Kemunduran VOC pada Akhir Abad ke-18 (Studi Kasus di Jawa)

Indonesia sudah dikenal sebagai Negara penghasil rempah-rempah yang sangat terkenal diseluruh penjuru dunia. Banyak Negara-negara yang datang untuk melakukan kolonialisasi dan imperialisasi agar bisa menguasai rempah-rempah yang ada di Indonesia. Hal itulah yang akan memunculkan suatu masalah yang rumit bagi Indonesia sebab menjadi rebutan Negara-negara yang lainnya.

Oleh Ratna Winarti

Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia untuk pertama kalinya dapat dikatakan untuk mencari keuntungan yang melimpah, memperoleh kejayaan, serta menyebarkan agamanya (gold,glory,gospel). Sudah kita ketahui banyak sekali Negara-negara lain yang memperebutkan Indonesia, hal inilah yang pada akhirnya membuat Belanda untuk berfikir bagaimana memperkuat pengaruhnya di Indonesia tanpa tersaingi dengan Negara yang lainnya. 

Pada tanggal 20 Maret 1602, seorang anggota parlemen yang bernama Johan Van Oldebanevelt memberikan sebuah ide untuk menggabungkan seluruh perusahaan dagang yang ada di Belanda menjadi satu dan nantinya akan mematahkan kekuatan Portugis di Indonesia. Pada akhirnya ide itu direalisasikan dan berdirilah VOC (Verenigde Oost Compagnie) atau Perusahaan dagang Hindia Timur. Modal pertama yang digunakan sebesar 6,5 miliar gulden untuk mendirikan VOC. VOC juga memutuskan untuk membentuk pimpinan yang diberi nama direktur tujuh belas atau dikenal dengan Heeren Zeventien.

VOC menjadi besar dan kuat manakala perusahaan ini dianggap perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham pertama dan perusahaan dagang multinasional yang pertama. Meskipun yang diketahui VOC merupakan perusahaan atau badan dagang saja, tetapi badan dagang ini memiliki suatu hak dan wewenang yang istimewa. Seperti contoh VOC memiliki tentara dan boleh melakukan perjanjian negosiasi dengan Negara-negara lain tanpa campur tangan dari pemerintahan Belanda.

C:\Users\CMK~1.CMK\AppData\Local\Temp\5709F4FB-121C-47DC-B5CC-05BA80368C83.jpeg
Kapal dagang VOC yang masuk di wilayah Nusantara (Sumber: Idsejarah.com)

Orang Indonesia mengenal VOC dengan sebutan yang sudah sangat populer yaitu “kumpeni” atau “ kompeni”. Panggilan tersebut diambil dari kata compagnie dalam bahasa Belanda. Tetapi masyarakat di Nusantara lebih mengenalnya dengan kompeni sebagai tentara Belanda karena penindasannya dan pemerasan kepada rakyat Nusantara yang sama seperti tentara Belanda.

Namun setelah hampir dua abad menguasai Nusantara VOC akhirnya harus menggulung tikarnya karena berbagai faktor yang membuatnya hancur. Dari situlah akhir cerita VOC dalam menguasai rempah – rempah Indonesia. Makalah ini disusun untuk mengetahui lebih lanjut sejarah VOC di Indonesia, mengetahui apa saja yang mereka lakukan sehingga mereka dapat berkembang yang kemudian dapat bangkrut dan akhirnya dibubarkan.

Kelahiran dan Perkembangan VOC di Nusantara

Tujuan orang Eropa datang ke wilayah bagian timur adalah untuk mencari rempah-rempah agar bisa mencapai cita-citanya yaitu kekayaan dan kejayaan. Tujuan ini boleh dikatakan dapat dicapai setelah mereka menemukan rempah-rempah di Kepulauan Nusantara. Setelah menyebarnya berita bahwa nusantara adalah sumber rempah-rempah membuat banyak sekali orang Eropa berbondong-bondong untuk mencari wilayah yang bisa dimonopoli rempahnya. Bahkan tidak heran jika antar Negara saling bersaing meraih hal tersebut. Para pedagang atau perusahaan dagang Portugis bersaing dengan para pedagang Belanda, bersaing dengan para pedagang Spanyol, bersaing dengan para pedagang Inggris, dan seterusnya. Bisa dibilang juga bahwa mereka bukan hanya bersaing dengan antar Negara namun juga bersaing antar kongsi dagang. Untuk memperkuat posisinya di Nusantara setiap Negara membuat persekutuan kongsi dagang yang bisa untuk menyaingi, seperti contoh pada tahun 1600-an Inggris membuat kongsi dagang yang bernama EIC (East India Company).

C:\Users\CMK~1.CMK\AppData\Local\Temp\249A4E90-F823-401F-AEC2-45CF5F7B5204.png
Para Petinggi VOC  (Sumber: sejarah-nusantara.anri.go.id)

Tidak terkecuali Negara Belanda mereka semua saling bersaing antar kelompok satu Negara untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini yang pada akhirnya mendapatkan sorotan dari pemerintahan Belanda, dimana persaingan antar kelompok ini akan menimbulkan kekacauan di kerajaan Belanda sendiri. Pada 1598 pemerintah dan Parlemen Belanda (Staten Generaal) memberikan saran agar antarkongsi dagang Belanda bekerja sama membentuk sebuah perusahaan dagang yang lebih besar dan bisa menyaingi kongsi dagang milik Negara lain. Setelah empat tahun berlalu saran yang diberikan dapat dilaksanakan. Pada 20 Maret 1602 secara resmi dibentuklah sebuah persekutuan kongsi dagang Belanda di Nusantara yang diberi nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau dapat disebut dengan “Perserikatan Maskapai Perdagangan Hindia Timur/Kongsi Dagang India Timur”. VOC secara resmi dibentuk oleh pemerintah di Amsterdam.

Adapun tujuan dibentuknya VOC ini antara lain untuk: 

(1) menghindari persaingan yang tidak sehat antarkongsi dagang di Belanda 

(2) memperkuat kedudukan Belanda dalam menghadapi persaingan dengan para pedagang negara lain.

C:\Users\CMK~1.CMK\AppData\Local\Temp\F9C0BEF9-E882-4C5F-9690-27D000F5462D.jpeg
Uang Koin Milik VOC (Sumber: Sejarahlengkap.co.id)

VOC terus berusaha untuk memonopoli dan meluaskan wilayah jajahannya untuk mengeruk seluruh hasil SDA. VOC juga memandang bangsa-bangsa Eropa yang lain sebagai musuhnya. Mereka melakukan ekspansinya pada 1605 dengan berhasil mengusir portugis untuk keluar dari Ambon dan VOC mendirikan benteng yang diberi nama benteng Victoria. Pada awal pertumbuhannya sampai tahun 1610, “Dewan Tujuh Belas” secara langsung harus menjalankan tugas-tugas dan menyelesaikan berbagai urusan VOC.

Jabatan baru telah diciptakan dalam VOC  pada 1610 secara kelembagaan yaitu, jabatan gubernur jenderal. Dimana Gubernur jenderal merupakan jabatan tertinggi yang bertugas mengendalikan kekuasaan di negeri jajahan VOC. Diangkatlah Gubernur jenderal VOC yang pertama dia adalah Pieter Both (1610-1614). Setelah ditunjuk sebagai gubernur jenderal yang pertama, kini Pieter Both  harus memulai menjadikan organisasi kongsi dagang ini dengan sebaik-baiknya supaya mendapatkan keuntungan monopoli perdagangan di Hindia Timur dapat diwujudkan. Pieter Both untuk pertama kalinya mendirikan suatu pos perdagangan di Banten pada tahun 1610. Disaat tahun itu pula Pieter Both mulai memasuki Banten dan berhasil masuk ke Jayakarta. 

Tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC diganti dengan J.P. Coen yang dikenal sebagai gubernur jenderal yang berani, kejam serta ambisius.  J.P. Coen ini memiliki nafsu yang luar biasa untuk memonopoli perdagangan. Ia juga dikenal sebagai peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia. Dengan sikap congkak dan tindakan yang kejam, J.P.Coen berusaha meningkatkan eksploitasi di Nusantara. 

Pada tahun 1627 J.P. Coen menjabat kedua kalinya, sebab banyak sekali kemajuan yang dicapai oleh VOC ketika itu. Semua kebijakan dan tindakan VOC di kawasan Asia dikendalikan dari markas besar VOC di Batavia. Batavia menjadi penghubung jalur perdagangan internasional. 

VOC kini semakin berkembang dan menjadi-jadi, VOC mulai masuk ketubuh pemerintahan di kerajaan dengan menjalankan politik devide et impera dan berbagai tipu daya juga dilaksanakan demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya. Misalnya, Mataram yang merupakan kerajaan kuat di Jawa akhirnya juga dapat dikendalikan secara penuh oleh VOC. Hal ini terjadi setelah dengan tipu muslihat VOC, dan puncaknya pada 1749 dimana Raja Pakubuwana II yang sedang dalam keadaan sakit keras dipaksa untuk menandatangani naskah penyerahan kekuasaan Kerajaan Mataram kepada VOC pada. VOC juga berusaha untuk menaklukan kerajaan di luar Jawa. Misalnya, VOC berhasil menguasai Malaka setelah mengalahkan saingannya, Portugis pada tahun 1641. 

Awal dan Penyebab Kemunduran VOC

Tahun 1749 VOC mengalami perubahan pada lembaga kepengurusannya yang sangat mendalam. Parlemen Belanda mengeluarkan sebuah UU pada 27 Maret 1749, dimana isinya menyatakan bahwa Raja Williem IV sebagai penguasa tertinggi VOC. Artinya dimana “Dewan Tujuh Belas” para anggotanya yang awalnya dipilih oleh parlemen sekarang berubah menjadi tanggung jawab raja. Sekaligus raja juga menjadi panglima tertinggi di tentara VOC. Pada akhirnya VOC berada ditangan kekuasan raja, para pengurus dari VOC juga mulai akrab dengan pemerintah Belanda. Hal inilah yang menjadi titik awal dari sikap para pengurus VOC yang melanggar aturan. Dimana para pemegang saham memiliki hak yang terabaikan. Para anggota dari VOC berlomba-lomba untuk memperkaya dan mementingkan dirinya sendiri, kepentingan perdagangan dari VOC terabaikan. 

Baca Juga :   Kerajaan Tarumanegara: Dari Pengendali Banjir Sampai Agama Kotor

Praktik korupsi yang dilakukan oleh pengurus VOC menyebabkan keuntungan perdagangannya menjadi merosot sangat tajam. Dikatakan bahwa pada tahun 1673 VOC tidak bisa membayarkan dividen, karena keuangan yang memang lemah. Hal itu juga disebabkan oleh kasnya yang memang melemah sebab munculnya perang atau pemberontakan yang datang baik dari dalam maupun wilayah luar, sehingga VOC mengalami hutang yang begitu besar dan tidak bisa diatasi dengan kas pemasukannya. 

Para pejabat VOC berlaku sangat feodal dan semakin tidak peduli dengan merebaknya hutang di dalam tubuh VOC. Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon mengeluarkan suatu aturan ordonansi pada tanggal 24 Juni 1719 yang isinya mengatur secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur jendral, kepada Dewan Hindia beserta keluarganya. Seperti semua orang harus turun dari kendaraan bila berpapasan dengan para pejabat tinggi tersebut, warga keturunan Eropa harus menundukkan kepala, dan warga bukan orang Eropa harus menyembah. Kemudian Gubernur Jenderal Jacob Mosel juga mengeluarkan ordonansi baru tahun 1754. Ordonansi ini mengatur kendaraan kebesaran. Misalnya kereta ditarik enam ekor kuda, hiasan berwarna emas dan kusir orang Eropa untuk kereta kebesaran gubernur jenderal, sedang untuk anggota dewan hindia kuda yang menarik kereta hanya empat ekor dan hiasannya warna perak. Para pejabat VOC mulai mengilai akan kehormatan dan ingin memperkaya diri untuk berfoya-foya. Faktor ini pula yang menyebabkan beban pada anggaran kas di VOC. 

Faktor berikutnya yang menyebabkan VOC menjadi bangkrut adalah adanya sistem upeti. Sistem upeti ini dilakukan pada kalangan pejabat di VOC, dimana pejabat yang lebih rendah memberikan hadiah atau upeti kepada pejabat yang lebih tinggi di atasnya. Hal tersebut dilakukan karena adanya pergantian jabatan di dalam kepengurusan VOC. Hal tersebut membuat pernyataan bahwa praktik korupsi memang benar dilakukan. 

Bahkan ada pejabat VOC yang memupuk harta kekayaan dari kas VOC yang sangat besar yaitu Gubernur Jenderal Van Hoorn dimana ia memiliki harta hingga 10 juta gulden ketik ia kembali ke Belanda pada tahun 1709. Sedangkan gaji aslinya yang didapat adalah 700 gulden sebulan. Sedangkan Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan harta kekayaan hingga 20-30 ribu gulden dalam jangka waktu 4-5 tahun, sedangkan untuk gajinya hanya 150 gulden sebulan. 

Untuk menjadi pejabat di VOC ada suatu praktik penyogokan dengan nominal yang juga sangat besar. Para pengurus dari VOC memberikan tarif untuk penyogokan sebesar 3.500 gulden untuk menjadi pegawai di VOC, sedangkan gaji yang didapat hanya 40 gulden. Sedangkan untuk menjadi kapten di VOC harus membayar 2000 gulden dan begitu seterusnya yang pada akhirnya merugikan lembaga keuangan VOC. Seperti itulah para pejabat VOC terjangkit penyakit korupsi karena ingin kehormatan dan kemewahan sesaat. Beban utang VOC semakin berat, sehingga akhirnya VOC sendiri bangkrut. Bahkan ada sebuah ungkapan, VOC kepanjangan dari Vergaan Onder Corruptie (tenggelam karena korupsi).

Didalam titik terlemah dari keuangan VOC tidak bisa melakukan banyak hal dalam mengatasinya. Menurut pemerintahan Belanda VOC sebagai kongsI dagang internasional sudah tidak bisa menjalankan lagi kekuasaanya. VOC benar-benar telah bangkrut sehingga pada tahun 31 Desember 1799 VOC benar dinyatakan resmi bubar. Semua utang piutang yang dilakukan VOc diambil alih oleh pemerintah setempat. Pada waktu itu sebagai Gubernur Jendral VOC yang terakhir Van Overstraten masih harus bertanggung jawab tentang keadaan di Hindia Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.

  1. Penyebab Kehancuran

VOC mengalami kemunduran pada abad ke 18 menjadikan suatu permasalahan yang sangat besar khususnya pada ekonomi di Belanda. Belanda kehilangan pemasukan yang sangat luar biasa besar untuk kepentingan penjajahan di koloninya. Bahkan Belanda harus merelakan posisinya sebagai pemegang kekuatan ekonomi terbesar. Hal ini disebabkan karena ulah Belanda dalam menghancurkan VOC itu sendiri. Beberapa faktor yang menyebabkan VOC itu hancur diantaranya:

1. Dewan tujuh belas membiarkan para pejabat VOC melakukan bisnis pribadi di wilayah koloni. Pada awalnya mereka melarang untuk melakukan kegiatan atau kepentingan di luar negeri Belanda. Tetapi hal ini dilakukan oleh pejabat VOC karena rendahnya gaji yang mereka terima yang pada akhirnya larangan tersebut diabaikan. Praktek tersebut berjalan tanpa sepengetahuan dewa tujuh belas. Sejarawan Universitas Leiden FS Gaastra dalam De Geschiedenis Van De VOC, mengatakan jika surat menyurat antara dewan Hindia di Batavia dan dewan tujuh belas di Amsterdam berjalan lancar. Namun mengenai benar atau tidaknya isi laporan menjadi permasalahan yang lain. Saling mengirim laporan itu biasanya dilakukan dengan nada yang sengit dan ego yang sama-sama tinggi 

2. Runtuhnya VOC juga disebabkan oleh dewan tujuh belas yang tidak cepat merespon berbagai keluhan yang dihadapi oleh pegawai VOC. 

3. Ketegangan antara dewan tujuh belas dengan para pejabat di dewan Hindia juga menjadi salah satu faktor runtuhnya VOC. Pada tahun 1700an para pejabat yang ada di Batavia sering dikatakan lalai dalam menjalankan tugasnya. 

Namun keputusan dari dewan tujuh belas memberikan kerugian yang sangat besar bagi VOC dan Belanda.

  1. Jelang Kematian VOC

        Menuju kematian pada abad ke -18  dewan pusat di Amsterdam memaksa para pejabat di negeri jajahan untuk menambah kasnya. VOC memutuskan untuk mencari jalan pintas yaitu dengan menambah urusan politik  kerajaan – kerajaan di Nusantara hal itu dilakukan VOC untuk menarik simpati para penguasa daerah yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA). VOC mulai mengalami kerumitan masalah di negeri jajahan.

 Menurut sejarawan UGM Sri Margana, VOC terlibat dalam berbagai peperangan di Jawa, Sulawesi, Maluku ia memakan bekas perusahaan dengan nominal besar dan peperangan yang paling parah ketika VOC melawan Inggris. Hal ini membuat dewan tujuh belas meminjam modal ke berbagai kamar dagang di Belanda. Pada akhirnya hutang VOC semakin membengkak menurut, Reinout VOS dalam Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and the tightrope of diplomacy in the malay world 1740-1800 menyebut jika perang dengan Inggris pada 1780 telah menguras 70% kas VOC. Hal ini membuat VOC kehilangan kekuatannya untuk menjalankan perusahaannya.

“Beberapa tahun terakhir VOC diliputi berbagai pertentangan. Dua faktor utama yang menyebabkan kemerosotan adalah kehilangn laba dan akumulasi hutan” tulis Reinout. VOC dinyatakan bangkrut karena ketidakmampuannya mempertahankan kondisi keuangannya yang menyebabkan Belanda memutuskan untuk membubarkan kongsi dagang yang telah berdiri dan berkuasa hampir dua abad pada 31 Desember 1799. Dewan tujuh belas juga telah dihapuskan meskipun beberapa kongsi dagang di bawahnya masih tetap berjalan dan seluruh hutang dan aset-aset milik VOC menjadi milik pemerintahan Belanda. Sehingga 1800 didirikanlah pemerintah kolonial baru bernama Hindia-Belanda.

Baca Juga :   Eduard Douwes Dekker: Seorang Belanda yang Eksentrik

Studi Kasus Kemunduran VOC di Wilayah Jawa

Tahun 1740-an kerajaan Jawa sedang menghadapi perang antara saudara sendiri, yakni Pakubuwana II yang merupakan seorang raja dari keraton Surakarta dengan Pangeran Mangkubumi yang nantinya menjadi pendiri dari keraton Yogyakarta. Pada saat itu VOC masih memegang peranan penting di wilayah ini. 

Suatu ketika muncul pemberontakan dari seorang bernama Mas Said terhadap keraton Surakarta, sehingga Pakubuwana II memutuskan untuk membuat suatu sayembara. Untuk meredam pemberontakan, Raja mengumumkan bahwa siapapun yang dapat mengusir mereka dari Sukowati, daerah di sebelah timur laut, akan diberi hadiah berupa tanah sejumlah 3.000 cacah. Mendengar hal tersebut, Pangeran Mangkubumi merasa tertantang dan mengikutinya. Akhirnya ia berhasil mengusir Mas Said dan memenangkan sayembara tersebut. Namun sebelum hadiah itu diserahkan, seorang Patih Pringalaya mencoba mempengaruhi Pakubuwana untuk menahan hadiah tersebut. Di tengah pilihan yang sulit ini, VOC tiba-tiba datang dengan utusannya bernama Jenderal Van Imhoff dengan tujuan untuk menangani masalah pesisir. Beliau mendesak agar sebagian wilayah pesisir tersebut diberikan kepada VOC. Awalnya Pakubuwana II merasa ragu, tetapi karena terus saja didesak oleh VOC akhirnya beliau memutuskan untuk menyewakan tanah tersebut kepada VOC dengan bayaran 20.000 real per tahun. Namun keputusan tersebut tidak lebih dulu dibicarakan dengan petinggi keraton yang lainnya, sehingga memicu reaksi yang keras termasuk dari Mangkubumi, ia menilai bahwa Raja telah melanggar peraturan dengan mengambil keputusan yang sepihak.

Pada akhirnya Mangkubumi berusaha untuk memberontak dengan menyiapkan pasukan yang cukup besar dan disebut sebagai Perang Suksesi Jawa III (1746-1757) yang juga bergabung dengan Mas Said. Di tengah pemberontakan, Pakubuwana II jatuh sakit dan mengutus Baron Van Hohendorff yang pada saat itu sebagai pemimpin wilayah pesisir untuk mengambil alih kepemimpinan, yang menghasilkan perjanjian mengenai hal tersebut. Sembilan hari setelahnya, Pakubuwana wafat dan pihak VOC memutuskan untuk menggantikannya dengan seorang putra mahkota sebagai Pakubuwana III. Namun putra mahkota itu diduga bukan keturunan dari Pakubuwana II. Pemberontakan masih berlangsung, dan perjanjian yang dilakukan VOC sama sekali tak berpengaruh. Mereka harus mengakui kekalahan akibat masalah internal keuangan yang tak bisa membiayai biaya perang mereka. Namun di sisi lainnya pemberontak juga tetap tidak bisa mengusir raja dari wilayah Surakarta. Simpulnya peperangan ini tidak menghasilkan kemenangan bagi keduanya.

Sementara antara Mas Said dengan Mangkubumi juga terjadi perpecahan dalam kubunya sendiri, diawali dari ketakutan Mangkubumi apabila kehilangan kekuasaan atas pasukan pemberontak, sehingga Mangkubumi memilih bergabung dengan VOC. Pada 13 Februari 1755 disetujui perjanjian yang menyebutkan Mangkubumi sebagai Hamengkubuwana I yang menguasai separuh dari wilayah Jawa Tengah. Dalam masa ini pemberontakan masih terjadi dari Mas Said yang semakin memperlemah posisi VOC. Keadaan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Hamengkubuwana I untuk pergi ke daerah Yogya dan mendirikan istana baru tahun 1756 yang diberi nama Yogyakarta. Tetapi dalam perjalanannya ia masih harus menghadapi lawan politiknya yaitu Pakubuwana III. Di tahun ini pula pemberontakan Mas Said mengalami kekalahan karena harus menghadapi tiga kekuatan yang bergabung. Beliau memilih menyerah dan selanjutnya diangkat sebagai Pangeran Adipati Mangkunegara dibawah kekuasaan Surakarta. Hingga sampai tahun 1825 tidak terlihat terjadi peperangan dan wilayah tersebut tampak damai meski ada beberapa pemberontakan kecil yang masih bisa dipadamkan.

Di tengah situasi yang terlihat damai, sesungguhnya terjadi peperangan antara keraton Surakarta dengan Yogyakarta. Keduanya memperebutkan wilayah kekuasaan yang belum jelas, dalam hal ini lag-lagi VOC berusaha ikut campur dengan menjadi penengah di antara keduanya. Peristiwa ini menghasilkan sebuah undang-undang baru yakni Angger Ageng (Peraturan Hukum Besar) dan Angger Arubiru (Undang-undang tentang gangguan terhadap ketentraman) disetujui masing-masing di tahun 1771 dan 1773. Dengan begitu, peran VOC yang dibutuhkan semakin kecil bahkan terkesan sudah tidak ada lagi. 

Setelah itu lahirlah seorang putra yang menjadi penerus kerajaan yaitu Hamengkubuwana II yang pada akhirnya menjadi raja yang mengetahui kelemahan dari VOC. Beliau berhasil mendirikan benteng bergaya Eropa di sekeliling istana tahun 1785. Sementara itu, di pemerintahan keraton Surakarta banyak terjadi permasalahan. Ketidakcakapan raja yang memimpin yaitu Pakubuwana III, persengkokolan dalam istana, dan perilaku pejabat VOC yang sangat buruk sehingga menurunkan stabilitas politiknya. Sampai pada masa kepemimpinan pemerintahan digantikan oleh putranya yaitu Pakubuwana IV. Raja ini memiliki niatan untuk mendesak VOC agar menjadikan Surakarta sebagai yang utama. Namun VOC menolak, dan memutuskan untuk bergabung dengan Hamengkubuwana II untuk menyelesaikan masalah ini. Akhirnya dilakukan pengepungan terhadap istana Surakarta yang memaksa Pakubuwana IV untuk menyerah.

Sementara itu, di wilayah kekuasaan VOC lainnya yaitu Banten juga sedang terjadi pemberontakan besar dari seorang bernama Kyai Tapa pada Oktober 1750. Saat itu keadaan ekonomi VOC sedang memburuk akibat Perang Suksesi Jawa III sehingga mereka harus menelan lagi kekalahan dalam pemberontakan ini. Akibatnya kekuatan VOC menjadi semakin mengecil, bahkan mereka juga harus menyerahkan sebagian wilayah kekuasaannya di Banten kepada pemberontak, dan usaha monopoli juga harus beralih menjadi produksi teh dan kopi di dataran-dataran tinggi Priangan.

Tahun 1780-an juga terdengar kabar bahwa VOC harus meminjam uang dari Keraton Surakarta dan Yogyakarta serta pemerintah Belanda untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya yang masih tersisa termasuk di Batavia. Hal ini membuat pemerintah Belanda berusaha menyelidiki internal VOC, dan hasilnya adalah penemuan banyak kebangkrutan, skandal, dan kesalahan kepengurusan. Apalagi tahun 1794-1795 Perancis berhasil memenangkan perlawanan dengan Belanda sehingga tahun 1796 Heeren 17 (Dewan tertinggi perdagangan Belanda) dibubarkan dan diganti dengan komite yang baru. Di akhir abad 18, VOC resmi dibubarkan.

Dampak Sosial, Politik, dan Ekonomi dari Kemunduran VOC

Pada masa kepemimpinan H.W Daendels terdapat berbagai macam dampak dari kemunduran VOC di beberapa bidang:

  1. Bidang Sosial

Setelah masa VOC dan dilanjutkan dengan masa kolonial Belanda terjadi beberapa perbedaan pada sistem lapisan sosial masyarakat seperti, golongan penjajah dan terjajah serta golongan majikan dan buruh.

  1. Bidang Politik

Daendels yang merupakan seorang pemuja prinsip-prinsip pemerintahan yang revolusioner. Di Jawa ia membawa suatu perpaduan semangat pembaruan dan metode kediktatoran, yang sebenarnya hanya menuai hanya sedikit hasil dan justru banyak mendapat perlawanan. Dalam sistem pemerintahan kerajaan ia juga turut campur tangan dalam hal tata cara dan adat istiadat didalam beberapa kerajaan salah satunya kerajaan dijawab. 

  1. Bidang Ekonomi

Komersialisme menjadi salah satu dampak kemunduran VOC yang terjadi di Indonesia, kekosongan kas negara Belanda bahkan hutang yang sangat besar. Untuk mengatasi permasalahan yang terjadi tersebut maka pemerintah Belanda memberlakukan sistem  tanam paksa. Tanah rakyat yang pada awalnya merupakan milik pribadi diambil paksa dan dikuasai oleh pemerintah Belanda untuk dijadikan sebagai lahan pertanian tanam paksa.

Daftar Pustaka

  1. Abdullah, Taufik dkk. 1968. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES.
  2. A. B, Lapian. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4 (Kolonialisasi dan Perlawanan). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
  3. A. B, Lapian. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 5 (Masa Pergerakan Kebangsaan). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
  4. A.M, Sardiman, dan A.D. Lestariningsih. 2014. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kemendikbud.
  5. Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. (Cetakan ketiga) 

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts