La Galigo; Kerjasama Pribumi dan Belanda dalam Merawat Ingatan

Hari ini La Galigo dikenal sebagai tulisan terpanjang di dunia, berkat tangan-tangan dingin orang-orang yang mau menghabiskan sebagian besar hidupnya mengumpulkan fragmen-fragmen yang terpisah-pisah dari berbagai tempat yang berjauhan. 

Oleh Muh. Zulkifli

Berawal dari Alkitab

Berawal pada tahun 1847 M, petinggi Nederlandsch Bijbelgenootshap (Lembaga Alkitab Belanda) merasa bahwasanya Alkitab perlu diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lokal yang ada di Nusantara. Di Sulawesi Selatan jumlah penutur bahasa terbesar adalah bahasa Bugis dan bahasa Makassar. Oleh karena itu, Injil akan diterjemahkan dengan menggunakan bahasa ini. Pengaruh lainnya, menurut John Leyden dikarenakan Al-Qur’an sudah diterjemahkan ke dalam kedua bahasa ini dan seharusnya agama Kristen menerjemahkan  kitab sucinya ke dalam bahasa Bugis dan Makassar (Leyden, 1811: 195).

Tugas penerjemahan Injil dalam bahasa Bugis dan Makassar diserahkan kepada Dr. Matthes ketika berusia tiga puluh tahun. Pada bulan Juni 1848 M, Matthes dan Istrinya tiba di Batavia dan Matthes segera mengumpulkan referensi-referensi berkaitan dengan bahasa Bugis dan Makassar yang didapat dari seorang pendeta yang pernah bertugas di Makassar.

Tiba di Sulawesi Selatan

Bulan Desember 1848 M, Matthes tiba di pelabuhan Makassar dan menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Sulawesi dan sesegera mungkin menjalankan tugas yang diberikan oleh Lembaga Alkitab Belanda. Bahasa Makassar menjadi tujuan pertamanya. Matthens dibantu oleh masyarakat-masyarakat setempat untuk mendalami bahasa Makassar. Matthes berpendapat dalam laporannya kepada Lembaga Alkitab Belanda bahwasanya bahasa Makassar lebih mudah dipahami daripada bahasa Bugis. Matthes memberikan contoh pada kata ‘hari’ yang dalam bahasa Bugis memiliki enam kata yang bisa digunakan untuk mengungkapkannya sedangkan bahasa Makassar hanya memiliki satu kosakata (Matthes, 1943a: 174-175).

Sembari mendalami dan meneliti bahasa Makassar, Matthes mulai mengumpulkan tulisan-tulisan Bugis dan diantaranya ada naskah La Galigo. Setelah beberapa tahun meneliti bahasa Makassar, Matthes ingin lebih mendalami mempelajari bahasa Bugis secara intensif. Matthes kemudian berangkat ke daerah Bugis yang ada di sebelah utara Kota Makassar.

Berkenalan dengan Colliq Pujie

Agustus 1852 M menjadi tahun berharga bagi Matthes ketika bertemu dengan seorang yang ahli dalam kesusasteraan Bugis bernama Colliq Pujie yang merupakan putri dari penguasa Kerajaan Tanete. Colliq Pujie mengemban tugas sebagai sekretaris pribadi ayahnya karena mempunyai keahlian di bidang bahasa dan sastra Bugis. Pertemuan ini menghantarkan kepada pertemuan-pertemuan selanjutnya yang sangat berharga bagi keduanya.

Naskah La Galigo yang ada di Museum La Galigo di Benteng Fort Rotterdam Makassar.

Colliq Pujie Menjadi Tahanan Kota

Pada tahun 1855, ayah dari Colliq Pujie meninggal dunia dan digantikan cucunya We Tenriolle yang merupakan anak Colliq Pujie. Sebenarnya pewaris tahta Tanete adalah La Makkawaru namun sifatnya yang buruk menyebabkan La  Rumpang enggan menyerahkan tahta kepadanya. Tahun-tahun berikutnya sangat berat bagi Colliq Pujie. Terjadi pertengkaran di kalangan keluarganya dan sikap Colliq Pujie yang kurang suka dengan Belanda yang semena-mena membuatnya dibawa ke Makassar dan dijadikan tahanan kota oleh Belanda. Namun, tunjangan hidupnya ditanggung oleh pemerintah Hindia Belanda sebesar 20 gulden dan sebanyak 2 pikul beras sebulan. Rupanya pemerintah Hindia Belanda menganggap bahwasanya keputusan Colliq Pujie ini adalah kesukarelaan karena tidak ada surat ketetapan resmi dari Gubernur yang memerintahkannya menjadi tahanan kota (Brink, 1884: 167-168).

Matthes Menelusuri La Galigo

Setelah menelusuri wilayah-wilayah Bugis yang berada di utara kota Makassar, Matthes bergerak ke pedalaman Sulawesi Selatan pada tahun 1856 M guna mencari bahan penelitian untuk mendalami bahasa Bugis. Dalam perjalanan ini Matthes bertemu dengan orang-orang yang membantunya mengumpulkan naskah-naskah La Galigo. Matthes sempat datang ke beberapa tempat seperti Pare-Pare, Amparita (Sidrap), dan Lagusi (Wajo). Matthes tinggal di Lagusi selama empat bulan dan mendapat pengajaran mengenai bahasa dan sastra Bugis, namun di Lagusi Matthes tidak mendapatkan koleksi naskah La Galigo. Pada tahun 1857, Matthes berencana melakukan penelitian di Kerajaan Bone namun Raja Bone tidak mengizinkan kegiatan Matthes dan Matthes kembali ke Makassar dengan tangan hampa (Koolhof, 2017: 14)

Baca Juga :   Transformasi Sosial Masyarakat Gresik Menuju Masyarakat Industri  

Selama Colliq Pujie menjadi tahanan kota di Makassar, Matthes sering melakukan kontak dengan Colliq Pujie. Dalam salah satu suratnya, Matthes menulis “Hampir setiap hari saya menengok seorang Ratu Bugis (Colliq Pujie) yang ditetapkan sebagai tahanan kota oleh pemerintah Hindia Belanda dengan alasan politik” (Koolhoof, 2017: 12). Matthes mengunjungi Colliq Pujie dengan tujuan untuk meminta bahan dan bersedia membantu menyalin La Galigo. Colliq Pujie menerima hal itu karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang pas-pasan akibat tunjangan dari pemerintah Hindia Belanda dirasa tidaklah cukup untuk biaya hidupnya.

Menyalin dan Menyusun La Galigo

Bahan-bahan yang digunakan dalam menyalin dan menyusun La Galigo agar ceritanya dapat runut episode per episodenya merupakan permintaan Matthes kepada Colliq Pujie. Bahan-bahan ini berasal dari perjalanan Matthes selama di daerah Bugis seperti naskah-naskah La Galigo dari masyarakat setempat yang disalin Matthes sendiri ataupun naskah yang diberikan langsung kepada Matthes. Selain itu, ada juga ingatan Colliq Pujie mengenai La Galigo yang awalnya merupakan tradisi tutur sangat membantu penulisan ini. Dalam penyalinan ini Colliq Pujie dibantu oleh beberapa orang. Berdasarkan pengakuan Prof Nurhayati Rahman terdapat empat jenis tulisan di naskah ini.

Matthes sangat berambisi dan yakin bahwasanya naskah kuno pada zaman dahulu pernah lengkap dan utuh dan dalam perjalanan waktu naskah ini kemudian terpecah-pecah ke dalam beberapa fragmen sebab masyarakat pribumi lebih senang melagukan La Galigo daripada menuliskannya (Matthes, 1872b: 251). Hasil kerjasama Matthes dan Colliq Pujie membuahkan hasil serta menyelamatkan La Galigo dari kepunahan. La Galigo yang disalin sebanyak 12 jilid dan memiliki ketebalan halaman 2851 halaman folio. Jumlah ini belum keseluruhan dari isi cerita La Galigo menurut Kern. Naskah La Galigo hasil kerja Matthes dan Colliq Pujie hanya satu per tiga dari naskah keseluruhan (Kern, 1939: 1003).

Peninggalan Matthes

Berakhirnya tugas Matthes di Sulawesi Selatan pada akhir abad ke 19, membawa serta hasil-hasil penelitiannya selama di Sulawesi Selatan. Salah satu diantaranya adalah naskah La Galigo dan diserahkan kepada Perpustakaan Universitas Leiden. Naskah ini hari ini dikenal dengan La Galigo NBG 188 dan naskah ini menjadi salah satu naskah yang diajukan kepada UNESCO sebagai Memory Of The World (Ingatan Dunia) serta ditetapkan secara resmi pada 11 Desember 2011 oleh UNESCO berkat kerjasama Benjamin Frederik Matthes dengan Ratna Kencana Colliq Pujie.

Referensi 

Leyden, J. 1811. “On the languages and literature of the Indo-Chinese nations” Asiatic Researches 10: 158-289.

Matthes, B.F. 1943a. “Nimmer uitgegeven verslag va de eerste reis van Dr. B.F. Matthes, gevonden in een uitvoerige brief van 7 Oktober 1852, aan het Nederlandsch Bijbelgenootschap.” Dalam Van de Brink 1943.

Staden ten Brink, P.B. van, 1884. Zuid-Celebes. Bijdragen tot de krijgsgeschiedenis en militaire geographie van de Zuidelifke landtong van het eiland Celebes. Ultrecht: Kemink.

Koolhof, Sirjo. La Galigo: Karya Sastra Agung dari Tana Ugiq, dalam pendahuluan buku La Galigo menurut NBG 188 Jilid 1, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2017.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts