Kisah Pelarian dan Pengembaraan Putra-putri Sunan Giri dalam Serat Centhini

Kandungan Serat Centhini sangat luar biasa, mencakup banyak aspek budaya Jawa. Cerita utama dari  serat centhini adalah pada tahun 1636, Sultan Agung dari Mataram menaklukkan dua putra dan putri Sunan Giri III (Giri Prapen/Sedo) hingga melarikan diri.

Oleh Arlina Dwi Oktafiah

Serat Centhini adalah buku kesusastraan Jawa yang aslinya ditulis dalam bahasa dan tulisan Jawa dalam bentuk tembang macapat dan selesai ditulis pada tahun tahun 1814. Kandungan Serat Centhini sangat luar biasa, mencakup banyak aspek budaya Jawa. Cerita utama dari  serat centhini adalah pada tahun 1636, Sultan Agung dari Mataram menaklukkan dua putra dan putri Sunan Giri III (Giri Prapen/Sedo) hingga melarikan diri. Putra pertamanya bernama Jayengresmi diiringi dua santri Gathak dan Gathuk. Berpisah dengan dua adiknya, Jayengsari dan Niken Rancangkapti, diiringi oleh santri Buras.Kisah perjalanan melarikan diri dari kejaran prajurit Sultan Agung ini yang direkam dalam cerita perjalanan dengan menemukan banyak peristiwa pertemuan dengan berbagai tokoh di seluruh Jawa yang menceritakan berbagai cerita, legenda, adat istiadat dan berbagai ilmu lahir dan bathin.

Sumber gambar: https://langgar.co/serat-centhini/ diakses pada  25 Maret 2021

Serat Centhini ditulis pada 1814-1823 untuk melukiskan keadaan zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) dan juga menceritakan kejadian pada zaman Sunan Giri I atau Sunan Giri Gajah (1487-1506), Sunan Giri II atau Sunan Giri Pura (1506-1546) dan juga dikenal dengan nama Sunan Dalem, Sunan Giri III atau Sunan Seda (1546-1548), Sunan Giri IV (1548-1605) atau yang dikenal dengan nama Sunan Giri Prapen, dan yang terakhir Sunan Giri V atau Sunan Kawis Gua yang menggantikan Sunan Giri Prapen. Pada masa Sunan Giri V inilah Giri ditaklukkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Kisah Singkat Sunan Giri

Kisah bermula ketika Syekh Wali Lanang pergi berkunjung ke Gresik. Dalam Babad Giri menceritakan bahwa Syekh Wali Lanang datang di Pulau Jawa untuk menyebarkan dan menyiarkan agama Islam di tanah Jawa. Setelah mendapatkan restu dari Sunan Ampel, ia menuju ke Bambangan dan tinggal di Desa Purwasata yang sekarang desa tersebut sudah tidak ada lagi  jejaknya. 

Pada saat ia datang, Raja Blambangan yang bernama Menak Sembuyu sedang mendapatkan masalah, yaitu putri semata wayang alias anak tunggalnya yang masih gadis itu tengah sakit dan belum menemukan orang yang dapat menyembuhkannya. Kemudian atas laporan patih Menak Sembuyu yang bernama Samboja bahwa terdapat seorang yogi yang sedang berada di Desa Purwasaba yang notabene masih berada di wilayah Blambangan. Sang raja pun berkenan untuk dipanggilkan yogi itu agar bisa menyembuhkan putri kesayangannya. 

Syekh Wali Lanang dipanggil untuk datang ke istana guna mengobati sang putri. Sampai akhirnya ia bisa menyembuhkan putri Blambangan tersebut. Karena telah berhasil menyembuhkan putrinya, Sang Raja dengan penuh sukacita  mengangkat Syekh Wali Lanang sebagai menantunya, yakni menikahkannya dengan Sang Putri. Singkat cerita, rumah tangga mereka berjalan dengan rukun, penuh suka cita serta kasih sayang.

Pada dasarnya Syekh Wali Lanang datang ke Blambangan guna menyebarkan dan menyiarkan agama Islam melalui pendekatan dengan pemimpin kerajaan. Sehingga pada suatu hari Syekh Wali Lanang mengajak Raja Blambangan agar bersedia masuk Islam. Namun, sang raja menolak ajakan itu, dalam sumber tidak ditunjukan bagaimana penolakan sang raja, namun tercatat karena penolakan tersebut membuat Syekh Wali Lanang kembali ke Malaka ketika istrinya sedang mengandung anak pertamanya. Mendengar berita tersebut Sang Istri pun sangat sedih luar biasa.

Baca Juga :   Ngesti Pandowo; Grup Wayang Orang Mengguncang Nganjuk Tahun 1937-1943

Semenjak Syekh Wali Lanang pergi meninggalkan Tlatah Blambangan, banyak musibah yang menimpa Blambangan, banyak warga yang mati karena musibah tersebut. Hal itu membuat Sang Raja murka, sehingga Patih Samboja lah yang terkena dampaknya, Sang Raja mencopot gelar patih yang disandang Samboja. Hal itu membuat Samboja sangat kecewa dan memilih pergi meninggalkan Blambangan dan menuju Majapahit untuk mengabdi di Majapahit. Ia diterima dan diberi tanah di Giri oleh Prabu Brawijaya. Namun, setelah beberapa bulan di Giri, Samboja meninggal dan harta kekayaannya diwariskan kepada istrinya yakni Nyai Samboja. 

Sementara di Blambangan, Sang Putri yang telah ditinggalkan Syekh Wali Lanang telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat tampan. Sayangnya, Sang Raja, Menak Sembuyu tidak mau menerima kehadiran anak tersebut dan memilih untuk membuang bayi itu dengan cara menghanyutkan nya ke laut, namun akhirnya bayi tersebut ditemukan oleh Nyi Randa Sugih (Randa Kaya) dan diserahkan kepada Nyai Semboja. Namun ada cerita lain bahwa bayi tersebut bukan dipungut, melainkan sengaja diserahkan agar diasuh oleh Nyai Semboja. Hal itu membuat Nyai Semboja sangat senang karena ia memang tidak mempunyai keturunan. Anak itu pun diberi nama Santri Giri yang diasuhnya menjadi anak yang baik hati, sehat, dan tampan. Setelah Santri Giri berusia 12 tahun, Nyai Samboja memintanya untuk pergi menuntut ilmu dengan berguru kepada Sunan Ngampel Denta Surapringga (Sebutan untuk Surabaya, Pringga berarti baya). Sunan Ampel mempunyai anak bernama Bonang atau yang bernama asli Makdum Ibrahim, Santri Giri dan Bonang menjalin hubungan persahabatan yang sangat tulus dan tanpa ada selisih paham. 

Setelah Nyai Samboja wafat dan dimakamkan tak jauh dari makam suaminya, mereka disebut sebagai leluhur Giri. Namun, sebelum Nyai Samboja wafat, beliau terlebih dahulu dibimbing oleh Santri Giri mengucapkan dua kalimat syahadat dan ia berpesan agar semua harta kekayaannya disedekhakan kepada kaum fakir miskin secara merata. 

Lalu setelah itu Santri Giri dijadikan menantu oleh Sunan Ampel dan diangkat menjadi Sunan Giri atau Sunan Giri 1 yang disebut dengan Sunan Giri Gajah (1487-1506). Dengan ini daerah Giri merupakan wilayah kekuasaan Sunan Giri 1. Setelah Sunan Giri 1 wafat, daerah Giri dipegang oleh Sunan Pura/Dalem sebagai Sunan Giri II meskipun Sunan Giri II ini tidak terlalu dikenal namun dalam waktu kepemimpinannya tidak ada penyerangan dari Majapahit. Singkat cerita Sunan Giri II wafat dan digantikan oleh Sunan Giri III atau Sunan Sedo yang lebih terkenal dari pada kakeknya, Sunan Giri I. 

Sunan Giri III ini memiliki watak yang sama dengan kakeknya, ia tak mau menyerah dengan Majapahit. Karena kejayaan daerah Giri ini, Sang Prabu memerintahkan Mahapatih Gajah Mada untuk melakukan serangan. Mendengar kabar penyerangan tersebut, Sunan Giri III memilih untuk mempersiapkan perang karena ia juga enggan tunduk terhadap Majapahit.

Dalam serat centhini, penyerangan Majapahit terhadap Giri dilakukan ketika masa kekuasaan Sunan Giri III. Namun, menurut catatan sejarah Sunan Giri, Majapahit sudah tidak berkuasa lagi ketika itu, Majapahit sudah lenyap di era kekuasaan Sunan Giri II (1506-1546) yakni hanya sampai pada tahun 1519 M karena ditaklukan oleh Sultan Demak Adipati Unus. 

Sunan Giri III atau Sunan Sedo hanya memerintah selama dua tahun (1546-1548) dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Sunan Giri IV (1548-1605), ia mendapat utusan untuk menjadi juru lantik bagi raja-raja islam di Nusantara. Sunan Giri IV juga membuat kesepakatan dengan para bupati di Jawa Timur mendukung penobatan Sultan Pajang yakni Sultan Adi Wijaya (1549-1582). Singkat cerita, Sunan Giri IV wafat pada tahun 1605 M. Hingga Kerajaan Giri dipegang oleh Sunan Giri V  atau Sunan Kawis Guwa, 

Baca Juga :   Gelanggang Buku: Arena “Konfrontasi Dua Kebudayaan”
Sumber Gambar: https://budaya-indonesia.org/Serat-Centhini diakses pada 25 Maret 2021

Penaklukan Mataram Terhadap Giri Kedaton

Pada tahun 1629 di masa Sultan Agung Hanyakrakusuma atau biasa disebut Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap Kedaton Giri yang dibantu dengan Pangeran Pekik keturunan Sunan Ampel atau dikenal dengan Pangeran Surabaya. Lalu, membuat strategi dengan menikahkan adik bungsunya, Ratu Pandansari dengan Pangeran Pekik dan menjadikan Pangeran Pekik sebagai trah Mataram. Sultan Agung menyadari bahwa ada negara di dalam negara. Kerajaan-kerajaan kecil di Mataram yang mempunyai pengaruh besar adalah Kedatuan Giri hingga Giri harus dihancurkan agar tidak menjadi duri bagi Mataram. 

Karena Sultan Agung menganggap bahwa Giri merupakan keturunan dari Wali Songo, membuatnya enggan menyerang Giri secara langsung. Sultan Agung lebih memilih untuk memerintahkan Pangeran Pekik membujuk Giri agar menyerah secara baik-baik pada Kedaulatan Mataram. Ia menggunakan strategi sebelumnya yang sudah ia buat, dengan menikahkan adik bungsunya lalu membujuk adiknya itu untuk berbicara kepada suaminya, Pangeran Pekik, agar mau menaklukan Giri. 

Setelah Pangeran Pekik pulang dari Surabaya, keputusan Giri telah bulat bahwa ia  menolak ajakan menyerah kepada Mataram, Giri tetap dalam pendiriannya, yakni perang. Semua pasukan telah disiapkan oleh Giri, dan Endrasena sebagai panglima perang. Kabar peperangan ini sudah menyebar pada seluruh santri, khatib, dan masyarakat di sekitar Pesantren Giri. Salah satu putra Sunan Giri yakni Raden Jayengresmi membujuk ayahnya agar membatalkan peperangan dan memilih untuk mengalah pada Mataram, namun hal itu tidak mempengaruhi niat Sunan Giri untuk tetap melaksanakan peperangan, hingga membuat Jayengresmi pergi undur diri. 

Mataram menyerang Giri dengan menggunakan prajurit dari Surabaya. Namun, penyerangan pertama gagal hingga menimbulkan banyak korban jiwa dan korban luka dari pihak Mataram. Kekalahan itu tidak membuat Mataram dan pasukannya menyerah, keesokan harinya di bawah komando Ratu Pandhansari dilakukan penyerangan balik dengan menggunakan strategi yang membingungkan pasukan Giri yakni dengan menggunakan pakaian warna-warni untuk pasukannya, serangan mendadak itu pun menghasilkan kemenangan di pihak Mataram dan pasukan Surabaya. 

Akhirnya Giri dapat ditaklukan oleh Mataram pada tahun 1636 M. Sesuai perintah Sultan untuk tidak membunuh Sunan Giri dan memilih untuk menangkapnya hidup-hidup. Sunan Giri V dan ketiga istrinya diboyong ke Mataram kecuali ketiga putranya yakni R. Jayengresmi bersama Gathak dan Gathuk dan kedua adiknya R. Jayengsari dan Niken Rancakapti yang ditemani oleh Santri Buras. 

Referensi 

Budiono Ridwan. 2018. https://docplayer.info/55330584-Serat-centhini-jilid-01.html. Diakses pada 25 Maret 2021

Chodjim Achmad. 2019. Serat Centhini: Menyingkap Rasa, Menyurat yang Tersirat. Jombang: PT. Bentara Aksara Cahaya.

Wahyudi Agus. 2015. Kisah Pelarian Putra-Putri Sunan Giri Menjelajah Nusa Jawa. Yogyakarta: Penerbit Cakrawala Yogyakarta.

R.M.A. Sumahatmaka. 2015. Ringkasan Serat Centhini. Penerbit PN Balai Pustaka.

Inandiak, Elizabeth. 2004. Centhini: Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan. Surabaya: Agromedia Pustaka.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts