Kemunculan Fasisme Tiga Negeri, dan Dinamika Kaum Pergerakan Nasional Merespons Fasisme

Pada masa kolonialisme Hindia-Belanda, kaum pergerakan nasional dilema dalam menentukan patron-patron aliran politik internasional—salah satunya ialah fasisme. Kemunculan fasisme di kancah internasional dikenal berakar dari tiga negeri, yakni Italia, Jerman, dan Jepang. Bagaimana kemudian kaum pergerakan nasional merespons fasisme?

Oleh : Lutfi Bayu Susanto

Pada masa perang Eropa, aliran politik internasional yang terkuat terdiri dari Italia dan Jerman yang akhirnya menganut fasisme. Amerika Serikat muncul sebagai penganut demokrasi liberal dan Uni Soviet dengan terang melahirkan komunisme. Aliran-aliran itu muncul sebagai paham yang berpengaruh penting dalam situasi politik dunia yang sedang bergerak.

Salah satu peristiwa yang memicu perang besar di Eropa pada abad ke-20 adalah dibunuhnya Pangeran Franz Ferdinand (pewaris Kekaisaran Austria-Hungaria) oleh kaum nasionalis Serbia di Kota Sarajevo pada tahun 1914. Peristiwa tersebut berhasil membuat ketegangan di antara negeri-negeri pendukung seperti Jerman yang mendukung Austria-Hungaria dan Rusia yang mendukung Serbia. Sejak  peristiwa itu, situasi politik internasional semakin memanas. Perang berkecamuk hingga tahun 1918. Akibatnya, krisis ekonomi melanda negeri-negeri yang kalah perang serta memicu munculnya pemberontakan-pemberontakan rakyat kepada pemerintahan.

Menurut W. Djaja dalam bukunya Sejarah Eropa, kekalahan Jerman pada perang dunia pertama memicu pergerakan kaum komunis (spartacis) untuk menggulingkan pemerintahan Jerman. Sementara di Austria muncul pemberontakan kaum komunis dan kaum Slavia—yang mengakibatkan Kaisar Karl (pengganti Kaisar Frans Joseph II) turun dari tampuk kekuasaannya pada tahun 1918.

Arus aliran politik dunia yang sedang bergerak dan berubah tentu saja menimbulkan ketegangan di Hindia-Belanda. Kaum pergerakan nasional yang kita kenal lahir dalam kurun waktu 1908-1945. Dalam kurun waktu tersebut terdapat banyak dinamika diantaranya perbedaan pandangan terhadap arus aliran politik internasional. Aliran politik seperti apa yang akan digunakan oleh kaum pergerakan nasional dalam melepas status sosialnya sebagai rakyat jajahan? Kemudian, seperti apa gambaran aliran politik yang akan digunakan untuk kebangsaan Indonesia ke depannya?

Kemunculan Fasisme Tiga Negeri

Benito Mussolini bersama Adolf Hitler, ketika Hitler berkunjung ke Italia tahun 1938.

(Sumber:  war-documentary.info)

Fasisme di Italia muncul dibawah pimpinan Benito Mussolini. “Di tengah situasi depresi, demokrasi berjuang untuk tetap hidup. Salah satu faktor munculnya fasisme adalah kekecewaan terhadap demokrasi,” tulis Hugh Purcell dalam bukunya Fasisme. Italia bukan negeri yang kalah dalam Perang Dunia pertama. Namun Italia mengalami persoalan masa krisis ekonomi yang parah yang memicu rakyat Italia menekan pemerintah demokrasi untuk bertindak menyelesaikan persoalan tersebut. Memanfaatkan momentum yang penuh tekanan, Mussolini merespons dengan berhasil mendirikan Fascio di Combattimento pada tahun 1919—yang kemudian berhasil membawanya naik tampuk pemerintahan Italia.

Di Jerman, fasisme adalah akar ideologi Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei atau lebih deikenal dengan Partai Nazi. Partai ini berada di bawah pimpinan Adolf Hitler yang merupakan veteran perang dunia pertama. Kemenangan Partai Nazi dalam pemilu Jerman tahun 1933 menandai kemunculan fasisme di Jerman dan menandai keberhasilan Hitler dalam memengaruhi rakyat Jerman Raya. Hitler dalam bukunya Mein Kampt menerbitkan sebuah pamflet kecil yang berjudul Eine Abrechnung (Menuntut Balas) sebagai awal perjuangannya di dunia politik. Salah satu karya Hitler yang terkenal selain Mein Kampt  adalah “The Four and a Half Year Struggle Against Lies, Stupidity, and Cowardice”.

Setelah perang dunia pertama selesai, negeri-negeri pemenang perang dunia pertama menggelar perjanjian Versailles pada tahun 1919. Perjanjian tersebut didominasi oleh pemerintahan demokratis “borjuasi” Eropa. Hitler menganggap bahwa isi perjanjian tersebut dinilai menindas rakyat Jerman. Setelah kekalahannya pada perang dunia pertama, tentu Jerman tak mau kalah untuk kedua kalinya. Oleh karena itu, Hitler membawa Nazi bergerak sebagai penentang pemerintahan demokratis Eropa dan pergerakan itu diterima oleh pengikutnya sebagai solusi yang absolut bagi Jerman Raya. Hitler dikenal sebagai tokoh yang sering mempraktikkan demagogi dan propaganda. Hal tersebut yang membuat para pengikutnya menyebut Heil Mein Fuhrer sebagai simbol penghormatan kepada pemimpinnya.

Baca Juga :   Holocaust: Diskriminasi, Penyiksaan Dan Pembantaian

Praktik fasisme Hitler ialah demagogi dan propaganda sedangkan Mussolini melakukan long march di Roma sebagai salah satu praktik atas aliran yang dianutnya. Kemudian fasisme Jepang dikenal dengan praktik militerisme—yang berada di bawah Kekaisaran Hirohito. Pada masa Kekaisaran Hirohito, Jepang dengan terang mencetuskan konsep ‘Hakko Ichiu’—yang Jepang anggap sebagai slogan persaudaraan universal.

Melihat dunia yang sedang bergerak dan berubah oleh dinamika arus pemikiran yang sporadis, Mohammad Hatta menyatakan:“Dalam perjalanan sejarah dunia, diktatur itu hanya timbul sebagai pemerintah sementara” (Daulat Ra’jat, 30 Desember 1933). Artinya, Hatta memandang bahwa fasisme adalah suatu jalannya pemerintahan yang bersifat sementara pada suatu fase sejarah dunia yang terus berjalan.

Dinamika Kaum Pergerakan Nasional Merespons Fasisme

Anggota Partai Indonesia Raya (Parindra) memberi salam kehormatan kepada Soekardjo Wirjopranoto, ketika berjalan menuju pemakaman M. H. Thamrin.

(Sumber: digitalcollections.universiteileiden.nl)

Nampaknya, kemeriahan kemenangan Mussolini dan Hitler telah berhasil memengaruhi pemikiran kalangan Eropa di Hindia-Belanda—yang konservatif memandang fasisme sebagai jalan keluar dari krisis ekonomi global yang parah. Bukti keberhasilan penetrasi fasisme ditandai dengan berdirinya tiga partai fasis di Hindia-Belanda dalam kurun waktu 1933-1934. Partai Fasis tersebut adalah Nederlandsch Indische Fascisten Organisatie (NIFO), Fascisten Unie (FU), dan Nationaal Socialistische Beweging (NSB). Berdirinya tiga partai fasis tersebut menandai adanya ketegangan di kalangan Eropa Hindia-Belanda terhadap fenomena krisis ekonomi yang melanda dunia. Alih-alih fasisme dipercayai sebagai alat politik yang nantinya digunakan untuk mengeluarkan mereka dari krisis ekonomi global.

Kaum pergerakan nasional awalnya melihat fasisme sebagai alat untuk mempercepat meraih kemerdekaan serta sebagai alat pembantu untuk segera melepas status sosialnya sebagai rakyat jajahan. Di Bandung, pada tahun 1933 berdiri Partai Fascist Indonesia (PFI) yang dipimpin oleh Dr. Notonindito. Pendirian PFI memicu terjadinya perdebatan di antara kaum pergerakan nasional.

Pada masa itu terdapat tiga partai kaum pergerakan nasional yang menentang fasisme yakni Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Partindo), dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). PNI muncul sebagai salah satu partai politik kaum pergerakan nasional yang keras menentang fasisme dan praktik-praktik fasisme. PNI menganggap bahwa fasisme adalah suatu alat politik yang digunakan oleh kelas borjuasi untuk mengamankan posisi mereka menghadapi krisis ekonomi global. Partindo yang pada saat itu berada di bawah pengaruh Amir Sjarifuddin melihat fasisme bisa berpeluang menjadi alat politik yang berbahaya jika diterapkan oleh kaum pergerakan nasional. Pasalnya fasisme tidak menjamin kebebasan yang absolut bagi kaum pergerakan nasional yang merupakan rakyat jajahan. Mengingat perjuangan kaum pergerakan nasional tidak hanya menentukan patron politik internasional yang kelak menjadi aliran politik Indonesia, tetapi kaum pergerakan juga harus melawan kolonialisme Belanda. Melihat fenomena tersebut, akhirnya Gerindo berdiri pada Mei 1937—organisasi ini hadir sebagai wakil gerakan sosialis (kiri) di kongres pertama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Kongres tersebut menghasilkan keputusan Indonesia berparlemen. Artinya, tiga partai tersebut bersepakat bahwa mereka menentang fasisme dan tidak berkehendak jika fasisme diterapkan oleh kaum pergerakan nasional.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa pendirian PFI telah memicu tiga partai politik kaum pergerakan nasional yang merespons pendirian PFI dengan menolak fasisme. Pasalnya, PFI di bawah kepemimpinan Dr. Notonindito mempunyai tujuan menghidupkan kembali kerajaan-kerajaan di Nusantara. Meskipun alirannya ialah fasisme, Dr. Notonindito tidak berkiblat secara mentah terhadap Hitler ataupun Mussolini. Hal ini dikarenakan ia mempunyai gagasan dan praktiknya sendiri yaitu kebangsaan melalui kerajaan-kerajaan di Nusantara—yang menandai praktik fasisme Indonesia berbeda dengan praktik fasisme Jerman dan fasisme Italia. PFI memiliki praktik fasisme yang berbeda dengan Jerman dan Italia, gagasan tersebut tetap menimbulkan perdebatan di kalangan kaum pergerakan nasional.

Baca Juga :   Hukum Archimedes dan Sejarah Perkembangan Balon Udara Bagian 2

Pada masa itu terdapat golongan kaum pergerakan nasional yang radikal. Kaum pergerakan radikal, menurut Wilson dalam buku Orang dan Partai Nazi di Indonesia  yang mengutip Adil, 1 Juli 1933 “Kata fasisme bagi kaum pergerakan radikal dipahami sebagai kebangsaan yang agresif dan anti sosialisme. Dia bersifat agresif karena tiap-tiap yang bukan Jerman mesti dibasmi”. Wilson yang mengutip Insjaf, 15 Juni 1933 juga menyatakan bahwa: “Fasisme dianggap membunuh demokrasi karena ia tidak dapat menerima sosialisme dan komunisme. Sosialisme dan komunisme dianggap sebagai pejuang demokrasi karena berwatak kerakyatan dan karena kaum ini yang selalu mengembangkan semangat demokrasi,” Demokrasi adalah sosialisme dan fasisme adalah anti sosialisme.

Jika dilihat pada kurun waktu 1905-1908 kaum “kiri” berhasil mendirikan organisasi serikat buruh, Staats Spoor Bond (SSB) dan Cultuur Bond (CB). Pendirian organisasi tersebut menandai keberhasilan penyebaran gagasan-gagasan sosialisme kepada rakyat jajahan. Pendirian dua organisasi tersebut erat kaitannya dengan berdirinya Gerindo pada Mei 1937. Adapun alasan berdirinya Gerindo menurut Sastroamidjojo adalah sebagai pengimbang terhadap pembentukan Partai Indonesia Raya atau Parindra (Wilson, 2008: 151). Parindra menurut Sastroamidjojo, merupakan “kaum nasionalis kanan.”—sehingga penting kiranya Gerindo didirikan sebagai penyeimbang Parindra.

Parindra sendiri sudah dua tahun lebih dulu sebelum Gerindo lahir tepatnya pada tahun 1935 di Surakarta. Partai tersebut mempunyai cita-cita membangun “Indonesia Raya” dan “Indonesia Mulia.” Cita-cita tersebut tercetus oleh Parindra di bawah pimpinan Dr. Soetomo. Menurut Benedict Anderson, merdeka dan kebebasan mengandung arti yang lebih radikal dan memiliki tujuan-tujuan politis, sementara mulia adalah suatu pandangan moral priyayi (Wilson, 2008: 151-152). Soetomo ingin membangun sebuah kekuatan dalam tatanan kolonial tanpa menirunya. Ia menemukan bahwa “dunia baru” yang harus dibangun adalah membangun individu-individu yang mempunyai budi utama. Bersama pendapat yang demikian, memungkinkan sebuah hipotesis bahwa Parindra barangkali menjadi gerakan politik yang menganut fasisme dengan praktiknya yang berbeda—seperti PFI.

Sebagaimana dinamika perbedaan pendapat yang terjadi di antara kaum pergerakan nasional, Soekarno mengungkapkan pandangannya mengenai fasisme dalam buku  Di Bawah Bendera Revolusi (jilid pertama) yang berbunyi’ “Sejarah fasisme adalah sejarahnya kapitalisme di dalam tingkatannya yang sudah tua. Sejarah fasisme adalah sejarah kapitalisme yang telah turun,” Nampaknya Soekarno melihat fasisme sebagai suatu sistem politik yang hendak melanggengkan kapitalisme—yang sudah dekat dengan kehancuran.

Oleh karena djiwa Indonesia bertentangan dengan djiwa fasisme.” Tulis Soekarno dalam Di Bawah Bendera Revolusi (jilid pertama) dalam bab “Indonesia Versus Fasisme”.

Daftar Pustaka:

Djaja, W. (2012). Sejarah Eropa: Dari Eropa Kuno Hingga Eropa Modern. Yogyakarta: Ombak.

Hatta, M. (1976). Indonesia Merdeka. Jakarta: Bulan Bintang.

Hitler, A. (2010). Mein Kampf Volume I dan Volume II. Yogyakarta: Narasi.

Purcell, H. (2000). Fasisme. Yogyakarta: Insist Press.

Soekarno. (1963). Di Bawah Bendera Revolusi Djilid Pertama. Jakarta: H. Mualliff Nasution.

Wilson. (2008). Orang dan Partai Nazi di Indonesia: Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme. Jakarta: Komunitas Bambu.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts