Kekaisaran Maurya: Politik Luar Negeri Masa Chandragupta Hingga Ashoka

Politik luar negeri Kekaisaran Maurya diatur oleh sebuah departemen yang disebut dutas yang dipilih dari para amatyas atau para menteri.

Oleh Nabil

Politik luar negerinya Kekaisaran Maurya diatur oleh sebuah departemen. Seseorang yang disebut dutas dipilih dari para amatyas atau para menteri berkualifikasi untuk menjalin diplomasi dengan kerajaan lain. Terdapat tiga kelas dutas sesuai kebutuhannya, yaitu Nisrishturtha (berkuasa penuh), Parimitartha (untuk misi terbatas), dan Sasana-hara (pembawa pesan) (Mookeriji, 1960, hlm. 122).

Para dutas dilambangkan sebagai dutamukhah rajanah atau penyambung lidah raja. Para dutas harus mengetahui dan paham cara bertindak di negara asing. Mereka harus sabar dan tetap tinggal sampai diperintahkan untuk kembali (vasedavisrishtah) dan tidak boleh terpengaruh dengan setiap penghormatan kepadanya (pujaya notsiktah) (Mookeriji, 1960, hlm. 122). Arthashastra, mengatur tugas-tugas seorang dutas yaitu membawa pesan raja, menjaga perjanjian (sandhipalatvan), memberi ultimatum (pratapa), membentuk aliansi (mitra-sangraha), menebar intrik (upajapa), dan menghancurkan aliansi musuh (suhrid-bheda) (Mookerij, 1960 ; Kumar, 2016).

  1. Masa Pemerintahan Chandragupta

Dalam buku India, Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan karya T.S.G Mulia, disebutkan mengenai penyerbuan  Alexander Agung ke India yang didapatkan dari tulisan Arrianos. Dalam tulisannya, ketika tiba di India, Alexander tidak menghadapi perlawanan dari negeri-negeri yang didudukinya, termasuk Taksashila yang merupakan kota terkenal. 

Namun, pada tahun 326 SM, Alexander dihadang oleh penguasa Kerajaan Paurava bernama Puru (Suwarno, 2019, hlm. 37). Perlawanan tersebut menyulitkan Alexander dan pasukannya walaupun pertempuran sendiri berakhir dengan  kemenangan Makedonia. Puru diampuni dan dijadikan sebagai wakilnya di India, sementara Alexander dan pasukannya kembali ke Yunani. Pada tahun 323 SM, Alexander Agung wafat di Babilonia dan wilayahnya terpecah-pecah (Suwarno, 2018).

Sepeninggal Alexander, wilayah kekuasaanya menjadi barang rebutan oleh para jenderalnya.  Salah satu jenderal yang berebut kekuasaan adalah Seleucous yang mewarisi wilayah di Asia Kecil dan hendak kembali menguasai India karena para gubernurnya memberontak terhadap Yunani. Di sisi lain muncul seseorang bernama Chandragupta, murid dari seorang Brahmana bernama Chanakya. Menurut salah satu sumber, sekitar tahun 326 atau 325 SM, Chandragupta sempat berusaha menemui Alexander untuk meminta bantuan menggulingkan pemerintahan Raja Nanda dari Magadha (Su’ud, 1991). Dua tahun setelah kematian Alexander, Chandragupta berhasil menggulingkan Dinasti Nanda dan menguasai Pataliputra (Suwarno, 2018). Berkuasanya Chandragupta dan kembalinya Seleucous untuk menguasai kembali India, menyebabkan pertempuran antara keduanya.

Pada tahun 305 SM, Seleucous Nicator yang mewarisi wilayah Asia Barat bekas wilayah Makedonia berusaha merebut kembali wilayah Panjab yang pernah menjadi daerah kekuasaan Yunani. Namun di wilayah tersebut sudah ada Chandragupta yang telah berkuasa di wilayah Magadha setelah menggulingkan Dinasti Nanda dan mendirikan Dinasti Maurya (Su’ud, 1992). Perang pun terjadi antara Selecous dan Chandragupta. Dalam buku Asia Selatan Sebelum Zaman Islam, disebutkan bahwa Chandragupta berhasil mengalahkan pasukan Selecous dan Selecous harus menyerahkan wilayah kekuasaannya, yaitu Kabul, Herat, Kandahar, dan Baluchistan. Sebaliknya, Chandragupta memberikan 500 ekor gajah kepada Selecous yang nantinya berguna untuk melawan para pesaing Selecous yang merupakan sesama Jenderal Alexander. Seleucous masih harus memenangkan pertempuran melawan pengganti Alexander dari Makedonia yaitu Antogonus I (Toynbee, 2014). Selain memberikan gajah, Chandragupta menikahi putri Selecous yang menjadikan hubungan antara Maurya dan Seleucid menjadi lebih erat. Kesepakatan damai ini disebut sebagai Perjanjian Indus (Kosmin, 2014). 

Baca Juga :   Dampak Kolonialisme Terhadap Dinamika Sosial Masyarakat India

Hubungan yang erat tersebut membuat kedua negara saling mengirim duta besar. Tercatat pada 302 SM, Seleucid mengirim utusannya yang bernama Megasthenes ke Pataliputra. Kehadiran Megasthenes di Pataliputra memberikan kontribusi besar bagi ilmu sejarah melalui karyanya yang berjudul Indika. Karya ini menjadi rujukan sumber mengenai sejarah India Kuno oleh para sejarawan. R.C Majumdar mengatakan bahwa dalam kajian indologi, Indika sudah sepatutnya menempati posisi tertinggi di antara sumber-sumber klasik sejarah India Kuno (Majumdar, 1958).

  1. Masa Pemerintahan Bindusara

Pada tahun 298 SM, Chandragupta wafat dan putranya yang bernama Bindusara naik menjadi raja. Walaupun raja telah berganti, nampaknya hubungan antara Maurya dan Bangsa Yunani masih terus berlanjut. Dalam buku Dinamika Sejarah Asia Selatan, Bindusara mengirim surat kepada suksesor dari Selecous, yakni Antiochos I, berisi permintaan agar dikirimkan seorang filsuf ke Pataliputra lalu datanglah Deimachos sebagai duta besar ke Pataliputra.

Selain dengan Seleucid, Maurya saat itu menjalin hubungan dengan Ptolemy Philadelphus. Pliny melalui The Natural History menulis bahwa  Ptolemy mengirim Dionysios sebagai utusan untuk Bindusara. Namun, Dr. Smith tidak yakin jika Dionysios menyerahkan surat perwakilannya pada Bindusara atau justru pada suksesornya bernama Ashoka.

  1. Masa Pemerintahan Ashoka

Pada awalnya, politik luar negeri Maurya di bawah pemerintahan Ashoka, cenderung sangat agresif. Pada tahun 261 SM Ashoka bertekad untuk menaklukan Kalingga atau Orissa yang merdeka dan berdaulat (Su’ud, 1991). Wilayah Magadha pada masa pemerintahannya membentang meliputi Afganistan, Baluchistan, Benggala, hingga batas Kerajaan Andhra.

Keputusan Ashoka untuk hijrah ke Buddha ternyata sangat berpengaruh dalam politik luar negeri. Ashoka mendeklarasikan “Kalau seratus hingga seribu orang mati terbunuh, ditawan dan kemudian mati karena kesedihan dan penderitaan dalam tawanan, itu membuat penyesalan yang dalam di hati Sri Baginda” (Raychaudhuri, 1923; Su’ud, 1991). Hal ini terjadi setelah penyerbuan terhadap Kalingga. Perang tersebut menghabiskan 250.000 jiwa dalam satu hari (Suwarno, 2018, hlm. 40).

Secara tegas, Ashoka dengan prinsipnya berjanji tidak akan mencaplok kerajaan di sekitarnya, seperti Chola, Pandya, Satiyaputra, Keralaputra, Tambapariini, dan wilayah Amtiyako Yonaraja. Alih-alih menyerang, Ashoka lebih ingin menjalin hubungan persahabatan (Raychaudhuri, 1923). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan politik luar negeri zaman Ashoka lebih mengedepankan diplomasi ketimbang perang, terutama dengan bangsa Tamil

Ashoka tidak melupakan kawan lama Maurya dengan masih meneruskan hubungan baik Maurya dengan Seleucid. Saat itu Seleucid dipimpin oleh Antochos II. Selain dengan Seleucid, Maurya juga menjalin hubungan dengan Ptolemy Philadelphos dari Mesir, Magas dari Cyrene, Antigonos Gonatas dari Makedonia, dan Alexander yang berkuasa di Epirus (Raychaudhuri, 1923).

Hubungan luar negeri seperti ini dimanfaatkan Ashoka sebagai upaya penyebaran agama Buddha ke seluruh dunia. Ashoka mengirim para misionaris ke Syria, Mesir, Makedonia, Cyrenia, Epirus, Burma, Siam, dan Sri Lanka. Misi ke Sri Lanka dapat dikatakan sebagai usaha yang paling sukses karena Raja Sindhales dan keluarganya memeluk agama Buddha (Suwarno, 2018).

Daftar Pustaka

Kosmin, Paul J. (2014). The Land of the Elephant Kings: Space, Territory, and Ideology in the Seleucid Empire. USA: Harvard University Press.

Kumar, Sanjay; Dhirendra Dwivedi; dan Mohammad Samir Hussain. (2016).

India’s Defence Diplomacy in 21st Century. New Delhi:G.B.Books

Majumdar, R. C. (1958). The Indika of Megasthenes. Journal of the American Oriental Society, 78(4), 273–. doi:10.2307/595790

Mookerji, Radha Kumud. (1960). Chandragupta Maurya and His Times. Delhi: Suudar Lai Jain.

Baca Juga :   Mahatma Gandhi Pahlawan Tanpa Kekerasan India

Mulia, T.S.G. (1959). India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Balai Pustaka.

Raychaudhur, H. C. (1923). Political History of Ancient India. Callutta: Universiry of Calcutta.

Su’ud, Abu. (1992). Asia Selatan Sebelum Zaman Islam. Semarang: IKIP Semarang Press.

Suwarno. (2018). Dinamika Sejarah Asia Selatan. Yogyakarta: Ombak.Toynbee, Arnold J. (2014). Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts