Kyai Haji Ma’arif Sang Pemberi Jalan : Kisah Putra Kyai Jadug

Kyai Haji Ma’arif adalah Putra ketiga dari Kyai Haji Abdul Manan Muncar. Beliau lahir di Desa Sumberejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Beliau lahir dengan  dengan nama asli Ma’ariful Waro. Tanggal lahir beliau belum diketahui karena tidak ada dokumen pasti. Namun beliau wafat di tahun 2002 di usia 85 tahun. Diperkirakan dari tahun meninggalnya, tahun lahir beliau sekitar 1916 atau 1917 (Ashari, 2021). Kyai Haji Ma’arif mengenyam pendidikan langsung dari ayahnya sendiri yaitu Kyai Haji Abdul Manan. Kyai Haji Abdul Manan atau dapat disapa dengan panggilan Kyai Haji Jadug lahir pada tahun 1870, di Desa Grampang, Kabupaten Kediri. Beliau merupakan putra kedua dari Kyai Haji Moh Ilyas yang berasal dari Banten dan Ummi Kultsum, yang berasal dari Jatirejo, Kandangan (Kediri). Ketika berusia 1 tahun, Kiai Jadug dibawa Kyai Haji. Moh Ilyas pindah dari Grempol ke Desa Ngadirejo, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri. Setelah pindah, ayahnya kemudian membuka pondok pesantren.

Oleh Vini Rahmawati

Beberapa kali Kyai Haji Abdul Manan mengenyam pendidikan pondok, salah satu ke pesantren Jalen Genteng (Banyuwangi).  Saat itu, beliau diasuh oleh Kyai Haji Abdul Basyar. Karena usianya paling tua, di Pondok Jalen ia diangkat menjadi kepala pondok atau banyak orang bilang lurahnya Pondok (Fachrul, 2022). Kyai Haji Abdul Manan melepas masa lajangnya dengan menikahi seorang putri dari dusun Sumber biru Puhrejo, Pare (Kediri) bahkan sampai membangun pondok kecil. Namun karena Kyai Haji Abdul Manan tidak cocok dengan tempat itu, akhirnya ia cerai dengan istrinya dengan status belum punya putra dan ia akhirnya kembali ke Jatirejo, Kandangan (Kediri).

Di Jatirejo, rupanya ia tidak betah juga karena rasa ghirah (semangat) untuk berta’alum (mencari ilmu) masih sedemikian tinggi. Akhirnya ia kembali mondok ke pesantren Jalen Genteng (Banyuwangi) yang saat itu diasuh oleh Kyai Haji Abdul Basyar. Karena usianya paling tua, di Pondok Jalen ia diangkat menjadi kepala pondok atau banyak orang bilang lurahnya Pondok. Tak selang beberapa lama kemudian, ia diambil menantu oleh Kyai Haji Abdul Basyar dengan dinikahkan dengan salah satu putrinya yakni Siti Asmiyatun. Dari pernikahan beliau dengan Siti Asmiyatun binti Abdul Basyar, beliau dikaruniai dua belas putra yakni Nyai Siti Robi’ah Askandar, Tabsyrul Anam, Ma’ariful Waro, Rofiqotuddarri, Nuryatun, Ma’rifatun, Khosyi’atun, Kamaludin, Abdul Malik Luqoni, Mutamimmah, Munawarroh dan Zubaidah. Dapat diketahui bahwa Kyai Haji Ma’arif atau Ma’rifatul Waro adalah anak ketiga (laki-laki) dari dua belas saudara, hasil pernikahan Kyai Haji Abdul Manan dengan Siti Asmiyatun (Fachrul, 2022).

Sumber: Dokumentasi Pribadi (Kyai Haji Ma’arif Sisi Kiri Gambar)

Kyai Haji Abdul Manan mendirikan beberapa pondok pesantren antara lain Pondok Pesantren KH. Abas di daerah Wlingi (Blitar), Pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pondok Pesantren Gayam (Jombang), Pondok Pesantren Tegalsari (Ponorogo) dan terakhir ia mondok dengan Kyai Haji Kholil Bangkalan dan Pondok Pesantren Minhajut Thullab Sumberberas, Muncar. Sebelum memilih daerah Berasan, ia sebelumnya berkeliling mulai dari Kalibaru, Silir, Pesanggrahan, Tamansari dan Berasan. Ternyata dari sekian tempat yang dijelajahi akhirnya terpilih daerah Berasan. Itu pun atas isyarah dari Kyai Haji Cholil Canggan Genteng, Banyuwangi agar memilih daerah Berasan menjadi sentral pesantren yang akan ia rintis. 

Pada tahun 1929, Kyai Haji Abdul Manan pindah dari Jalan ke Berasan dan mendirikan Pondok Pesantren Minhajut Thullab (Fachrul, 2022). Sedangkan Pondok Pesantren Jalen diteruskan oleh adik iparnya yakni Nyai Mawardi. Awal berdiri, pondok pesantren hanya berupa sebuah rumah dan mushola kecil dan bangunan pondok bambu. Semakin lama, santri mulai berdatangan dari berbagai daerah. Bahkan beliau mulai kerepotan menampung jumlah santri sehingga ia menambah jumlah lokasi pondok dengan membeli sebagian tanah penduduk setempat sekaligus membuat bangunan masjid dan bangunan kamar-kamar pondok pesantren yang permanen. 

Baca Juga :   Masuknya Pasukan Salib dan Berkobarnya Perang Salib di Nusantara

Pendidikan

Kyai Haji Ma’arif bersama ayahnya melakukan perjalanan ke Mekkah untuk menimba ilmu selama 9 tahun. Setelah pulang dari Mekkah, beliau melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Kyai Haji Wahid Hasyim di Jombang. Ketika Kyai Haji Ma’arif berusia sekitar 12 tahun, beliau  diajak ke Mekkah oleh orang tuanya yaitu Kyai Abdul Manan. Di usianya yang masih belia, tak mengherankan apabila sikap terdidik beliau sudah terlihat. Setelah pulang dari Mekkah, melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Jombang selama 20 tahunan.

Waktu 20 tahun adalah rentang cukup lama untuk mengenyam pendidikan agama. Tak lama kemudian, beliau pulang ke kampung halaman dan bergabung dengan partai Masyumi. Organisasi ini didirikan pada tanggal 24 Oktober 1943 karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan rakyat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Tujuan pendirian Masyumi adalah sebagai pengganti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang sudah dibentuk pada tahun 1937 untuk menaungi berbagai organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan lainnya (Noer, 1960). Masyumi adalah salah satu partai di era proklamasi kemerdekaan Indonesia. Masyumi berperan penting dalam konstituante, parlemen, memperjuangkan bentuk negara Indonesia. 

Amal Usaha

Karena dalam tubuh organisasi Masyumi banyak teman seperjuangan Kyai Haji Ma’arif yang menaungi Muhammadiyah, maka beliau turut ambil andil dalam hal tersebut. Kyai Haji Ma’arif berdedikasi kepada Muhammadiyah dan mendirikan AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) sebagai usaha media dakwah perserikatan dalam mencapai tujuan masyarakat Islam dan melaksanakan visi misi dakwah dan tajdid persyarikatan Muhammadiyah (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2000). Beberapa AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) tersebut berupa Mushola Miftahul Jannah, SD Muhammadiyah 9 Jalen, TK ABA 7 Jalen dan Masjid Al-Falah. Mushola Miftahul Jannah terbentuk sekitar tahun 1907 dan sebagai bukti perjuangan awal di daerah Jalen. SD Muhammadiyah 9 dan TK ABA 7 Jalen, didirikan tahun 1970 sebagai wujud implementasi tujuan pendidikan Islam untuk menghasilkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, berakhlak mulia, berkepribadian mandiri, teguh, cerdas, kreatif, terampil, profesional, bertanggung jawab, dan produktif. Sedangkan Masjid Al-Falah didirikan tahun 2002 dan menjadi AUM terakhir sepeninggalan Kyai Haji Ma’arif.

Teladan

Sebagai anak laki-laki tertua yang masih hidup, di mata keluarga dan saudaranya, Kyai Haji Ma’arif ibarat orang tua dan saudara-saudaranya. Banyak yang berkonsultasi dengan beliau dan sebagainya (Ashari, 2021). Sedangkan di mata masyarakat Kyai Haji Ma’arif dikenal sebagai kyai lokal yang dituakan. Penyebutan Kyai Haji tidak terlepas dari pemberian gelar kyai lokal oleh masyarakat sekitar di lingkungan Muhammadiyah Jalen. Kyai Haji Ma’arif adalah perintis Muhammadiyah yang ada di desa Jalen, terutama di wilayah Genteng-Banyuwangi. Peran tersebut juga terlihat di kalangan pemuda Muhammadiyah sebagai penggerak dan semangat juang visi misi dan tujuan organisasi (Hakim, 2022).  Sisi lain, Kyai Haji Ma’arif masih mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh Sumberberas yang sebagian besar masuk dalam organisasi NU (Nahdlatul Ulama). Serta saudara-saudara dari orang tua Kyai Haji Ma’arif. 

Perjuangan Melawan Pergolakan

Selama perjalanan berdakwah, Kyai Haji Ma’arif mengalami pasang surut. Banyak kejadian menguras tenaga dan pikiran, serta melibatkan berbagai pihak untuk menuntaskannya. Salah satu contohnya pada tahun 1965, ketika terjadinya pergerakan G30S (Gerakan 30 September) PKI. Gerakan ini bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno dan mengubah Indonesia menjadi negara komunis. Gerakan ini dipimpin oleh D.N. Aidit yang saat itu merupakan ketua dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerakan ini mengincar perwira tinggi TNI AD Indonesia. Tiga dari enam orang yang menjadi target langsung dibunuh di kediamannya. Sedangkan lainnya diculik dan dibawa menuju Lubang Buaya (John, 2008). Kyai Haji Ma’arif termasuk tokoh kala itu yang banyak diminta pendapat atau fatwanya oleh masyarakat dan sekaligus memberikan wejangan berdasarkan ajaran Islam. Hal tersebut adalah wujud melawan PKI berdasarkan landasan Islam. Basis Kyai Haji Ma’arif berada di pondok pesantren Baitul Ma’arif. Bersama tokoh golongan tua dan pemuda Muhammadiyah, Kyai Haji Ma’arif menjalankan perjuangannya. Pemuda Muhammadiyah kala itu sebagai obor semangat menuntaskan G30S.

Baca Juga :   Pemikiran Pembaruan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Perjuangan Kyai Haji Ma’arif juga mengalami perlawanan dan pertentangan di kalangan masyarakat. Ketika berdirinya Muhammadiyah, benturan dengan tradisi yang sudah lalu (Ashari, 2021). Masa pertama, tokoh-tokoh dari agama yang berbeda dengan paham Muhammadiyah, merasa terganggu dan tersisihkan dari lingkungan masyarakat. Faktor lain adalah adanya musuh bersama yaitu PKI yang berusaha menyingkirkan paham dan organisasi Islam dari tubuh negara Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, akhirnya Muhammadiyah dan organisasi Islam sekitar dapat bersatu dan melakukan gerakan pembaruan pada sisi keislaman, modernis, dan penyesuaian dengan pemerintahan (Sairin, 1995).  Gerakan Kyai Haji Ma’arif  dalam tubuh Muhammadiyah di Jalen Genteng berkembang pesat dan diterima semua kalangan masyarakat. Kolaborasi antara persyarikatan Islam lainnya di Banyuwangi juga terwujud dengan adanya kegiatan dakwah, pendirian lembaga pendidikan, dan amal usaha (Ashari, 2021).

DAFTAR PUSTAKA

Ashari, Manshur. 2021. Biografi K.H. Ma’arif. Wawancara Pribadi: 04 Juni 2021, Genteng, Banyuwangi.

Deliar, Noer. 1960. Masjumi: Its Organization, Ideology, and Political Role in Indonesia, New York: Cornell University.

Fachrul. 2022. Biografi KH. Abdul Manan Muncar (Kiai Jadug). Jakarta: Laduni.ID Layanan Dokumentasi Ulama dan Keislaman.

Hakim. 2022. Biografi K.H. Ma’arif atau K.H. Abdul Manan. Wawancara Pribadi: 05 Januari 2022, Jalen, Banyuwangi.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2000. Pedoman Hidup Islam Wargna Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Rossa, John. 2000. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Jakarta: Hasta Mitra.

Sairin, Weinata. 1995. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts