Ketika De Graaf Jatuh Cinta pada Sejarah Jawa

Berbicara mengenai sejarah Jawa kiranya tidak lupa untuk mengingat kembali sejarawan H.J. de Graaf. Walaupun ia berkebangsaan Belanda, karya-karyanya sangat penting bagi perkembangan historiografi di Indonesia. H.J. de Graaf memfokuskan dirinya untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk khazanah sejarah Jawa. Berkat studi dan fokus kajiannya, De Graaf mendapat julukan sebagai “Bapak Sejarah Jawa”. Karya-karyanya tentang sejarah Jawa masih bertahan hingga kini dan menjadi acuan bagi sejarawan-sejarawan di Indonesia.

Oleh Bondan Wisnu

Hermanus Johannes de Graaf lahir di Rotterdam, Belanda, pada tanggal 2 Desember 1899. Masa kecilnya dilalui penuh di Negeri Belanda. Dia sekolah di tingkat dasar dan menengah yang kemudian lulus pada 1919. Ia melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Leiden. Selama menjadi mahasiswa di Leiden, dia tidak memiliki komitmen dalam Sejarah Asia. Di akhir studinya, ia memutuskan untuk bekerja di Dinas Pemerintahan Batavia, Hindia Belanda. Ketertarikan dengan sejarah Indonesia dimulai ketika ia membaca buku-buku tentang sejarah Indonesia saat perjalanan ke Batavia.

H.J de Graaf (Sumber : M.C Ricklefs, “In Memoriam Dr. J.J de Graaf; 2 December 1899 – 24 Agust 1984”, dalam Jurnal Bijdragen Tot De Taal-Land En Volkenkunde, Vol. 141, no. 2/3, 1985.)

Saat di Hindia Belanda, ia ditugaskan sebagai guru sejarah di HBS (Hoogere Burgerschool) Surabaya. Ia dipindahkan ke Batavia untuk membuat katalog perpustakaan di sebuah museum setahun kemudian. Akibat kesulitan dengan atasannya, de Graaf dikirim ke Inspektorat Sekolah Menengah. Selama mengajar, ia mendapati cinta pertamanya yakni seorang guru berusia dua puluh enam tahun. Pada Desember 1929, de Graaf memutuskan menikah dengan Carolina Johanna Mekkink. De Graaf dan Carolina dikaruniai empat orang anak antara lain, Hendrik (1931), Johannes (1933), Elisabeth Anna (1935), dan Anna Elisabeth (1948). Sayangnya, Elisabeth Anna meninggal pada 1944 di usia sembilan tahun saat berada di kamp interniran Jepang.

Jatuh cinta pada sejarah Jawa

Di Batavia, de Graaf bertemu dengan seorang guru baru yang sangat berpengaruh bagi dirinya, R. M. Ng. Profesor Poerbatjaraka. Prof. Poerbatjaraka adalah seorang ilmuwan Jawa. Ia ahli dalam sastra Belanda dan Jawa Kuno. De Graaf sangat beruntung bisa bertemu dengan seorang professor yang ahli dalam budaya Jawa. De Graaf meminta Prof. Poerbatjaraka sebagai pemandunya. Ia belajar bahasa dan budaya Jawa dengan Prof. Poerbatjaraka setiap minggu. Dari sinilah bibit-bibit cinta terhadap sejarah Jawa bermula.

Buku Karya H.J de Graaf (Sumber: www.goodraeds.com)

Setelah empat tahun menjadi kepala sekolah di Malang dan Pasuruhan, pada 1935 De Graaf pulang ke Belanda untuk melanjutkan studi doktoralnya di Leiden. Ia lulus dari Leiden dengan disertasinya yang berjudul De Moord op Kapitein Francois Tack 1686 (Terbunuhnya Kapten Tack Tahun 1686) dengan promotornya adalah Colenbrader. Disertasinya tersebut merupakan sebuah terobosan dalam kajian sejarah Jawa. Setelah menyelesaikan studi doktoralnya, ia kembali mengajar di Normaalschool Surakarta. Semenjak saat itu ia sangat tertarik dengan sejarah Jawa. Kemudian ia mengajak anak didiknya untuk mengunjungi situs bersejarah dan tempat-tempat suci di Demak dan Kudus.

De Graaf mengakui bahwa ia berhutang besar kepada cendekiawan besar di Jawa seperti Brandes, Hoesein Djajadiningrat, Rouffaer, de Haan, dan lainnya. De Graaf memperluas kajiannya tentang abad ketujuh belas dengan menggunakan sumber-sumber Eropa dan Jawa. Ia kemudian menjadi ahli yang tak tertandingi di bidang tersebut. Ia sangat menghargai sumber-sumber sejarah yang ditulis oleh orang Jawa seperti babad, suluk, ataupun serat (Ricklefs, 1985).

Sejarawan Eropa sebelumnya tidak memandang penting sumber-sumber Jawa khususnya masa Islam karena mengandung cerita khayal dan mitos. Bagi de Graaf sumber-sumber tersebut sangatlah penting. Menurut de Graaf, untuk mempelajari lebih jauh sejarah Jawa, penggunaan babad tidak boleh diabaikan. Sangat tidak mungkin dan tidak bertanggung jawab untuk mempelajari sejarah Jawa tanpa menyelidiki secara cermat sumber-sumber dari kalangan mereka sendiri.

Baca Juga :   Korupsi Di Indonesia Dari Waktu ke Waktu

De Graaf menghargai sumber-sumber Jawa karena telah membuka kesempatan bagi kita untuk mengenal wawasan dan kondisi perasaan orang Jawa atau golongan penduduk tertentu pada suatu masa tertentu. Pada suatu ketika, ia mengkritik para sejarawan yang memandang rendah nilai babad Jawa. De Graaf beranggapan bahwa kesalahan yang dilakukan para sejarawan modern adalah karena mereka mulai menganalisis babad dari halaman pertama yang cenderung berisi cerita mitos. Ia menganjurkan seharusnya analisis babad dimulai dari peristiwa yang paling dekat dengan masa hidup penulis babad. Hal tersebut bisa dilakukan dengan meneliti di bagian tengah atau akhir halaman babad. Sumber Eropa mungkin lebih cermat dan akurat tetapi tidak dapat menjangkau dinamika internal pusat-pusat kekuasaan Jawa, pandangan hidup tokoh, dan dunia batin mereka (Margana, 2004)

Pandangan de Graaf mengenai babad terutama Babad Tanah Jawi pada 1955 mendapat banyak tantangan, diantaranya dari tokoh  C.C. Berg. C.C. Berg yakin bahwa Panembahan Senapati adalah tokoh fiktif rekaan Sultan Agung. Menurut Berg, de Graaf bergantung terlalu naif dengan sumber-sumber Jawa. Sementara itu, de Graaf menyanggah argumen Berg dengan mengatakan bahwa Panembahan Senapati adalah nyata dan pendiri Mataram yang pertama. Berbagai diskusi dan perdebatan antara de Graaf dan Berg tidak dapat diselesaikan dan memperburuk hubungan keduanya baik di ranah akademis maupun pribadi (Soedjatmoko, 1995).

Dengan berbagai kritik yang telah diterimanya, de Graaf bangkit dan lebih serius mengkaji sejarah Jawa masa awal Islam tahun 1500-1700. Karya terbesarnya adalah mengkaji tentang sejarah Kesultanan Mataram. Karya ini disebut paket Mataram yang membahas berdirinya Kesultanan Mataram hingga keruntuhannya pada masa Amangkurat II. Untuk menulis maha karyanya itu, de Graaf memanfaatkan sumber Eropa, baik, Inggris, Portugis, bahkan Denmark, dan yang paling utama adalah menggunakan sumber Jawa dan Madura. Dengan menggunakan sumber-sumber lokal, karangan-karangan de Graaf terasa lebih menggambarkan pandangan dan perasaan murni Indonesia. De Graaf menekankan orang Jawa mempunyai kesadaran sejarah yang besar. Bahkan pemahaman terhadap kronologi ternyata hidup subur di kalangan masyarakat Jawa. Dengan kontribusi yang luar biasa terhadap sejarah Jawa, para sejarawan menyebut de Graaf sebagai “Father of the Study of Javanese History” (Ricklefs, 1985).

De Graaf adalah seorang sejarawan yang sangat produktif. Tulisannya mencapai ratusan dan diterbitkan di jurnal-jurnal ilmiah. Ia bertemu dengan seorang ahli filologi, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, dan menghasilkan karya bersama yang sangat terkenal yakni De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java atau Kerajaan Islam Pertama di Jawa (1947) (De Graaf dan Pigeaud, 2019). De Graaf menjalin persahabatan dengan Pigeaud selama bertahun-tahun. De Graaf sering menerima kritik yang konstruktif dan nasihat-nasihat dari Pigeaud .

Pergi untuk Kembali

Ketika Jepang masuk ke Indonesia dia tinggal di kamp interniran. Karyanya tentang sejarah Cina dilarang beredar dan penerbitnya dihancurkan oleh Jepang. Selama di kamp interniran, ia bertemu dan tinggal bersama saingannya, C.C. Berg. De Graaf setia mendengarkan ceramah-ceramah oleh Berg. Setelah dibebaskan dari kamp interniran, ia sempat mengajar di HBS Bandung dan Hoogeschool (Universitas Indonesia). Setelah Indonesia merdeka, rasa anti Belanda semakin meningkat. Di Jakarta, de Graaf melihat beberapa kekerasan selama periode Revolusi. Rasa sayangnya kepada rakyat Indonesia dan komitmennya pada sejarah Jawa tidak membawanya untuk mengagumi Soekarno.

Selama periode Revolusi Indonesia, de Graaf juga menerbitkan maha karyanya yang berjudul “Mahkota Majapahit” pada 1948.  Ia mengemukakan bahwa mahkota menjadi simbol yang sangat penting untuk melegitimasi seorang raja. Bukan hanya sebagai sebuah benda berharga, tetapi juga makna yang terkandung di dalamnya.

Baca Juga :   El Savador VS Honduras: Dari Perebutan Tiket Lolos Piala Dunia Hingga Pecahnya Perang 4 Hari

Karena adanya kebijakan pemulangan kembali orang-orang Belanda ke negeri asalnya, pada 1950 de Graaf benar-benar harus meninggalkan Indonesia. Berbagai pertimbangan keamanan yang sebagian besar dari istrinya, ia yakin dengan keputusannya untuk pulang ke Belanda. Baginya, keputusan untuk meninggalkan Indonesia dan kembali ke Belanda mencerminkan kekecewaan dengan adanya peristiwa repatriasi yang mana ia telah menemukan pekerjaan hidupnya di Indonesia. Di Belanda ia menjadi dosen di almamaternya untuk bidang sejarah Indonesia. De Graaf juga mengajar di berbagai sekolah di Belanda hingga pensiun pada 1967. Selama pensiun ia juga tetap produktif dan berkontribusi dalam majalah Tong Tong. Ia diangkat menjadi Anggota Kehormatan dari Royal Netherlands Institute of Asian and Caribbean Studies pada 1974. De Graaf meninggal dunia di usia 84 tahun pada 24 Agustus 1984 (Ricklefs, 1985). Ia meninggalkan banyak karya yang sangat berharga bagi perkembangan historiografi di Indonesia.

Daftar Pustaka

De Graaf, H. J. 2002. Puncak Kekuasaan Mataram-Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

De Graaf, H. J. dan Th G. Th. Pigeaud. 2019. Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Yogyakarta: Mata Bangsa.

Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ricklefs, M.C. “In Memoriam Dr. H. J. de Graaf: 2 December 1899-24 August 1984.” Bijdragen Tot De Taal-,Land-En Volkenkunde, Vol. 141, No. 2/3, 1985, hlm. 191-207.

Soedjatmoko (ed), dkk. 1995. Historiografi Indonesia-Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts