Lampung dalam Catatan Pena Kolonial

Lampung dikenal sebagai provinsi yang menyumbang banyak sekali kasus pembegalan, sehingga provinsi ini sering kali mendapatkan stigma negatif di kancah Nasional. Namun, dibalik nama negatif itu, masih banyak sekali potensi positif dari provinsi ini. Lampung telah dikenal oleh dunia sejak dahulu kala, terlebih pada zaman berdirinya kerajaan–kerajaan di Indonesia. Ketika itu, Lampung pernah menjadi daerah pemasok utama lada dari zaman Kesultanan Banten hingga zaman Kolonialisme dan Imperialisme.

Oleh M. Naruli Saputra

Anhar Gonggong, M. Soenjata Kartadarmadja, dan Muchtaruddin Ibrahim (1993: 16), mengatakan bahwa daerah Lampung merupakan daerah penghasil lada yang penting sejak abad ke-15 karena itu penguasaan perdagangan daerah Lampung sangat penting. Sehingga Kerajaan Banten dan Palembang selalu berusaha untuk menguasai daerah ini. Namun, perebutan ini dimenangkan oleh Kesultanan Banten, sehingga daerah Lampung menjadi daerah yang berada dibawah pengaruh Banten. Dari sinilah hubungan Lampung dan Banten menjadi semakin mesra, baik dalam hal pertahanan dan keamanan maupun dalam hal kegiatan perekonomian. Gonggong, Anhar juga menambahkan pada tahun 1596 sampai 1651 mempakan masa kejayaan Banten di bawah pemerintahan Sultan Abdul Kadir (1605 -1640). Pelabuhan Banten ramai dikunjungi orang-orang Portugis, Inggris, dan Belanda. Orang-orang Lampung banyak yang tersebar di Banten dengan membawa hasil buminya terutama lada. Disana biasanya pemuka-pemuka Lampung diberi mandat untuk menjadi penguasa di Lampung atas restu Sultan Banten.

Hubungan lampung dengan bangsa asing tidak terlepas dari adanya konflik internal di kesultanan banten, yakni konflik perebutan kekuasaan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan putranya yakni Sultan Haji (Abdul Natzar). Dengan memanfaatkan konflik tersebut, VOC memihak Sultan Haji untuk mendapatkan kekuasaannya di Banten. Pada tanggal 12 Maret 1682, Sultan Haji mengirimkan surat yang berisi permintaan bantuan kepada VOC agar dia terlepas dari kepungan pasukan ayahnya, dan sebagai imbalannya VOC akan memperoleh hak penguasaan atas daerah Lampung. Akhirnya pada tanggal 7 April 1682, VOC dapat memundurkan pasukan Tirtayasa, dan Sultan Haji dinobatkan sebagai pemimpin Banten yang baru.

Selanjutnya, VOC mengutus Willem Caaf (perwakilan VOC di Banten) untuk melakukan inventarisasi lengkap terkait daerah Lampung. Selanjutnya, pada 22 Juli 1682 mengutus Koopman dan Everhard van der Schuur untuk melakukan ekspedisi pertama VOC ke Lampung. Ekspedisi tersebut membuahkan hasil yakni sebuah piagam perjanjian yang berisi bahwa pengawasan Lampung dan monopoli perdagangan di Lampung akan dilakukan langsung oleh VOC (22 Agustus 1682).

Dua hari selanjutnya atau tepatnya 24 Agustus 1682, Van der Schuur berangkat dari Banten menuju Lampung dengan ditemani oleh duta dari Banten, yakni Pangeran Nata Negara dan Aris Wangsa Yuda. Rombongan ini membawa surat-surat dari Sultan Haji untuk memperkuat maksud kedatangan mereka ke Lampung. Surat-surat tersebut umumnya berisi tentang keterangan pergantian kepemimpinan dari Sultan Ageng Tirtayasa ke Sultan Haji (22 Agustus 1682), dan VOC akan melakukan ekspedisi di Lampung atas nama sultan Banten yang baru.

Dalam buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Lampung karangan Anhar Gonggong, dkk (1983), pernah didirikan sebuah benteng di daerah Menggala yang pernah dijadikan sebagai alat pengontrol perdagangan lada di Lampung oleh VOC. Benteng tersebut bernama Benteng Albertus yang didirikan pada tahun 1738. Di dalam buku ini juga dijelaskan perlawanan-perlawanan tokoh-tokoh Lampung yang menentang adanya kekuasaan asing di daerah mereka, seperti perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Indra Kesuma di daerah Abung (Kotabumi, Lampung Utara), yang kemudian diasingkan ke Banten. Selanjutnya ada juga perlawanan yang dilakukan oleh Raden Intan I (si pemeras dan si kepala batu – julukan belanda). Beliau menginginkan kuasa penuh atas Lampung dan tidak mengakui kekuasaan Lampung. Dari sinilah ada upaya Belanda untuk membuat perjanjian dengan Raden Intan I, yang dalam hal ini dilakukan oleh Residen Belanda Krusemen pada bulan Juni 1817 di Kalianda, yang menyepakati hal-hal berikut:

  1. Raden Intan I bersedia mengakhiri jalan kekerasan dan bersedia membantu pemerintah,
  2. Raden Intan I akan diakui kedudukannya sebagaimana halnya pada zaman pemerintahan Daendels, dan 
  3. Raden Intan I mendapat pensiun sebesar f 1. 200,- setahun sedangkan saudara-saudaranya masing-masing f 600 , – setahun.
Baca Juga :   Pariwisata di Bali; Awal Mula Gambaran Eksotisme Tercipta

Namun, hubungan damai ini hanya sebentar. Pada desember 1825, Raden Intan I melakukan penyerangan di perkemahan Belanda, dan menewaskan Lelievre, dan Misonius yang luka-luka. Selanjutnya 3 tahun kemudian, Raden Intan I wafat. Kepemimpinannya digantikan oleh putranya yakni, Raden Imba Kesuma. Beliau juga menjadi penerus ayahnya sebagai penentang Belanda. Beliau melakukan persahabatan dengan pemimpin-pemimpin yang sepemikiran dengannya, yakni dengan sultan Lingga dan Batin Mangunang di daerah Semangka (Kota Agung).

Pada Januari 1828, berangkatlah pasukan Batin Mangunang dari Teluk Semaka menuju Teluk Lampung untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda. Batin Mangunang dan Raden Imba Kesuma bekerjasama dalam mengambil kekuasaan rakyat. Perjuangan-perjuangan selanjutnya dilanjutkan oleh keturunan keduanya, yakni Dalom Mangkunegara dan Raden Intan II. Masing-masing keduanya melawan Belanda hingga titik akhir hayat mereka. 

Beberapa catatan-catatan Lampung dalam Kolonialisme, berbentuk dalam untaian-untaian tulisan yang telah dijadikan buku oleh peneliti sejarah daerah Lampung, bentuk lainnya juga terdapat beberapa peta dan potret-potret kehidupan orang-orang Lampung yang berada pada zaman itu. Selain telah dijelaskan diatas tentang perjuangan dan pergolakan di Lampung. Berikut akan dijelaskan tentang Lampung berdasarkan peta yang diproduksi oleh Belanda, yakni oleh Bewerkt Door Het Encyclopaedisch Bureau 1920, sebagai editor dengan judul Residentie Lampongsche Districten, dengan skala 1 : 500.000. dalam peta ini cukup lengkap dan detail terkait penggambaran keadaan alam di Lampung. Pada saat itu Lampung hanya meliputi seluruh Provinsi Lampung saat ini kecuali daerah Kab. Pesisir Barat yang masuk keresidenan Bengkulu.

Dalam peta, tersebut terdapat beberapa tempat penting yang telah dibangun oleh orang-orang Belanda. Seperti jalan-jalan yang telah dibangun sebagai mobilisasi dalam pengangkutan hasil Bumi di Lampung. Lampung pada saat itu terdiri 2 afdeeling, yakni Telok Betong dan Sepoetih-Toelang Bawang. Kemudian Lampung juga terdiri dari 6 Onderafdeeling.

Menurut peta tersebut telah dibangun kereta api di Lampung yang melintasi Pelabuhan Pandjang (Oost Haven), Telok Betong, Garoentang, Tandjoeng Karang, Kedaton, K. Boemi hingga ke Sumatera Bagian Selatan. Selanjutnya, Lampung juga telah dibangun beberapa Pesanggrahan atau tempat peristirahatan (perkemahan) bagi orang-orang Belanda. Titik-titik pesanggrahan atau perkemahan tersebut adalah Menggala, Bandar Dewa, Pakoean Rata, Mesir Hilir, Boemi Agoeng, T. Radja, Soengsang, Negara Batin, Gedong Batin, N. Toelang Bawang, K. Boemi, Tioeh Balak, Kasoei, Bandjar Masin, Koto Wai, Menango Siamang, Djoekoeh Batoe, Djepara, Laboehan Maringgai, Koenjir, Kalianda, Tandjoengan, Goenoeng Soegih, Gedang Tataan, Koto Agoeng, Sanggi, Oeloe Semoe’oeng, Oeloe Beloe, dan Tl. Padang.

Titik-titik perkemahan ini menggambarkan tentang pentingnya sebuah daerah sehingga dijadikan sebagai tempat perkemahan, mulai dari strategisnya tempat tersebut, dekat dengan wisata, bahkan dekat juga dengan pelabuhan atau yang mendukung kegiatan kolonisasi Belanda di Bumi Ruwa Jurai. Jalan-jalan menuju perkemahan tersebut sudah cukup baik dan bisa dilalui oleh mobil-mobil Belanda. di beberapa kota-kota pun sudah dipasang jaringan telepon atau telegraf, yakni sepanjang Jalan Lintas Barat Sumatera (Kota Agung-Talang Padang-Margo Kajo (Pringsewu)-Gedang Tataan-Telok Betong), telegraf juga dipasang hingga Kalianda, Goenoeng Soegih, Menggala, Tioeh Balak, dan K. Boemi.

Peta Marga di Karesidenan Lampung (Universiteit Leiden)

Dalam peta ini digambarkan beberapa komunitas adat yang berada di Lampung. Dalam peta ini Belanda mengklasifikasikan keadatan atau marga kesukuan yang ada di Lampung menjadi 62 marga dan ditambah dengan beberapa daerah kolonisasi Jawa di daerah sekitar Gedong Tataan dan Pringsewu saat ini. Selain itu juga Belanda mengidentifikasi keberadaan orang-orang Banten yang mendiami daerah dekat dengan daerah Kedondong. Hal ini juga menjadi salah satu tanda bahwa Belanda menjadikan budaya sebagai alat yang digunakan dalam melakukan pendekatan untuk menarik perhatian pribumi. Sehingga, Belanda bisa memperkirakan peraturan-peraturan yang cocok dan menempatkan beberapa daerah yang bisa dijadikan koalisi dalam memperlancar niat kolonisasi dan monopoli perdagangan ladanya di Lampung.

Selanjutnya, terdapat arsip mengenai Kamus Belanda-Lampung yang dibuat oleh Van Deer Tuuk. Kamus ini bersampul berwarna merah, terdiri dari 71 halaman, dan hanya mengartikan kosa kata dengan huruf yang berawalan dari A-D. Kamus ini seperti pada kamus umumnya, diketik dengan mesin tik pada zamannya. Kamus ini bisa dijadikan dasar (walau perlu penelitian lanjutan) sebagai petunjuk dan sebagai penguat dugaan bangsa Belanda melakukan pendekatan budaya terhadap penguasaan Lampung atas Belanda. Terlihat begitu bersemangatnya orang-orang Belanda untuk menguasai tanah Lampung, dengan cara menerbitkan Kamus Lampung-Belanda. Hal ini juga diperuntukkan untuk mempermudah komunikasi sehingga memperlancar urusan Belanda di Lampung.

Baca Juga :   Gerakan Feminisme Indonesia; Antara Adat, dan Modernitas pada Awal Abad 20 

Selanjutnya Catatan Kolonialisasi di Lampung dalam pendidikan, barulah bergerak di abad ke-20 seiring dengan penyelenggaraan sistem politik etis. Menurut Sayuti, Husin, dkk (1982) menyebutkan bahwa di awal abad ke-20 mulai didirikan sekolah HIS (sekolah dasar 7 tahun) di Teluk Betung dan Menggala. Selain itu juga didirikan sekolah sebagai berikut:

  1. HIS (Hollands Inlandsche School)= Sekolah Dasar 7 tahun dengan bahasa Belanda hanya ada 2 buah yaitu di Tanjungkarang/Telukbetung dan Menggala.
  2. Vervlog School/Sekolah Angka Dua, yaitu Sekolah Dasar 5 tahun tanpa bahasa Belanda, ada 16 buah, masing-masing di Gedongtataan (untuk anak-anak kaum kolonialisasi/ transmigrasi dan ditambah mata pelajaran pertanian), Kedondong, Telukbetung, Kalianda, Tanjungkarang (ada 2 buah, di mana satu khusus untuk anak perempuan), Gunung Sugih, Negara Tulang Bawang, Padang Ratu, Blambangan Pagar, Menggala (ada 2 buah, di mana satu khusus untuk anak perempuan) Kotaagung dan Talangpadang. 
  3. Volkschool/Sekolah Desa (Sekolah Dasar 3 tahun) yang banyaknya 114 buah, masing-masing berada di:
  1. Onder-Afdeling Telukbetung (29 Buah)
  2. Onder-Afdeling Kotaagung (14 Buah)
  3. Onder-Afdeling Kotabumi (34 Buah)
  4. Onder-Afdeling Sukadana (21 Buah)
  5. Onder-Afdeling Menggala (16 Buah)

Sekolah-sekolah ini dibentuk dengan tujuan untuk memperoleh SDM bumiputera yang bisa dimanfaatkan sebagai pegawai atau karyawan di perkebunan-perkebunan besar Belanda yang ada di Lampung, sehingga mereka tidak perlu lagi mendatangkan pekerja-pekerja yang berasal dari Belanda (yang harganya cukup mahal). Hal ini juga didukung dengan adanya pembelaan kaum pribumi yang harus diberikan haknya pada saat itu, maka pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan Politik Etis (politik balas budi), yang salah satunya adalah bidang pendidikan.

Selain pendidikan dasar, pemerintah Hindia-Belanda juga mendirikan cikal-bakal sekolah pertanian di Lampung. Sayuti, Husin, dkk (1982:62) mengatakan bahwa Sekolah Pertanian (Landbouwsclfool), ( Cultuurschool) sudah terdapat di Hajimena Natar sebagai embrio sekolah pertanian di daerah Lampung yang didirikan sekitar tahun 1930-an. Beliau juga menambahkan bahwa di daerah Lampung Sekolah Taman Siswa telah ada di Gedung Tataan yang didirikan pada tahun 1925. Barulah kemudian di Telukbetung dalam perkembangan selanjutnya sekolah Taman Siswa di Lampung didirikan pada kota-kota kecil seperti Kotabumi, Menggala dan Kalianda.

Yusuf, Tayar, Roesman Efendi, dan Sutrisno Kustoyo (1984/1985: 2) menyatakan Transmigrasi pertama dari Jawa ke Lampung yang pada masa kekuasaan Belanda disebut dengan istilah “Kolonisasi” dimulai pada awal abad ke-20 ini yakni pada tahun 1905 sebagai tahun tonggak sejarah awal pertransmigrasian di bumi Indonesia sebagai suatu sistem baru dalam kebijaksanaan di bidang kependudukan ketika itu. Muhsin, Muniuh, dan Bambang Rudito (2014) juga menambahkan Saat itu, rombongan generasi pertama tiba dengan salah satu koordinatornya bernama Kartoredjo. Dari Bagelen rombongan para kolonis terlebih dahulu menuju Batavia (sekarang Jakarta) menggunakan transportasi kereta api. Dari Pelabuhan Tanjung Priok mereka menempuh jalur laut dan merapat di pelabuhan Teluk Betung. Setelah sampai di pelabuhan Teluk Betung, rombongan angkatan pertama tersebut menuju lokasi penempatan, selanjutnya mereka berjalan kaki. Hal inilah yang menjadi titik awal keberagaman penduduk Lampung. Setelah program ini, dilanjutkan oleh kedatangan suku-suku lainnya, seperti minang, batak, bali, sunda, dan lain sebagainya hingga sekarang.

Demikianlah catatan-catatan Lampung dalam sebuah lawatan masa-masa Kolonial. Semoga tulisan ini bermanfaat. Terimakasih.

Daftar Sumber

Gonggong, Anhar, M. Soenjata Kartadarmadja, dan Muchtaruddin Ibrahim.1993. Sejarah Perlawanan Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Lampung. Jakarta: Depdikbud.

Sayuti, Husin, dkk. 1982. Sejarah Pendidikan di Daerah Lampung. Jakarta: Depdikbud.

Yusuf, Tayar, Roesman Efendi, dan Sutrisno Kustoyo. 1984/1985. Sejarah Sosial Daerah Lampung Kota Madya Bandarlampung. Jakarta: Depdikbud.

Muhsin, Muniuh, dan Bambang Rudito. 2014. Bunga Rampai Eksistensi Ragam Budaya Lampung. Jakarta: Kemendikbud.

Digital Collection Universiteit Leiden.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts