Aksi KAMI dalam Menjatuhkan Pemerintahan Presiden Soekarno Tahun 1965-1968

Transisi kekuasaan terjadi pasca gagalnya Kudeta 30 September 1965. Secara bertahap, Mayjend. Soeharto menggantikan Presiden Soekarno sebagai kepala negara. Para pengamat dan sejarawan mengatakan bahwa proses pengambilan kekuasaan secara bertahap ini sebagai sebagai “Creeping Coup d’etat” atau kudeta merangkak.


Oleh: Anju Nofarof Hasudungan

Penggulingan kekuasaan Presiden Soekarno tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Proses ini berlangsung sejak awal bulan Oktober 1965 hingga 12 Maret 1967, saat secara resmi Mayjend. Soeharto menggantikan Presiden Soekarno sebagai Pejabat Presiden. Mayjend. Soeharto memetik kemenangan-kemenangan kecil dengan memainkan pion dan perwira sebelum mengambil langkah untuk menjatuhkan Presiden Soekarno dari kursi presiden. Kenyataannya, Mayjend. Soeharto yang didukung Angkatan Darat melemahkan kekuatan politik Presiden Soekarno dan mengisolasi Presiden Soekarno dari pendukungnya hingga akhirnya memaksa Presiden meletakkan jabatannya.

Lamanya proses peralihan kekuasaan itu ialah karena Jenderal Soeharto harus memperhitungkan kekuatan para pendukung Presiden Soekarno yang masih banyak terdapat di kalangan sipil dan militer, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jenderal Soeharto mendasarkan strategi kekuasaanya dengan dukungan militer yang anti Presiden Soekarno di Jawa Barat.

Francois Raillon mengatakan dalam bukunya mereka ini tidak ingin bertindak langsung dan terbuka sebab dapat mengakibatkan timbulnya pertempuran antar pasukan yang anti dan pro Presiden Soekarno. Kemungkinan meledaknya konflik bersenjata (sehubungan dengan suasana pembunuhan anti komunis di akhir tahun 1965) akan dapat melahirkan suatu perang saudara. Itu sebabnya dianggap lebih baik bila pihak ketiga dalam hal ini pemuda dan mahasiswa sajalah yang menjalankan kampanye anti Presiden Soekarno dan menyiapkan opini masyarakat tentang perlunya perubahan politik. Untuk itu kelompok militer cukup mendorong dan mempergunakan aktivis-aktivis mahasiswa yang juga memiliki alasan-alasan sendiri untuk memusuhi Presiden Soekarno.

Hal tersebutlah yang menjadi latar belakang mengapa kerjasama TNI-AD dan KAMI dapat terlaksana guna menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno. Kerjasama TNI-AD dan KAMI juga untuk mengoptimalkan fokus Angkatan Darat untuk secara bertahap dan tanpa menimbulkan kerusuhan guna melumpuhkan simpatisan Presiden Soekarno pada divisi Diponegoro dan Brawijaya seperti halnya di Angkatan Udara dan di Angkatan Laut.

TNI-AD menyadari mereka membutuhkan mitra untuk bekerjasama dalam mencapai tujuannya, karena KAMI juga punya alasan tersendiri untuk memusuhi Presiden Soekarno, dan lebih efektif dan efisien apabila pekerjaan tersebut dilakukan secara bersama-sama dengan peran masing tetapi dengan tujuan yang sama. Sebab sejalan dengan pengertian kerjasama itu sendiri bagaimana interaksi dari orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Pertukaran bagaikan perdagangan: saya berikan sesuatu kepada Anda dan anda berikan pula sesuatu yang lain kepada saya. Sedangkan kerjasama ibarat suatu kelompok kerja (teamwork): kita bekerjasama karena kita tidak bisa melakukannya sendiri-sendiri. Atau, suatu tujuan bisa dicapai lebih muda, selamat dan cepat dibandingkan bekerja sendiri-sendiri. Kebanyakan hubungan yang sedang terjadi memiliki unsur kerjasama, termasuk hubungan politik.

Kajian tentang hubungan sipil dan militer telah banyak dilakukan, dan lebih membahas bagaimana institusi sipil (misalnya pemerintahan yang demokratis) dapat secara efektif mengontrol militer tanpa mengurangi kemampuan militer, sedangkan saat ini para ahli tersebut berusaha untuk menjelaskan secara spesifik pada penggunaan kekuatan militer dalam pemerintahan demokratis yang modern. Menurut Feaver (1996:149), tantangan sipil-militer adalah membuat kekuatan militer cukup untuk melakukan apa yang diminta oleh sipil terhadap mereka, dengan bawahan militer melakukan apa yang diminta oleh sipil yang diberikan otorisasi kepadanya.

Di Indonesia, konsep kerjasama/koordinasi sipil-militer telah dilaksanakan tetapi belum dituangkan dalam bentuk peraturan yang mengikat (prosedur tetap atau doktrin) serta terstruktur seperti halnya konsep CIMIC oleh NATO dan CMCoord oleh PBB. Hal ini seiring dengan sejarah perkembangan hubungan sipil-militer di Indonesia. Sejak pertengahan tahun 1960-an, Indonesia telah menjadi negara dengan personel militer duduk di pemerintahan, tetapi bukan negara dengan pemerintahan militer. Hal ini menunjukkan TNI-AD berperan aktif dalam politik dan pemerintahan, dengan kata lain ada pengaruh secara langsung militer terhadap keputusan politik dan pemerintahan baik di tingkat kebijakan maupun operasional. Pada level operasional, anggota militer yang melaksanakan kerja sama dengan aparat sipil lebih menunjukkan otoriternya dari pada sifat loyal dan tunduk pada otoritas sipil. Berdasarkan analisis penulis dengan melihat kronologis bagaimana usaha-usaha TNI-AD dan KAMI bekerjasama dalam menjatuhkan Pemerintahan Presiden Soekarno. Maka, bisa diambil kesimpulan bahwa pembagian kerja (jobs description) antara TNI-AD dan KAMI sebagai berikut:

  1. KAMI berfokus pada teknis di luar pemerintahan. Dengan aksi-aksi demonstrasi anti Presiden Soekarno oleh KAMI.
  2. TNI-AD berfokus pada teknis di dalam pemerintahan. Dengan cara melemahkan kewibawaan Presiden Soekarno dan secara perlahan-lahan mengambil alih kekuasaan Presiden Soekarno, atau yang disebut dengan Kudeta Merangkak (Creeping Coup D’etat).

Peran yang diambil oleh KAMI untuk Menjatuhkan Presiden Soekarno.

Baca Juga :   Kerajaan Panai: Anak Kerajaan Sriwijaya Di Padang Lawas Sumatera Utara

Perlu penulis sampaikan bahwa penulis membedakan antara kampanye anti PKI dan anti Presiden Soekarno. Tahun 1965, adalah tahun dimana KAMI melakukan aksi-aksi kecaman terhadap PKI. Sedangkan di tahun 1966 hingga 1967, barulah kampanye anti PKI berkembang menjadi anti terhadap Presiden Soekarno yang berujung dengan jatuhnya pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1967.

Peran yang diambil KAMI untuk menjatuhkan adalah tindak lanjut dari kerjasama tersebut yakni pada tanggal 25 Oktober, Mayor Jenderal Sjarif Thayeb, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) mengumpulkan para tokoh berbagai organisasi mahasiswa non-komunis di rumahnya. Thayeb mengusulkan untuk membentuk sebuah organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Semua para tokoh mahasiswa setuju akan usul Thayeb tersebut, dan berdirilah instrument Angkatan Darat. KAMI akan menjadi motor penggerak dari kegiatan-kegiatan angkatan 66 dan memainkan peranan pokok dalam arena politik selama dua tahun berikutnya.

Mengapa penulis berani mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat dalam proses penggulingan kekuasaan Presiden Soekarno tahun 1965-1968 adalah hubungan kerjasama. Bukan semata-mata mahasiswa yang bekerja penuh tanpa dukungan siapapun dengan aksi-aksi Trituranya. Dahulu penulis tidak tahu bahwa dibalik transisi kekuasaan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, penulis ingin mengungkapkan bahwa gerakan mahasiswa tahun 1966 semata-mata bukan berjuang sendiri KAMI seperti tahun 1998 tetapi mereka bekerja sama dengan ABRI saat itu. 

Berikut adalah bukti-bukti yang penulis telusuri melalui berbagai macam sumber tulisan bahwa benar Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) bekerjasama dengan TNI-AD:

  1. Dalam tulisan Majalah Forum Keadilan edisi khusus “Tokoh Indonesia Masa Depan”, Juni 1997 hal. 103 memuat bahwa benar saja tokoh-tokoh Angkatan 66 mengakui mereka berkerjasama dengan ABRI saat itu untuk menggulingkan Presiden Soekarno dari kekuasaan. Berikut pengakuan Akbar Tanjung yang merupakan tokoh mahasiswa Angkatan 66, kepada Forum:

Akbar menyatakan, dia dan rekan-rekannya (menyebut diri sebagai Eksponen 66) setelah keruntuhan Orde Lama tidak pernah melakukan usaha-usaha secara sadar untuk mendapatkan posisi tertentu atas nama Eksponen 66. “Kami tidak pernah merekayasa Eksponen 66 itu muncul sebagai pemimpin,” ujarnya. Cuma, Akbar menegaskan, pengalaman dan semangat di tahun 1966 itulah yang dijadikan modal untuk ikut menyumbangkan pemikiran mereka untuk nusa dan bangsa. “Semangat itu juga kami pelihara dalam bentuk organisasi seperti Ikatan Keluarga Arief Rahman Hakim, atau yayasan-yayasan,” kata Akbar. Akbar juga tak menepis jika dianggap selama ini eksponen 66 terlalu dekat dengan ABRI. Menurut Akbar, itu adalah realitas sejarah yang tak bisa dimungkiri lantaran, pada 1966, mereka sudah bergandeng tangan dengan ABRI sebagai kekuatan Orde Baru. Kedekatan itulah yang sampai kini terus mereka pelihara. “Di antara petinggi ABRI yang muda-muda itu, dulu ada juga yang aktivis 66” katanya.

  1. “Peneliti Indonesia asal Perancis, Francois Raillon, menyatakan bahwa Angkatan 66 anti partai politik, tapi pro Angkatan Darat. Penulis buku Mahasiswa Indonesia dan Orde Baru itu menyatakan hubungan mereka dengan militer sifatnya seperti kakak-adik. Kerjasama dengan mahasiswa itu sangat berguna sekali bagi tentara, yang tak bisa melontarkan kritik apalagi menentang atasannya sendir:Presiden Soekarno. Karena itu, KAMI/KAPPI yang buka mulut. “Memang mereka dipakai atau barangkali diperalat oleh kakaknya yang militer itu,”.  
  2. Bukti selanjutnya, setelah Angkatan 66 (KAMI) dan ABRI (TNI-AD) berhasil menggulingkan Presiden Soekarno tidak sedikit dari tokoh-tokoh mahasiswa Angkatan 66 dan ABRI yang menduduki jabatan-jabatan penting baik Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Pemimpin Perusahaan (BUMN), dan jabatan strategis lainnya, bahkan memfasilitasi banyak perusahaan asing untuk masuk ke negara Republik Indonesia seperti Caltex dan Freeport serta banyak lainnya yang dewasa ini dianggap telah mengeruk kekayaan alam Indonesia tanpa memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia. Dan itu adalah hasil dari sebuah kerjasama yang penulis pikir walaupun tidak ada kesepakatan untuk membagi kekuasaan tetapi itulah buah hasil kerjasama yang sama-sama dinikmati baik oleh alumni KAMI dan TNI-AD.

Bahwa apa yang didapatkan oleh alumni-alumni KAMI seperti Menteri, Anggota DPR/MPR, HIPMI, dan membentuk KNPI merupakan sebuah investasi politik ketika bersama-sama menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno.aktivis-aktivisnya muncul sebagai orangyang sukses di bidangnya, baik politik maupun ekonomi, ungkap mantan Ketua Presidensium KAMI Pusat Cosmas Batubara yang dulu juga pernah mendapat jatah dua kursi menteri di masa Presiden Soeharto. 

Berikut ini penelusuran penulis mengenai pergerakan KAMI sebagai usaha untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno:

  1. Kampanye anti Presiden Soekarno tampil secara terang-terangan pada tanggal 17 Agustus 1966. Pada hari itu Presiden Soekarno mengucapkan pidato berjudul “Jangan sekali-kali Melupakan Sejarah”, yang terkenal dengan singkatan “Jas Merah”. Dalam pidato ini Presiden Soekarno mengkritik keputusan-keputusan yang diambil MPRS dan menganggap bahwa Surat Perintah 11 Maret tidaklah berarti pengalihan kekuasaan, tapi hanya pengalihan wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk memelihara keamanan. Pidato yang dianggap sebagai provokasi ini melahirkan reaksi keras. Di Bandung, pidato ini dianggap sebagai sumber keributan tanggal 19 Agustus 1966 ketika sekelompok orang bersenjata dan berseragam hitam yang dijuluki Gerombolan Liar Gestapu ASU menyerang Markas Besar KAMI dan KAPPI sehingga Julius Usman, Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan, meninggal dunia dan lima belasan orang lainnya menderita luka-luka. Deklarasi KAMI diterbitkan:”Bung Karno tak dipercayai lagi, sabotase terhadap program Kabinet Ampera”. 
  2. Pada bulan September 1966 serangan terhadap Presiden Soekarno diteruskan dengan menggunakan fakta-fakta menurut KAMI yang didapat dari proses pengusutan Jusuf Muda Dalam, bekas Menteri Bank Sentral ini dituduh telah memberikan dana negara kepada Presiden untuk membiayai sejumlah aksi politiknya. Diawali Pada 18 Maret 1966,  sejumlah 15 orang Menteri ditangkap termasuk Waperdam I Soebandrio, Waperdam II Chaerul Saleh dan Jusuf Muda Dalam. Manuver ini mengejutkan Presiden Soekarno. Sebab, menteri-menteri yang ditangkap adalah orang-orang yang loyal tanpa reserve terhadap Presiden Soekarno.
  3. 30 Nopember 1966 KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR, dengan tuntutan yang sama seperti demonstrasi sebelumnya. Selanjutnya 9-12 Desember 1966 Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar Presiden Soekarno diadili. 
  4. 20 Desember 1966, KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S/PKI .
Baca Juga :   Supersemar: Soeharto, Pembubaran PKI dan Ormas Underbownya

Untuk dari kalangan sipil yang terlibat dalam transisi kekuasaan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto ialah Sri Sultan HamengkubuWono IX dan Adam Malik yang kelak akan menemani Presiden Soeharto sebagai Wakil Presiden secara bergantian. Sri Sultan HamengkubuWono IX dan Adam Malik  terlibat dalam intervensi yang sangat kuat dalam membentuk kabinet baru pada 27 Maret 1966. Ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam Malik yang berseberangan dengan kelompok kiri justru malah menguntungkannya. Tahun 1966, Adam disebut-sebut dalam Trio Baru SoehartoSultanMalik. Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia menyatakan keluar dari Partai Murba karena pendirian Partai Murba, yang menentang masuknya modal asing.

Presiden Soekarno sangat terpukul karena harus berkompromi. Ketika baru membacakan beberapa nama anggota kabinet baru, ia berhenti dan minta Leimena (Menteri Koordinator pada Kabinet Dwikora I) melanjutkan pembacaan tersebut. 

Bagi birokrat senior, perwira angkatan darat dan polisi, kudeta akan merupakan campuran bahaya dan peluang. Sebagian akan terlalu terlibat dengan rezim lama sehingga tidak bisa diam saja menunggu  krisis reda melainkan akan melarikan diri, melawan kudeta, atau maju menjadi pendukung rezim baru supaya memperoleh imbalan sebagai pendukung awal.

Apa yang dikatakan oleh Edward Luttwak diatas dalam bukunya berjudul “Kudeta, Teori dan Praktek Penggulingan Kekuasaan”. Demikianlah terjadi dalam situasi dan kondisi masa transisi kekuasaan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto tahun 1965-1968. 

Saat itu, Indonesia terbagi menjadi 2 kelompok kekuatan baik di birokrat senior, perwira ABRI, dan polisi, yakni pertama pendukung Presiden Soekarno, kedua pendukung Presiden Soeharto. Setelah berhasil menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno tidak sedikit dari KAMI yang masuk dalam lingkaran kekuasaan Order Baru, era di masa Presiden Soeharto dan ABRI berkuasa di hampir diseluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia. 

Di masa Orde Baru, pentolan-pentolan nya (Angkatan 66)  menjadi anggota DPR/MPR, tentu saja sebagai wakil Golkar. Beberapa orang lalu menjadi menteri. Mereka antara lain Cosmas Batubara, Abdul Gafur, Akbar Tandjung, Sarwono Kusumaatmadja, Siswono Yudohusodo, dan Mar’ie Muhammad.

Perlu penulis tegaskan bahwa ketika tugas utama dan satu-satunya KAMI telah diselesaikan dengan gemilang. Maka, KAMI dengan sendiri dan sadar meminta “Fee” kepada TNI-AD yang telah mengambil puncak kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. 

Aktivis-aktivis KAMI berpendapat bahwa karena mahasiswa telah memainkan peran kunci pada periode Januari sampai Maret untuk mendukung aksi Tritura, maka suara mereka berhak didengar di kedua lembaga ini. Selain itu, mereka berpandangan bahwa pertarungan melawan Soekarno dan pendukungnya masih jauh dari usai  dan bahwa perwakilan mahasiswa dapat memainkan peran vital untuk membantu mengalahkan unsur-unsur Orde Lama yang masih ada di MPRS.

Aktivis KAMI Pusat sangat mendukung usulan tersebut sedangkan KAMI Bandung menganggap bahwa mahasiswa “belum diperlukan” untuk mengisi MPRS dan DPR-GR.

Sumber

Edwin Luttwak. 1979. Kudeta, Teori dan Praktek Penggulingan Kekuasaan. Diterjemahkan oleh   Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Kontroversi SUPERSEMAR dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto (Edisi Revisi), 2007.  Yogyakarta: MedPress.

Beyond Civil-Military relations: reflections on civilian control of a private, multinational workforce”, Armed force & society (SAGE), 2010.

Jurnal Pertahanan Mei 2012, Volume 2, Nomor 2.

Majalah Forum Keadilan edisi khusus “Tokoh Indonesia Masa Depan”, Juni 1997.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts