Kekuasaan Pra-Tumapel Abad ke-12: Sri Maharaja Jayamertha, sang Prabu Klana Sewandana dalam Kisah Panji

Pertikaian panjang dalam istana Pangjalu menjadi semakin memanas setelah raja besar Pangjalu, Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya wafat pada tahun 1080 Saka (1158 M). Keadaan yang tengah menyelimuti sebagian besar bangsawan Pangjalu dimana mereka kini sedang dilanda badai duka. Takhta Pangjalu yang kosong berada diambang perebutan dua kubu pangeran Pangjalu yang sedang berusaha untuk memperebutkannya. Namun, jauh di wilayah bhumi wetan i Kawi atau wilayah di sebelah timur Gunung Kawi, ada seorang raja yang masih tergolong sebagai sisa-sisa bekas bangsawan lama Janggala yang ternyata mampu bertahan hidup setelah sebelumnya Janggala tanpa ampun dan tanpa sisa dihancurleburkan oleh Pangjalu pada masa Sang Mapanji Jayabhaya berkuasa. Kehadirannya kini juga menjadi ancaman bagi pihak Pangjalu yang sedang dirundung badai duka akibat wafatnya Prabu Sang Mapanji Jayabhaya. Ia memanfaatkan situasi dan keadaan ini dengan memproklamirkan dirinya dari sebagai raja dari sebuah kerajaan merdeka dan berdaulat dari kekuasaan Pangjalu di wilayah bhumi wetan i Kawi. Bala Sang Giripati dari Purwwa. Siapakah sosok Sang Giripati ini? 

Oleh Yeremia Satria Yasobam Elprinda

Dalam Kisah Panji yang berjudul ‘Panji Klana’, dikisahkan bahwa ada seorang maharaja dari tanah Hindu yang datang dengan membawa seratus ribu jung dengan banyak sekali pasukan rakhsasa berkulit biru dan berwajah mengerikan. Raja itu datang ke Kotaraja Pangjalu di Daha dan meminta kepada Raja Pangjalu untuk meminang Putri Mahkota Pangjalu, Sasi Kirana Ratu atau Dewi Galuh Chandrakirana. Maharaja dari tanah Hindu itu bernama Prabu Klana Sewandana. Wajahnya amat mengerikan dan bahkan sanggup membuat banyak orang ketakutan melihatnya. 

Dalam Kisah Panji ‘Panji Klana’ ini, pihak keluarga istana Pangjalu merasa kebingungan dengan tawaran dari sang Maharaja dari tanah Hindu ini. Mereka kemudian merundingkan suatu siasat untuk dapat memancing Prabu Klana Sewandana ini dan untuk melemahkan kekuatan pasukan kerajaannya. Atas saran dan usul dari para dewata, maka untuk sementara waktu Sasi Kirana yang sudah dijodohkan dengan Raden Panji Kuda Rawisrengga atau Raden Panji Inu Kertapati harus berpisah sebagai bagian dari siasat. Disebarluaskanlah berita, bahwasannya Dewi Galuh Chandrakirana dengan putra mahkota Janggala itu telah bercerai ke seluruh penjuru istana. Ini sengaja dirancang sebagai salah satu bentuk dari siasat yang telah dijalankan pihak keluarga istana Pangjalu.  

Siasat pertama telah berhasil dijalankan. Pihak musuh ternyata tidak memahami akan hal ini. Tawaran sang Prabu Klana Sewandana rupa-rupanya disetujui oleh pihak keluarga istana Pangjalu.  Kemudian siasat kedua yang dijalankan oleh pihak istana Pangjalu melalui jasa Sasi Kirana atau Galuh Chandrakirana kepada sang Prabu Klana Sewandana ini digambarkan dalam Kisah Panji sebagai pemberian dana makanan oleh Prabu Klana Sewandana kepada penduduk di wilayah Kotaraja Pangjalu di Daha. Terakhir, siasat yang dirancang oleh pihak keluarga istana Pangjalu ini adalah agar sang Prabu Klana Sewandana mengisi penuh sebuah kukusan besar yang telah disediakan oleh pihak Pangjalu di tepian Bengawan Brantas dengan emas dan permata. Siasat kedua dan ketiga adalah dua syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh sang Prabu Klana Sewandana untuk dapat meminang sang permata Daha, Putri Mahkota Kerajaan Pangjalu. 

Sang Prabu Klana Sewandana tidak merasa khawatir dan curiga sedikitpun akan kedua persyaratan yang telah diajukan oleh pihak keluarga istana Pangjalu. Kedua persyaratan ini dalam Kisah Panji disanggupinya. Pertama, sang prabu membagi-bagikan berupa dana makanan kepada seluruh penduduk Kotaraja Pangjalu di Daha. Setelah syarat pertama berhasil dipenuhi maka kini giliran persyaratan kedua harus dilaksanakan oleh sang Prabu Klana Sewandana. Pertama ia memasukkan satu peti penuh berisi emas dan permata ke dalam kukusan besar yang disediakan oleh pihak Pangjalu, semua emas dan permata itu tenggelam dan terbawa oleh aliran Bengawan Brantas. Hingga ia memasukkan lima peti sekaligus, ternyata hasilnya nihil. Semua emas dan permata yang dia bawa untuk melamar Dewi Galuh Chandrakirana atau Sasi Kirana Ratu ini kini telah terbuang sia-sia. Tenggelam dan telah terbawa oleh aliran arus sungai Bengawan Brantas. Itu artinya pihak Pangjalu telah menabuh genderang perang karena telah memperdayainya. Murkalah sang Prabu Klana Sewandana, ia segera memerinatahkan wadyabala pasukan rakhsasanya untuk menyerbu Kotaraja Pangjalu di Daha. 

Baca Juga :   Dinamika Sosial Keagamaan Masyarakat terhadap Kearifan Lokal di Desa Mojo, Boyolali

Pihak Pangjalu merasa sangat khawatir menghadapi pertempuran ini. Jumlah pasukan Kedhaton Pangjalu terhitung kecil, sangat tidak sebanding dengan jumlah wadhyabala rakhsasa yang dibawa oleh Prabu Klana Sewandana dengan jumlah sebanyak seratus lima puluh ribu wadhyabala. Dari hari ke sehari, jumlah pasukan yang mati terbantai di medan perang semakin banyak. Korban tidak dapat dihindarkan lagi. Bhatara ring Daha, Prabu Lembu Amerdadu, segera memohon petunjuk kepada para dewata ke sanggar pamujyan agar dewata merestui kemenangan ada di pihak Pangjalu. Lalu para dewata mengutus Begawan Narada kepada Prabu Lembu Merdadu dan menyatakan, bahwa tidak usahlah khawatir; pertolongan dan bantuan para pendukung raja Pangjalu akan segera sampai. Dalam kebingungan yang tengah melanda sang prabu, pasukan gabungan Kedhaton Janggala, Wengker, dan Wurawan pimpinan senopati agung Janggala, Raden Panji Kuda Rawisrengga atau Raden Panji Inu Kertapati datang ke palagan perang membantu pasukan Pangjalu yang sudah semakin kewalahan dan berbalik menggempur pasukan wadyabala rakhsasa dari tanah Hindu pimpinan Prabu Klana Sewandana itu. Pasukan wadhyabala rakhsasa pimpinan Prabu Klana Sewandana terpukul mundur dan mereka semua kemudian berhasil dikalahkan dengan gabungan pasukan Pangjalu, Janggala, Wurawan, dan Wengker. 

Topeng Panji karakter tokoh Prabu Klana Sewandana.(Source: https://mpng.subpng.com/20180624/ttl/kisspng-mask-second-javanese-war-of-succession-topeng-klan-java-island-5b305e999108e8.9599481015298966015941.jpg)

Dalam sejarahnya, sosok Prabu Klana Sewandana ini sebenarnya masih tergolong sebagai sisa-sisa bangsawan lama Janggala sebelum Janggala berhasil ditaklukkan dan dikuasai sepenuhnya oleh pihak Pangjalu saat masa kepemimpinan Prabu Sang Mapanji Jayabhaya dari Pangjalu. . Pasukan Janggala lama yang kocar-kacir ini kemudian membentuk sebuah komplotan gerombolan liar yang terus-menerus membuat kekacauan di wilayah Kotaraja Pangjalu di Daha dan di wilayah Janggala. Dalam suatu riwayat lain, pemimpin gerombolan liar pasukan Janggala lama ini dikenal dengan nama Sang Giripati atau Bangbang Giripati. Dalam riwayat lain, pemimpin mereka disebut dengan nama Bangbang Jayamertha. Tentu saja pergerakan gerilya komplotan gerombolan liar pasukan Janggala lama pimpinan Bangbang Giripati atau Sang Giripati ini adalah untuk dapat merengkuh kekuasaan tertinggi: Takhta Pangjalu. Pergerakan gerombolan liar pasukan Janggala lama penganut Bhairawa Tantra  pimpinan Bangbang Giripati atau Sang Giripati ini semakin menguat walau dilakukan secara gerilya dan berpindah-pindah di wilayah Janggala, tepatnya di wilayah selatan Tumapel. Markas besar kediaman gerombolan liar pasukan lama Janggala ini disebut sebagai Janggala Manik, yang artinya adalah Permata Janggala. Nama tradisional untuk sebuah kerajaan pra-Tumapel yang disebut dengan nama Purwwa

Seiring dengan semakin uzurnya usia Prabu Sang Mapanji Jayabhaya, maka kekuatan dan semangat pasukan Pangjalu menjadi semakin melemah. Pada tahun 1080 Saka atau 1158 M, Prabu Sang Mapanji Jayabhaya wafat. Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh Bangbang Giripati atau Sang Giripati untuk memperkuat kekuatan pasukan perangnya. Ia bersama pasukannya menuju ke utara, berhasil menguasai seluruh Tumapel. Pasukan Janggala yang berada di sekitar wilayah Tumapel berusaha untuk merebut kembali wilayah Tumapel dari pasukan Janggala Manik atau Purwwa ini, tetapi karena kepandaian dan siasat yang telah dirancangkan oleh Bangbang Giripati kepada Buyut dari Kabuyutan Sukun, akhirnya usaha perebutan kembali berhasil digagalkan. Pasukan Janggala berhasil dipukul mundur oleh pasukan Janggala Manik pimpinan Bangbang Giripati. Wilayah Kabuyutan Sukun akhirnya diganjar dengan status sima swatantra pada tahun 1083 Saka atau 1161 M. Bangbang Giripati atau Sang Giripati mengangkat diri sebagai raja dengan gelar abhiseka, Sri Maharaja Jayamertha. Fakta ini menunjukkan bahwa di Malang pada pertengahan abad ke-12 terdapat kerajaan besar yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Sri Jayamertha. 

Baca Juga :   Jejak Kehidupan, Pemikiran, dan Kontribusi Lafran Pane

Agus Sunyoto dalam Petunjuk Wisata Kabupaten Malang menerangkan bahwa letak situs yang berkaitan dengan Kerajaan Purwwa atau Janggala Manik pimpinan Bangbang Giripati atau Sri Maharaja Jayamertha ini diperkirakan membentang dari daerah di sekitar Polowijen, Tasikmadu, Balearjosari, Bejisari, Bioro, Panggung, dan Bukur. Sekalipun adanya kekuasaan pra-Tumapĕl di wilayah Malang tidak terbantahkan, namun letak yang tepat dari bekas kekuasaan itu perlu diteliti lebih mendalam. Sebagai contoh, salah satu bukti fisik dari adanya situs Purwwa atau Janggala Manik yang menunjuk pada terdapatnya sisa-sisa peninggalan masa silam pra-Tumapĕl dapat ditemukan di belakang kompleks SDN Polowijen II dan sekitarnya dalam bentuk bekas-bekas pondasi dari batu merah yang besar dan tebal yang berserakan di ladang penduduk setempat. Di kampung Polowijen sendiri ditemukan lorong bawah tanah dengan kedalaman 6-7 meter yang belum diketahui berapa panjangnya dan kemana arahnya, di mana pada masa silam lorong macam itu disebut “sumur upas” yang digunakan oleh raja dan keluarganya untuk melarikan diri dari serangan musuh. 

Namun kekuasaan Kerajaan Purwwa atau Janggala Manik ini tidaklah bertahan lama. Sebab jika kita mengkomparasikan berita dan data dari naskah Cerita Panji Panji Klana dengan Prasasti Sukun bertarikh 1083 Saka keluaran Sri Maharaja Jayamertha ini, Kerajaan Purwwa atau Janggala Manik tampaknya sudah berhasil digempur dan diserang oleh pihak Pangjalu. Kekuatan mereka kocar-kacir, banyak yang melarikan diri ke pegunungan tinggi seperti wilayah Gunung Kawi maupun Gunung Mahameru (Semeru, pen), menunggu saat yang tepat untuk kembali melancarkan serangan mematikan kepada pihak Pangjalu yang sudah mengalahkan mereka. 

Prasasti Sukun keluaran Sri Maharaja Jayamertha bertarik 1083 Saka yang disimpan di Museum Mpu Tantular, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. (Source: https://ngalam.co/2017/04/15/prasasti-sukun-punya-dua-penafsiran/)

Kekuatan Janggala Manik atau Purwwa yang kocar-kacir dan banyak melarikan diri ke wilayah pegunungan tinggi ini kemudian berhasil membalaskan dendam mereka kepada pihak Pangjalu saat Angrok dipertemukan dengan mereka. Salah satu sisa-sisa prajurit Janggala Manik atau Purwwa yang ditemui oleh Angrok adalah tokoh yang bernama Gagak Inget. Naskah Serat Pararaton bagian Katuturanira Ken Angrok menuturkan pertemuan mereka terjadi di Lulumbang, yang kemudian ditempat yang sama Angrok akan memesan perbekalan senjata dalam jumlah besar kepada para empu pande besi atau juru gusali pimpinan Mpu Gandring untuk menjungkirbalikkan kekuasaan Tumapel pimpinan Tunggul Ametung. Sisa-sisa pasukan Janggala Manik atau Purwwa, ditambah sisa-sisa pasukan Janggala, sebagian besar pasukan Pangjalu, pasukan pribadi didikan Angrok yang disebut sebagai Pasukan Mangrok, pasukan pimpinan Rakryan Pamotoh, kaum agamawan,, beserta para raja bawahan lain di bhumi Janggala memberikan restu dan dukungan penuh mereka kepada sang Lembu Peteng Maharaja Pangjalu yang dikalahkan oleh Prabu Sri Srengga Kertajaya (1190-1222 M) dalam pertempuran terakhirnya, yaitu mendiang Prabu Sri Kamesywara atau Prabu Panji Asmarabangun (1182-1194 M). 

DAFTAR PUSTAKA

Agus Sunyoto, Petunjuk Wisata Kabupaten Malang, Malang: Lingkaran Studi Kebudayaan Malang, 2000. 

Boechari, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012. 

Damar Shasangka, Katuturanira Ken Angrok: Sang Brahmaputra, Jakarta: Penerbit Qantara, 2019 

_______, Ken Angrok: Sang Wisnumurti, Bogor: Penerbit Manjer Wisesa, 2020

_______, Rara Anggraeni: Asmaradahana Pangjalu-Janggala, Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2016 

Suwardhono, Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok: Pendiri Wangsa Rajasa, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013 

Artikel: 

Artikel berjudul Prasasti Sukun yang diakses dari  http://ngalam.id/read/1753/prasasti-sukun/ pada hari Jumat, tanggal 17 Juli 2020, pukul 23.03 WIB 

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts