Kisah Mbah Zainal Abidin, Sang Pembaru Islam Desa Tambaksumur Sidoarjo

Desa Tambaksumur merupakan desa yang terletak di Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Desa ini dihiasi oleh tradisi dan budaya Kejawen yang kuat pada mulanya, tetapi kemudian berubah menjadi luar biasa dari sisi spiritualitas Keislamannya. Di tengah-tengah perjalanan panjang sejarah perubahannya, salah seorang tokoh yang menjadi sentral ialah Mbah Zainal Abidin.

Oleh M Khusnial Muhtar

Dalam artikel ini kita akan menelusuri bagaimana Mbah Zainal Abidin memimpin pembaruan Islam di Desa Tambaksumur. Melalui artikel ini juga,  kita akan memahami cara beliau menyatukan nilai-nilai agama dengan warisan tradisi lokal dan mengungkap cara beliau menginspirasi masyarakat untuk kemudian mengikuti jalan kehidupan yang lebih suci. Kisah ini merupakan kisah yang disampaikan secara turun-temurun (oral history). 

Mbah Zainal Abidin: Pahlawan Agama yang Membawa Cahaya Islam

Mbah Zainal Abidin adalah sosok pahlawan agama yang membawa cahaya Islam ke Desa Tambaksumur. Mbah Zainal Abidin adalah seorang pribumi yang lahir di desa Tambaksari dan melakukan pengembaraan ilmu dari satu daerah ke daerah yang lain. Atas pengembaraannya tersebut, beliau kemudian diakui sebagai seorang kyai dan cendekiawan yang amat disegani.

Sebagai seorang kyai dan cendekiawan yang mendalam, Mbah Zainal Abidin mengamati dan memahami betapa pentingnya pembaruan agama di tengah masyarakat tempat kelahirannya. Masyarakat desa yang kental dengan tradisi dan budaya Kejawen yang mengakar, tidak jarang beberapa di antaranya melanggar syariat Islam. Untuk itu, dengan penuh semangat dan visi yang jelas, beliau bersama sang istri, Nyai Ummu Kulsum memulai perjuangan yang menantang untuk mengubah kehidupan religius masyarakat Desa Tambaksumur menjadi lebih mendalam dan berlandaskan Islam sebagaimana mestinya.

Awal Perubahan: Menggabungkan Nilai-Nilai Islam dan Tradisi Lokal

Pada abad ke-12 H atau sekitar tahun 1749-1750 M, Kyai Zainal Abidin memulai perjalanan menuju perubahan yang signifikan. Beliau menyebarkan pengetahuan agama yang komprehensif kepada penduduk desa, mengajarkan ajaran Islam yang murni dan dasar dengan bahasa penyampaian yang sederhana. Beliau menyampaikan semua itu melalui tembangan-tembangan Jawa yang biasa dilantunkan pada jeda antara adzan dan iqamah, petuah-petuah singkat dalam acara kenduri, selamatan, yasinan, dan sejenisnya.

Tidak hanya itu, Mbah Zainal Abidin juga menggabungkan nilai-nilai lokal dengan prinsip-prinsip Islam dengan membuktikan bahwa keduanya dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi. Beliau tidak serta merta menghapus tradisi dan budaya Kejawen yang telah mengakar dalam jati diri masyarakat, apalagi menghina dan merendahkan. Sebagaimana para Walisongo, beliau melakukan akulturasi dengan mengganti beberapa orientasi dan komponen yang ada dalam tradisi serta budaya Kejawen menjadi bernafaskan Keislaman.

Perjalanan Penuh Tantangan: Menyatukan Masyarakat dalam Cahaya Islam

Perubahan ini tentu tidaklah mudah. Masyarakat Desa Tambaksumur yang telah lama terikat dengan tradisi Kejawen, awalnya menunjukkan resistensi terhadap perubahan ini. Terdapat sebagian dari masyarakat yang merasa bahwa apa yang diinovasikan oleh Mbah Zainal Abidin melenceng dari ajaran para leluhur. Namun, dengan kebijaksanaan, ketekunan, dan karisma Mbah Zainal Abidin, mereka mulai membuka pikiran dan hati mereka.

Melalui ceramah, pembicaraan agama yang menginspirasi, serta tradisi seperti selamatan dan yasinan yang rutin dilaksanakan, orang-orang mulai menyadari keindahan dan kedalaman ajaran Islam yang sejati serta manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Mbah Zainal Abidin mengawali dengan seolah-olah memuliakan ajaran terdahulu, tetapi kemudian menyisipkan ajaran Islam yang sebagaimana mestinya sedikit demi sedikit sebagai yang lebih tepat dan adiluhung.

Transformasi yang Menakjubkan: Masyarakat Mengadopsi Islam Sejati

Baca Juga :   Abdul Karim Amrullah: Dari Pemikiran Tentang Pembaharuan Islam Hingga Majalah Al-Munir

Setelah usaha dan iqomah berpuluh-puluh tahun berlalu, Desa Tambaksumur mengalami transformasi yang luar biasa. Masyarakatnya berangsur-angsur mengadopsi ajaran Islam sejati sambil tetap mempertahankan nilai-nilai budaya lokal mereka. Tempat-tempat ibadah yang indah dan kokoh berdiri di desa menjadi simbol dari perubahan spiritual yang terjadi. Etika dan moralitas yang kuat mewarnai interaksi sosial dan kesalehan juga menjadi pijakan utama dalam pengambilan keputusan sehari-hari.

Masyarakat desa yang pada mulanya menyandarkan dan sesuatu pada opo jare mbah-mbah biyen (apa kata para leluhur), menjadi opo jare kanjeng nabi (apa kata baginda nabi). Hal tersebut tentu perubahan yang luar biasa, yang mana masyarakat yang dulunya mengakar kuat dengan tradisi dan budaya Kejawen, menjadi masyarakat yang Islami. Adapun tradisi dan budaya dari Kejawen yang masih berjalan tetapi substansi dan orientasinya sudah bernafaskan Keislaman.

Misalnya, tradisi ruwat desa, salah satu tradisi Islam-Kejawen yang telah ada sejak lama dan masih dipertahankan dengan mengadaptasi elemen-elemen Islami yang dilaksanakan pada malam 1 Muharram, atau malam 1 Suro. Dalam tradisi ini, masyarakat mengelilingi desa dengan membawa lampu-lampu sebagai pengganti obor, sambil mengumandangkan adzan di setiap sudut perbatasan desa. Seiring perkembangan zaman, ditambahkan pula sholawat al-banjari yang didendangkan saat mereka berkeliling desa. Acara ini kemudian diakhiri dengan makan bersama dan dihiasi dengan pesta kembang api yang menambah kegembiraan dan keceriaan suasana yang sebelumnya ditujukan sebagai persembahan sesaji kepada para lelembut.

Namun, pada usia 105 tahun, Kyai Zainal Abidin menghembuskan nafas terakhir. Untuk mengenang jasa-jasanya, selain menyematkan nama beliau sebagai nama jalan utama desa Tambaksumur, masyarakat juga mengadakan acara Haul Mbah Zainal Abidin rutin setiap tahun. Acara ini menjadi penghormatan dan rasa syukur atas kehadiran Mbah Zainal Abidin dalam sejarah masyarakat desa Tambaksumur.

Salah satu ungkapan yang membekas dalam benak masyarakat setempat: “aja dadi wong sing rumangsa gedhe, nanging dadia wong sing gedhe rumangsane.” (Janganlah menjadi orang yang merasa besar, tetapi jadilah orang yang besar rasanya). Maknanya, sudah semestinya kita menjauhkan diri dari sifat sombong dan egosentris, serta mengutamakan sikap rendah hati dan menghargai orang lain. Kehidupan bukanlah sekadar tentang diri kita sendiri, tetapi juga tentang cara kita berkontribusi untuk kebaikan hidup bersama orang lain.

Referensi

Abdulloh Munir Alba. Wawancara Pribadi. 10 Juni 2023.

Achsin, Muhammad. Wawancara Pribadi. 11 Juni 2023.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.

Maulidiya, Pipit. Islam dan Tradisi Lokal Jawa: Studi Haul Mbah Zainal Abidin Sesepuh Desa Tambak Sumur Sidoarjo. Surabaya: Fakultas Adab dan Humaniora UINSA, 2014.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts