, Lawang Sewu memiliki arti seribu pintu atau sewu pintu. Sebutan ini sudah lama digunakan masyarakat Semarang untuk menamai gedung ini. Lawang Sewu dibangun sekitar bulan Februari tahun 1904 oleh pemerintahan kolonial Belanda.

Oleh Danette Christ

Menurut beberapa sumber buku, Lawang Sewu dirancang oleh Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J.  Quendag.  Pada saat itu, kolonial Belanda banyak mendirikan bangunan besar yang digunakan untuk mendukung keberlangsungan sistem pemerintahan yang sedang berjalan. 

Awalnya gedung ini dirancang sebagai kantor pusat perusahaan kereta api swasta milik pemerintahan belanda yaitu Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij atau disingkat NIS. Perusahaan inilah yang pertama kali membangun jalur kereta api di Indonesia yang menghubungkan kota Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta. Perusahaan ini juga membangun jalur kereta di daerah Temanggung pada tahun 1867. Kantor pusat NIS tersebut dirancang memiliki dua lantai dengan bentuk menyerupai huruf “L”. Pembangunan kantor pusat NIS di Semarang dilakukan karena kebutuhan yang cukup besar untuk mendirikan banyak bangunan publik dan perumahan akibat perluasan daerah jajahan, desentralisasi administrasi kolonial, dan pertumbuhan usaha swasta. 

Peresmian gedung NIS dilakukan pada tanggal 1 juli 1907 (Haryadi, 2011). Pada awalnya,kegiatan perkantoran perusahaan kereta api milik Belanda  berpusat di sini. Namun karena berkembangnya jaringan perkeretaapian yang semakin pesat pada saat itu menuntut terus ditambahnya personil teknis dan tenaga administrasi. Hal ini membuat kantor NIS di Semarang tidak lagi memadai untuk menampung semua staf NIS. Berbagai jalan sudah ditempuh seperti menyewa sejumlah bangunan milik perseorangan tetapi semakin membuat pekerjaan tidak efisien. Belum lagi letak stasiun Semarang NIS yang dekat dengan rawa membuat hal-hal seperti kebersihan dan kesehatan menjadi pertimbangan penting. Maka diusulkan pilihan lain yaitu membangun kantor administrasi untuk pegawai NIS di lokasi yang baru. Pilihan jatuh pada sebidang tanah yang berada di pinggir kota dekat dengan kediaman Residen Hindia Belanda. Lokasi tepatnya berada di ujung Bodjongweg Semarang (sekarang Jalan Pemuda), sudut pertemuan Jalan Pemuda dan jalan raya menuju Kendal. Seperti yang dijelaskan di awal, gedung peninggalan NIS ini memiliki keunikan yaitu mempunyai pintu dan jendela di luar ruang dan lorong bangunan. 

Gedung ini menjadi saksi dimulainya perkembangan jalur kereta api untuk pertama kali. Sejak dibukanya jalur kereta api Semarang-Yogyakarta sekitar tahun 1864, tiga tahun kemudian sekitar tahun 1868 kereta api sudah mulai mengangkut penumpang umum dan sudah menempuh jalur sejauh 25  dari Semarang ke Tanggung. Konsep perencanaan pembangunan gedung Lawang Sewu ini mempunyai integritas arsitektur yang kuat dengan perpaduan antara pengaruh luar dengan keunikan lokal yang kental dan dirancang sesuai dengan iklim maupun lingkungan sekitar. 

Pada musim kemarau, daerah yang beriklim tropis mendapat panas matahari kadang berlebihan sehingga menimbulkan hawa panas pada suatu ruangan. Jendela-jendela pada gedung Lawang Sewu dibuat cukup lebar dikarenakan ruangan-ruangan yang ada di dalamnya cukup luas. Sistem pencahayaan yang digunakan pada gedung ini terdapat dua macam, yaitu pencahayaan alami dari jendela-jendela dan bovenlicht yang terdapat pada setiap ruangan sedangkan yang kedua adalah pencahayaan buatan yaitu instalasi listrik dari PLN. Pemanfaatan pencahayaan alami pada gedung ini sangat maksimal terbukti dengan banyaknya terdapat bukaan-bukaan (pintu, jendela, dan ventilasi) yang berukuran luas. Sedangkan untuk pencahayaan buatan digunakan lampu bohlam dan lampu neon dengan warna cahaya lampu putih sesuai dengan warna bangunan yang hampir semua berwarna putih untuk mengesankan formal sebagai bangunan perkantoran dan juga merupakan ciri khas bangunan arsitektur Belanda. Dalam hal pengaturan sirkulasi udara, sangat diperhatikan kondisi iklim setempat yaitu iklim tropis yang diwujudkan melalui penerapan prinsip ventilasi silang dan peninggian langit langit.

 Pada beberapa tempat pada bubungan bangunan ini terdapat menara kecil yang berfungsi sebagai ventilasi sekaligus berfungsi untuk menambah menambah kesan keanggunan dari bangunan ini. Dari segi tampilan, bangunan ini tampak menganut aliran gaya Romanesque Revival. Romanesque Revival adalah ciri bangunan yang dominan memiliki elemen elemen arsitektural yang berbentuk lengkung sederhana dan dirancang dengan pendekatan iklim setempat. Dalam satu ruangan saja terdapat lima sampai sepuluh pintu yang ukuran besar. Selama pendudukan pemerintahan Jepang, gedung ini tetap digunakan sebagai Kantor Perkeretaapian Eksploitasi Tengah di bawah perusahaan Rikuyu Sakyoku atau perusahaan kereta api angkatan darat Jepang. Rikuyu Sokyoku membagi wilayah pengelolaan kereta api di pulau Jawa menjadi tiga distrik yaitu Seibu Kyoku yang mencakup wilayah operasi kereta api di Jawa Barat, Chubu Kyoku yang mencakup wilayah Jawa Tengah, dan Tobu Kyoku yang mencakup wilayah Jawa Timur. Dalam masa pemerintahan Jepang, gedung ini tidak hanya digunakan sebagai kantor kereta api tetapi mereka menyulap ruang bawah tanah gedung ini sebagai penjara bawah tanah. 

Baca Juga :   Cerita Dibalik Ikrar Akbar Bung  Tomo

Gedung pengadilan milik Belanda ini diubah menjadi markas Kenpetai atau polisi rahasia Jepang ketika Jepang menguasai Semarang. Lokasi Lawang Sewu yang tepat berada di depan markas Kenpetai ini membuat mereka mengubah fungsi Lawang Sewu tidak hanya sebagai perkantoran Rikuyu Sokyoku, tetapi juga penjara tahanan Kenpetai yang berhasil ditangkap. Dalam menjalankan tugasnya, tidak jarang Kenpetai melakukan pemukulan dan penangkapan terhadap orang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh atau dianggap memusuhi pemerintahan Jepang. Meskipun mereka yang ditangkap tidak sepenuhnya bersalah, penangkapan tetap dilakukan. Biasanya orang yang ditangkap akan mendapat penyiksaan. Tindakan ini merupakan salah satu tugas Kenpetai dalam menjaga kedaulatan pemerintahan Jepang. Jepang melakukan beberapa modifikasi. Modifikasi yang dilakukan oleh Jepang antara lain, mengurangi volume air, membuat penjara jongkok dan penjara berdiri, menambahkan meja eksekusi, dan membuat lubang pembuangan. 

Alih fungsi Lawang Sewu ini merupakan upaya dari Kenpetai untuk menjaga keberlangsungan pemerintahan Jepang di Semarang. Alih fungsi Lawang Sewu antara memupuk rasa tidak suka rakyat Semarang terhadap sikap Kenpetai sehingga berbagai upaya Jepang dalam menarik simpati rakyat mengalami kegagalan. Selain itu, pengawasan ketat dan penangkapan-penangkapan yang sering dilakukan Kenpetai membuat rakyat Semarang banyak membentuk gerakan-gerakan bawah tanah untuk menghindari Kenpetai. Gedung ini banyak menciptakan kisah pilu dan saksi bisu bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia. Beberapa ruangan di bangunan ini bahkan disulap menjadi ruang tahanan yang menyiksa. Terdiri dari penjara jongkok, penjara berdiri dan ruang penyiksaan. Ruang penjara berdiri pada awalnya digunakan sebagai lokasi penampungan tahanan. Tahanan yang tertangkap dimasukkan ke dalam ruangan tersebut dalam kondisi yang berdesak-desakan. Hal ini memaksa mereka untuk selalu berdiri karena apabila mereka duduk, ruangan penjara akan terasa lebih sempit dan menyiksa. Tak sedikit dari para tahanan ini meninggal di ruangan ini karena kelelahan atau kekurangan oksigen.  Berbeda dengan ruangan penjara berdiri, tahanan yang dimasukkan ke ruang penjara jongkok dipaksa untuk berdesak-desakan dalam keadaan berjongkok karena tinggi ruangan tak sampai satu setengah meter. 

Setelah proklamasi kemerdekaan, Lawang Sewu menjadi saksi ketika berlangsungnya peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang (14 Oktober – 19 Oktober 1945) antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai dari tentara Jepang. Karena itulah Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Wali Kota Nomor 650/50/1992 memutuskan bahwa Lawang Sewu dimasukkan dalam 102 bangunan kuno bersejarah di Kota Semarang yang wajib dilindungi.

 Lawang Sewu juga pernah digunakan sebagai kantor dari Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia atau yang sekarang dikenal sebagai PT. Kereta Api Indonesia. Meski pihak militer pemerintah Indonesia sempat mengambil alih gedung ini, saat ini kepengurusan Lawang Sewu kembali ke tangan PT. KAI. Tak heran bila melihat sejarah kelam yang dimiliki Lawang Sewu membuat bangunan ini memiliki seribu cerita dengan unsur mistis. Mulai dari penggunaan Lawang Sewu sebagai penjara dan ruang penyiksaan tahanan, hingga pertempuran antara pejuang dan penjajah Jepang yang menewaskan banyak korban jiwa membuat warga Semarang banyak menemui kejadian-kejadian mistis ketika mengunjungi Lawang Sewu. Selain itu, tidak terurusnya bangunan Lawang Sewu kala itu makin menambah suramnya suasana Lawang Sewu. Lantai yang kotor, cat dinding yang terkelupas serta kurangnya penerangan membuat bulu kuduk orang yang mengunjungi gedung ini berdiri. 

Kompleks Lawang Sewu saat ini juga masih tidak berubah masih tetap sama seperti dibangun pertama kali. Gedung ini terdiri dari dua gedung utama yang sangat besar. Semua gedung yang berada di bangunan ini berlantai dua. Gedung ini terletak pada tanah yang relatif datar yang menghadap langsung ke bundaran Simpang Lima Semarang. Keberadaan gedung Lawang Sewu yang dahulunya difungsikan sebagai kantor menyebabkan aktivitas pada ruang luar bukan merupakan sesuatu yang dominan. Bagian luar dari bangunan Lawang Sewu hanya difungsikan sebagai lapangan upacara. Ini terbukti  dengan adanya tiang bendera yang masih tertancap kokoh di halaman gedung. 

Gedung ini memang dirancang untuk sesuai dengan keadaan iklim di Indonesia. Seperti rancangan atap pada gedung ini yang berbentuk atap perisai dengan sudut kemiringan sekitar 45 derajat sehingga ketika musim hujan datang air hujan akan turun cepat jatuh kebawah. Penggunaan tristisan terlihat pula pada gedung ini untuk menghindari percikan air hujan mengenai bagian dalam ruangan. Ruangan yang dirancang juga berukuran besar sekitar 12 sampai 30 meter. Ruangan ini berfungsi sebagai ruang kantor dan ruang pertemuan sedangkan bangunan yang lainnya yang terdapat di lantai bawah dengan lebar 6×10 meter dilengkapi pintu pada ujung sebelah barat yang menghubungkan dengan ruangan lain dan basement. Sedangkan untuk pola sirkulasi antara ruang satu dengan ruangan lainnya dihubungkan dengan pintu berukuran sedang dengan tinggi 2 meter dan 1 meter dengan penataan ruang berpola grid.

 Perancang dari gedung ini juga membuat pondasi dengan beton yang ditanam sedalam 125 cm dari muka tanah dan dikelilingi oleh batu kali. Di dalam bangunan Lawang Sewu ada beberapa ruangan yang menjadi simbol atau ciri khas dari gedung ini. Ruangan ini pada saat pemerintahan Belanda hanya difungsikan sebagai pondasi dan genangan air penyejuk dari bangunan yang lain. Namun, pada saat pendudukan Jepang, ruangan bawah tanah ini digunakan sebagai ruangan penyekapan para tahanan tentara Jepang. Ruangan bawah tanah ini dibagi menjadi tiga ruangan penjara bawah tanah. Ruangan pertama terdapat penjara berdiri yang ruangan berukuran kecil selebar 1×1 meter yang berjejer. Biasanya penjara ini digunakan untuk 6 sampai 7 orang tahanan. Ruangan kedua terdapat ruangan penjara jongkok yang berukuran kurang lebih 1,5m dan tinggi satu meter. Ruangan bawah yang terakhir adalah ruangan berbentuk petak persegi empat. Ruangan ini digunakan sebagai tempat penyiksaan bagi para tahanan tentara Jepang.

Baca Juga :   Kesetiaan Johannes Latuharhary pada Republik Indonesia

 Para tahanan akan dipasung dengan pedang di dalam sebuah bak dan setelah dipasung, badan dan kepalanya akan ditenggelamkan ke sungai dengan jalan bawah tanah. Setelah ruang bawah tanah yang mengerikan ada juga monumen peringatan untuk enam tokoh. Monumen ini merupakan sebuah tembok besar yang berada pada halaman Lawang Sewu dan di dinding tembok tersebut terdapat enam nama pahlawan yang gugur dalam pertempuran lima hari di Semarang. Monumen ini dibangun untuk mengenang dan mengingat jasa jasa para tokoh yang telah gugur dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan. Enam tokoh nama tokoh yang diabadikan dalam monumen ini adalah Dr. Kariadi, Mr, Wongsonegoro, Dr. Sukaryo, Mayor Kido, Kasman Singodimejo dan jendral Nakamura. Di sisi lain terdapat bangunan monumen Tugu Muda. Monumen tugu muda ini sebagai untuk memperingati para pemuda AMKA yang gugur pada pertempuran lima hari. Monumen ini didirikan sebagai monumen peringatan. Monumen tugu muda ini dibangun pada tanggal 10 November 1950.

 Monumen ini diresmikan langsung oleh presiden Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953 setelah melalui masa pembuatan selama 3 tahun. Monumen ini terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa penting selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di Jl. Pemuda, Jl. Imam Bonjol, Jl. Dr. Sutomo dan Jl. Pandanaran dengan Lawang Sewu. Monumen ini terletak di tengah tengah kota. Di dalam gedung pun didesain seunik mungkin dengan dihiasi  mozaik kaca inlay. Ornamen mozaik kaca inlay yang memiliki motif-motif gambar yang menjelma sebagai jalinan relief. Ada empat buah mozaik kaca inlay besar yang menjadi daya tarik utama bagi gedung Lawang Sewu Semarang. Mozaik kaca inlay pertama melambangkan kemakmuran dan keindahan alam jawa beserta isinya, yang bermakna semua adalah milik kekuasaan Hindia Belanda. Mozaik kaca inlay kedua, bercerita tentang Kota Semarang dan Batavia. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada waktu itu. Mozaik kaca inlay ketiga, menggambarkan Kota Semarang dan Batavia sebagai pusat perdagangan laut atau maritim. Mozaik kaca inlay keempat, merupakan gambar dua orang perempuan yang menggambarkan sosok Dewi Fortuna dan Dewi Venus. Sosok Dewi Fortuna atau dewi keberuntungan yang tergambar pada relief kaca inlay menyiratkan makna bahwa pemerintahan Hindia Belanda selalu diberkahi dengan keberuntungan. Kemudian sosok dewi Venus atau dewi kecantikan dan cinta kasih yang terbentuk dalam kaca inlay menyiratkan bahwa pemerintahan Hindia Belanda mengharapkan selalu datangnya kejayaan.

Daftar Pustaka 

Abyyusa, Amirul Farras. Dkk, Lawang Sewu’s Monumentality Architecture. Jurnal Riset Arsitektur. Volume 03, Nomor 02, April. 2019 www.journal.unpar.ac.id diakses pada tanggal 3 Juni 2020.

Gunawan, Oh Juliana. Pengaruh Place Branding Terhadap Place Image Edukatif Lawang Sewu Setelah Direnovasi. Skripsi. Fakultas Ilmu Komunikasi; Universitas Multimedia Nusantara. Tangerang. 2017

Rukayah, R Siti. Dkk.  Pengaruh Alih Fungsi Bangunan Cagar Budaya Lawang Sewu Semarang Dalam Persepsi Masyarakat Untuk Mewujudkan Tujuan Revitalisasi. Jurnal Teknik Volume 36, Nomor 01. 2015 htpp://ejournal.undip.ac.id/index.php/teknik diakses pada tanggal 31 Mei 2020

Wibawa, Bebet Adi. Perubahan Fungsi Bangunan Lawang Sewu Dan Image Kota Semarang Tahun 1904-2009. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial: Universitas Negeri Semarang. 2015

Baskoro, Dwi Harry. Analisis Kunjungan Objek Wisata Lawang Sewu Di Kota Semarang. Skripsi. Universitas Ekonomika dan Bisnis: Universitas Diponegoro. 2013.

Rudrasono, Erwin. Dkk. Sarana Pendukung Museum Lawang Sewu Semarang. Jurnal Dimensi Arsitektur Volume IV, No. 02. Universitas Kristen Petra. 2016

Darmawan, Fahrurozi. Dkk. Analisis Lawang Sewu Sebagai Destinasi Dark Tourism Terhadap Pengalaman Wisatawan Nusantara (Studi Kasus Bangunan Bersejarah Lawang Sewu). Fakultas Pariwisata: Universitas Pancasila. Jakarta. 

Haryadi, Dwi. Upaya Perlindungan Benda Cagar Budaya Lawang Sewu Semarang. Jurnal Keadilan Progresif Volume 02, No. 01. Fakultas Hukum: Universitas Bangka Belitung. 2011

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts