Kiprah Usmar Ismail dalam Dunia Perfilman Indonesia

Banyak orang telah melakukan aktivitas pekerjaannya dari pagi sampai sore hari. Pasti ada rasa lelah dan penat yang harus disembuhkan di tengah-tengah kesibukan tersebut. Dari lelah tersebut lahirkan ide untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan. Kegiatan yang bisa dilakukan seperti berjalan keliling taman, berbelanja, melakukan peregangan, hingga menonton film. Setelah melakukan kegiatan tersebut maka otak akan lebih fresh dan pekerjaan bisa kembali dilanjutkan.

Oleh Tamya Purnama Putrie

Menonton film menjadi alternatif hiburan yang dipilih oleh banyak orang. Perkembangan zaman dan teknologi yang maju membuat orang tidak perlu repot menonton film ke bioskop. Banyak tersedia berbagai genre film di platform digital yang gratis maupun berbayar. Menonton akan lebih menyenangkan karena dilakukan dimana dan kapan saja dengan biaya yang murah. Membahas mengenai film, apakah kita tahu siapa yang menjadi pelopor lahirnya industri perfilman di Indonesia?

Hadirnya Film-film Barat dan Tionghoa di Indonesia menjadi cikal bakal perkembangan industri perfilman di Indonesia. Orang-orang Eropa banyak melakukan dokumentasi tentang kehidupan sosial khususnya di Batavia (sekarang Jakarta) pada masa kolonial. Dokumentasi ini kemudian dijadikan sebagai sebuah film yang memberikan keuntungan. Melihat adanya potensi maka pemerintah kolonial pun mendirikan bioskop pertama di Jalan Kebon Jahe, Tanah Abang, Jakarta pada tahun 1900. Kemudian pada tahun 1926, muncul film bisu berwarna hitam putih pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng. Film ini disutradarai oleh dua orang Belanda yakni L. Heuveldrop dan George Krugers. Film ini diperankan oleh orang-orang pribumi. Namun keberadaan film ini tidak bisa dikatakan sebagai film pertama di Indonesia.

Era pendudukan Jepang memberikan sejumlah pengaruh di dunia perfilman tanah air. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Putra, dkk (2014: 236) bahwa film menjadi salah satu media propaganda yang mengusung patriotisme dan nasionalisme rakyat Indonesia. Berangkat dari kondisi inilah yang mendorong Usmar Ismail menciptakan berbagai film yang bersifat kebangsaan kepada rakyat Indonesia.

Karir Usmar Ismail Semasa Hidup

Haji Usmar Ismail Sutan Mangkuto Ameh adalah seorang tokoh sinematografi yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 20 Maret 1921. Beliau menamatkan pendidikan HIS di Batusangkar dan kemudian melanjutkan ke MULO di Padang. Selepas itu, pendidikannya dilanjutkan ke AMS-II bagian Westerns Klassiek, dan terakhir menempuh pendidikan pada tahun 1952 di Universitas California dengan jurusan sinematografi.

Usmar Ismail adalah seorang pria berdarah bangsawan yang sangat tertarik pada dunia seni pertunjukan dan sastra. Hal ini sangat terlihat ketika Ia masih duduk di bangku sekolah. Selama menempuh pendidikan, ia berperan aktif dalam berbagai kegiatan drama terutama sebagai sutradara. Kemudian setelahnya, Ia pun menjalani karir pertama dengan bekerja di Pusat Kebudayaan Jepang (Keimin Bunka Shidosho).

Potret Usmar Ismail Bapak Perfilman Indonesia (Sumber: news.detik.com)

Pada tahun 1943, Usmar Ismail mendirikan sekaligus menjadi ketua kelompok sandiwara bernama Maya. Dalam kelompok ini, ia telah menciptakan beberapa karya yaitu Mekar Melati, Mutiara dari Nusa Laut, dan Liburan Seniman. Pasca kemerdekaan Indonesia, ia juga menjalani karir menjadi tentara berpangkat mayor dan aktif di bidang jurnalistik sebagai wartawan politik. Semasa terjun di dunia jurnalistik, Usmar pun juga sempat merasakan hidup dalam bui akibat tuduhan terlibat gerakan subversi.

Sumbangsih besar yang diberikannya adalah ketika ia terjun ke dunia perfilman. Berbekal bakat dan pengalaman, pada tahun 1949 Usmar Ismail menjalin kerjasama dengan Andjar Asmara di SPFC (South Pacific Film Corp). Dalam kerjasama ini, ia menjadi asisten sutradara di film Gadis Desa. Setelah selesai menggarap, dirinya kembali terlibat dalam pembuatan film Harta Karun dan Tjitra yang kali ini disutradarai olehnya.

Baca Juga :   Perkumpulan Sekar Rukun: Kiprah Pemuda Sunda Masa Pergerakan Nasional 1919-1931

Usmar Ismail dan Perfini

Usmar Ismail tidak merasa puas atas karya-karyanya. ketidakpuasan kemudian mendorongnya untuk mendirikan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) pada tanggal 30 Maret 1950. Pendirian perusahaan ini banyak dibantu oleh teman-temannya seperti Djohan Sjafri, Rosihan Anwar, Naziruddin, Max Tera, Sjawal Mochtaruddin, dan Basuki Resobowo. Perfini menjadi salah satu tonggak perkembangan perfilman di Indonesia. sebagai perusahaan film pertama milik pribumi, pendiriannya pun bertujuan untuk menghasilkan karya film bangsa yang berkualitas baik, bercorak nasional, dan memiliki nilai artistik tinggi ( Ridayanti, 2017: 25).

Perfini telah banyak melahirkan bintang-bintang film dan sineas baru selama tahun 1950-1970 (Ridayanti: 2017: 27). Diantaranya telah mencapai popularitas seperti Fifi Young, Suzanna, Rendra Karno, Mieke Wijaya, Citra Dewi, Bambang Hermanto, Raden Ismail, Teguh Karya, Tatiek Malijati, dan Wahyu Sihombing. Tidak hanya melahirkan aktor dan artis berkualitas, Perfini juga telah menayangkan puluhan film yang sukses terjual di pasaran dan beberapa di antaranya telah mendapatkan penghargaan.

Menilik Karya Film Usmar Ismail

Hadirnya Perfini melukis sejarah baru bagi Usmar dalam mengembangkan daya kreasinya. Dari sinilah kemudian ia mulai menjajal tugas baru sebagai penulis naskah dan produser. Film pertama yang dibuatnya di bawah naungan Perfini yaitu Film Darah dan Doa (1950). Film berwarna hitam putih ini mengusung tema nasionalisme dengan mengisahkan Perjalanan prajurit divisi Siliwangi dari Yogyakarta Menuju Jawa Barat. Film ini diperankan oleh Del Juzar, Aedy Moward, Raden Ismail, Ella Bergen, Suzanna, Farida, Sutjipto, pada Muradi, Awal, A. Rachman, Muhsjirsani, dan Johana.

Poster Iklan Film Darah dan Doa | Totot Indrartot/Dokumentasi (Sumber: lokadata.id)

Tidak mudah bagi Usmar Ismail dalam menggarap film Darah dan Doa. Prosesnya sangat sulit mengingat terbatasnya modal dan peralatan produksi. Tidak hanya itu, Ia pun juga harus merangkap sebagai sutradara, penulis naskah, penata rias, dan pemeran dalam film ini. Kendati demikian, ia merasa puas dan menganggap ini adalah film pertamanya meskipun sebelumnya telah memproduksi film Harta Karun dan Tjitra. Kepuasan tersebut bertambah ketika Ia mendapat penghormatan untuk menayangkan film Darah dan Doa di Istana Merdeka di hadapan Presiden Soekarno. Kemudian, hari pertama syuting film ini yaitu 30 Maret pun ditetapkan sebagai peringatan Hari Film Nasional.

Setelah sukses menggarap film Darah dan Doa, Usmar Ismail mulai menciptakan film-film baru seperti Enam Djam di Yogya (1951), Kafedo (1953), Krisi (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tamu Agung (1955), Tiga dara (1956), Delapan Pendjuru Angin (1957), Asrama Dara (1958), Pedjuang (1960), dan masih banyak lagi. Selama berkarya ia tercatat telah menghasilkan 33 film yang terdiri dari 13 film drama, 9 film komedi, 7 film aksi, dan 4 film hiburan. Kontribusinya yang besar membuatnya kemudian dijuluki sebagai Bapak Film Indonesia.

Di tengah karirnya itu Usmar Ismail pun berpulang pada 2 Januari 1971 di usianya 50 tahun. Di sisa-sisa hidupnya, ternyata Ia harus merasakan kekecewaan ketika menjalin kerjasama dengan International Film Company (perusahaan film Italia) atas penggarapan film  Adventures in Bali. Kemudian dalam mengenang 100 tahun kepergiannya, Usmar Ismail pun dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Penobatan tersebut diberikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 10 November 2021.

Narasi: Usmar Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 30 Maret 

Daftar Pustaka

Putra, Angga Regianto dkk. (September 2014). Pendidikan Nasionalisme dan Patriotisme dalam Perfilman Karya Usmar Ismail 1950-1971. Jurnal Progam Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo, 2(2), 233-248.

Baca Juga :   Lembuswana : Satwa Mitologi Sang Kota Raja

Isnaeni, Hendri F. (2015). Kisah Tragis Akhir Hidup Bapak Film Nasional. Historia.id.

https://historia.id/kultur/articles/kisah-tragis-akhir-hidup-bapak-film-nasional-DAIZw

Muhlisiun, Arda. (September 2016). Film “Darah dan Doa” sebagai Wacana film Nasional Indonesia. Panggung, 26(3), 234-246.

Ridayanti, Neneng. (2017). Peran Perfini dalam Mengembangkan Perfilman Nasional Indonesia, 1950-1970. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 2(1), 19-30.

Nuryanto, Tato dkk. (2021). Analisis Wacana Kritis Profil Usmar Ismail, Bapak Perfilman Yang Akan Dianugrahi Gelar Pahlawan oleh Jokowi. Paramasastra: Jurnal Ilmiah Bahasa Sastra dan Pembelajarannya, 8(2), 129-145.

https://amp.kompas.com/entertainment/read/2017/03/30/101921810/dara-doa-anak-sulung-perfilman-indonesia

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts