Kerajaan Panai: Anak Kerajaan Sriwijaya Di Padang Lawas Sumatera Utara

Dalam prasasti Tanjore (1030 M),  Nagarakertagama (1365 M) pupuh XIII bait 1, dan catatan perjalanan berbahasa Armenia, berjudul ―Nama Kota-Kota India dan Kawasan Pinggiran Persia” (sekitar tahun 1667 M) terdapat kata yang menyebutkan Panai. Sumber tertulis tersebut dapat dijadikan sebagai acuan bahwasanya keberadaan Panai dapat dibuktikan secara historis. Namun, sampai saat ini lokasi keberadaan kerajaan tersebut masih menjadi perdebatan para ahli. 

Oleh: Alhidayath Parinduri

Penemuan prasasti Panai di kompleks Candi Bahal Padang Lawas, Sumatera Utara memberikan petunjuk bahasanya Kerajaan Panai dahulunya berada di Padang Lawas, Sumatera Utara. 

Penyebutan Panai, salah satunya ditemukan dalam Prasasti Tanjore berbahasa Tamil berangka tahun 1030 Masehi. Prasasti itu dibuat oleh Rajendra Cola I dari Dinasti Colamandala yang berada di Koromandel, India Selatan (Suhadi 2012, 136). Salah satu baris pada prasasti tersebut menyebutkan penaklukkan Sriwijaya dan wilayah lain yang salah satunya Pannai dengan kolam airnya. Kalimat tersebut sarat makna dan pengertian yang luas.  Kedua, terdapat dalam catatan Kitab Nagarakertagama (1365 Masehi) pupuh XIII bait 1, salah satu karya sastra dari kerajaan Majapahit, yang menyebutkan Pane (Panai) termasuk salah satu wilayah yang ditafsirkan memberikan upeti kepada Majapahit (Tim Redaksi, 2013; Suhadi 2012, 136). 

C:\Users\yatno\Pictures\Prasasti kerajaan panai.jpeg
Prasasti Panai
Sumber: https://www.dictio.id/t/apa-yang-anda-ketahui-tentang-prasasti-panai-sumatera-utara/92863

Selain itu, Panai (P‟anes) juga disebut dalam sebuah naskah asing yaitu catatan perjalanan berbahasa Armenia, berjudul Nama Kota-Kota India dan Kawasan Pinggiran Persia. Menurut Avramian (1958 dalam Kevonian 2014, 39) catatan perjalanan itu dibuat sekitar tahun 1106 – 1161 Masehi. Catatan ini diterbitkan tahun 1668 Masehi di Amsterdam dan tahun 1882 Masehi diterbitkan dengan terjemahan bahasa Perancis Masehi (Kevonian 2014, 37).

Berdasarkan catatan pada Prasasti Panai, Kerajaan Panai terletak di Padang Lawas yang merupakan kawasan di bagian timur Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Kawasan ini berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat di sebelah selatan dan Provinsi Riau di sebelah timur. Sebelum pemekaran wilayah, Kabupaten Padang Lawas merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan (Oetomo 2011,148). Pemekaran daerah tersebut menjadikan kawasan purbakala (Kompleks Candi Bahal) terdapat di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara.

C:\Users\yatno\Pictures\Bahal.jpg
Candi Bahal
Sumber: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2456221/candi-bahal-potret-kemegahan-dan-kejayaan-kerajaan-sriwijaya

Sebagian bukti historis menunjukan eksistensi Panai telah ada sebelum abad X Masehi. Selain itu, keberadaan Kerajaan Panai diperkirakan tumbuh secara alamiah akibat meluasnya permintaan pasar terhadap komoditi rempah dan tambang yang diminati pasar internasional ketika itu. Sebelumnya pada abad IX Masehi ketika kebutuhan rempah semakin banyak juga memberi dampak pada perkembangan eksplorasi pedalaman di Bukit Barisan – Sumatera Utara. Seperti yang diketahui bahwa saat itu Kerajaan Sriwijaya merupakan pemegang kendali atas perdagangan Nusantara maupun Internasional. 

Periode klasik di Sumatera menjelaskan bahwa Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kekuasaan politik (kadatuan Sriwijaya) dengan wilayah lain sebagai pinggirannya (mandala) dari abad VII Masehi hingga abad XI Masehi (Manguin 2014: 331-2). Manguin (2014, 334-5) juga menggambarkan ruang sosial Sriwijaya dalam lingkup interaksi ekonomi dan politik meliputi Sumatera, Semenanjung Melayu, Jawa, Kalimantan. Berkaitan dengan lingkup regional interaksi pemerintahan Sriwijaya tersebut, dimungkinkan Panai berada di bawah perlindungan Sriwijaya (Ambo Asse Ajis, 2018: 4). 

Interaksi Panai dan Sriwijaya dimungkinkan terjadi dalam bidang ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat bahwa daerah Panai memiliki sumber daya alam yang melimpah, jika Sriwijaya menjalin interaksi maka itu merupakan suatu keuntungan. Keuntungan tersebut semakin mempertegas posisi Sriwijaya sebagai pengendali dalam perdagangan di Nusantara. Komoditi yang dihasilkan di Panai, sama dengan komoditi rempah-rempah di Barus, seperti kamper, kemenyan, damar, dan sebagainya. 

Baca Juga :   Raja Airlangga: Putra Udayana Sang Pencetus Kerajaan Di Tanah Jawa Timur

Sebelum menjadi sebuah Bandar, penduduk yang berada di Panai merupakan penduduk suku-suku pedalaman dengan karakteristik kepemimpinan lokal yang salah satu pekerjaannya mengumpulkan hasil-hasil hutan untuk diperdagangkan dengan pendatang asing, termasuk dari pedagang Sriwijaya (Ambo Asse Ajis, 2018: 4). Proses interaksi ini sendiri telah dimulai ketika pedagang-pedagang Barus terlebih dahulu mampu mencapai wilayah mereka guna mendapatkan bahan baku rempah yang semakin diminati pasar. 

Lahirnya Panai menjadi sebuah Bandar ditengarai untuk mempermudah proses perdagangan di lingkungan hulu sungai Barumun. Hal tersebut menjadikan dibutuhkannya suatu tempat permanen yang disepakati suku-suku pedalaman untuk memudahkan proses perkembangan kegiatan ekonomi. Selanjutnya, ada penemuan jalur baru yang menghubungkan Sriwijaya dengan Bandar Panai, dan tentu saja mengambil jalan lain dari rute kuno Barus-Barumun (Panai), tetapi melalui sungai Barumun hingga mencapai di hilir (Selat Malaka) Sriwijaya (Palembang).

Pada masa selanjutnya, rute alur sungai dari Bandar Barus yang menghubungkannya ke pesisir Timur Sumatera dimanfaatkan sebagai jalur perdagangan Panai-Sriwijaya. Pemanfaatan jalur sungai itu, diperkirakan terjadi sebelum kedatangan pasukan Colamandala. Jalur tersebut memberi kemudahan transportasi hasil rempah dan tambang di pedalaman hulu sungai Barumun dan sekitarnya, dan menjangkau pasar Sriwijaya di Palembang. Adanya jalur tersebut memicu perkembangan pemukiman sekaligus lahirnya berbagai peninggalan arkeologis berupa biaro-biaro yang tersebar di kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten padang Lawas Utara. Peninggalan arkeologis tersebut masih ada sampai saat ini dan dikenal oleh orang-orang dengan sebutan “Kompleks Biara Bahal”. 

Daftar Pustaka

Kevonian, Keram. 2014. Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.   

Manguin, Pierre-Yves. 2014. Sifat Amrof Politi-Politi Pesisir. Kedatuan Sriwijaya. George Coedes ed. Edisi kedua. Jakarta: Komunitas Bambu.

Oetomo, Bambang Budi, 2011. Atlas Sejarah Indonesia Masa Klasik (Hindu-Buddha). Jakarta: Dirjen Sejarah dan Purbakala, Direktorat Geografi Sejarah.

Suhadi, Machi. 2012. Kerajaan Panai. Indonesia Dalam Arus Sejarah.  

Tim Redaksi. 2013. Kitab Negara kertagama Terjemahan. Yogyakarta: Cetta Media.  

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts