Kehidupan Etnis Tionghoa Surakarta Pasca Mei 1998

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman budaya yang melimpah karena terdiri dari berbagai suku, ras, etnis dan agama di dalamnya. Adanya  bermacam-macam etnis dan budaya melahirkan suatu nilai di tengah masyarakat yaitu toleransi. Namun pada kenyataannya masih dijumpai adanya perselisihan dan diskriminasi akibat keberagaman dan perbedaan tersebut. Salah satunya adalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang kerap dijadikan kambing hitam di setiap huru-hara hegemoni politik di Indonesia. Puncaknya terjadi pada peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang bermula di Jakarta kemudian menyebar ke kota lain salah satunya Surakarta

Oleh : Indah Ringgi Astuti

Kerusuhan Mei 1998 merupakan kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di berbagai kota pada tanggal 14-15 Mei 1998. Kerusuhan tersebut bermula dari adanya krisis finansial yang melanda Asia serta tragedi Trisakti yang menewaskan empat orang mahasiswa dalam aksi demonstrasi 12 Mei 1998 yang berujung turunnya Presiden Soeharto dari jabatannya (Salim & Ramdhon, 2020). Di dalam kerusuhan itu terjadi perusakan, penjarahan, penganiayaan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa. Kerusuhan di Surakarta memakan korban sebanyak 33 orang meninggal yang mana 14 orang ditemukan terpanggang di dalam bangunan Toserba Ratu Luwes Pasar Legi dan 19 orang lainnya terpanggang di Toko Sepatu Bata di kawasan pertokoan, Coyudan (Salim & Ramdhon, 2020).

Krisis ekonomi dan keadaan politik Indonesia yang tidak menentu saat itu menjadi faktor utama yang menyebabkan peristiwa kelam itu terjadi. Krisis ekonomi membuat rakyat miskin bertambah miskin dan yang kaya tidak peduli akan hal tersebut. Hal ini yang memantik pemberontakan rakyat yang tidak hanya ditujukan kepada rezim pemerintahan Soeharto tetapi juga kepada kelompok elit yang menguasai perekonomian (Juliandry, 2014:29).

Lalu, bagaimana kronologi peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta?

Pada 14 Mei 1998 ribuan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) melakukan demo untuk mengungkapkan rasa keprihatinan atas tewasnya Moses Gatutkaca (Mahasiswa Universitas Sanata Dharma) dan Tragedi Trisakti. Para demonstran tersebut melakukan shalat ghaib untuk mendoakan mahasiswa Trisakti yang gugur yang dilanjutkan dengan kegiatan orasi-orasi dari para demonstran. Situasi semakin emosional ketika beberapa oknum demonstran melemparkan benda ke arah aparat keamanan yang menyebabkan aparat bergerak hingga menembakkan gas air mata. Kericuhan antara demonstran dan aparat pun tidak terhindarkan.

Illustrasi Mall yang terbakar (Sumber: Tribunnews..com)

Memasuki waktu siang hari, kericuhan antara demonstran dan aparat masih belum mereda karena aksi lempar-melempar antara mahasiswa dan aparat semakin menjadi-jadi. Situasi berubah menjadi semakin anarki ketika massa yang berhasil lolos dari Kartasura bergerak menuju kota dan melakukan perusakan. Di daerah Kleco (Karangasem), Jumlah massa bertambah dengan bergabungnya puluhan lelaki muda yang bergerombol di pinggir jalan. Massa bergerak ke arah dealer mobil Timor dan melakukan pengrusakan dengan melempar batu ke showroom mobil. Bekas kantor Bank BHS Purwosari, Bank Ratu, Bank Duta serta Bank Internasional Indonesia tidak lepas dari amuk massa. Tempat-tempat yang menjadi sasaran massa selanjutnya adalah deretan perumahan dan pertokoan di Jalan Slamet Riyadi. Tempat-tempat lain seperti RM Bundo, Wartel Sriwedari, gedung pertemuan Graha Wisata Niaga, toko Sami Luwes, hingga rumah Kapolwil Surakarta di timur Loji Gandrung juga terkena dampaknya. Bersamaan dengan pergerakan massa di sekitar kawasan Surakarta, seperti di Gading, Jebres, Nusukan, Tipes, serta hampir seluruh penjuru kota Surakarta juga mengalami aksi serupa. Kerusuhan semakin meluas yang mana sebagian massa turun ke jalan dan melakukan pelemparan dan pembakaran bangunan mobil dan motor serta melakukan penjarahan.

Baca Juga :   Waljinah, Si Walang Kekek dari Surakarta dan Ratu Keroncong Indonesia

Pada tanggal 15 Mei 1998, kerusuhan masih berlanjut hingga ke tempat yang sebelumnya belum menjadi sasaran, seperti Toserba Ratu Luwes, Luwes Gading, pabrik plastik serta puluhan tempat lainnya. Kendaraan roda dua maupun roda empat yang berada di jalan-jalan kota Surakarta juga dibakar oleh massa. Pada saat itu dapat dikatakan bahwa roda pemerintahan dan ekonomi lumpuh total karena banyak pemilik toko yang memilih untuk tutup.

Aksi pembakaran dan penjarahan di Surakarta pada akhirnya mereda pada tanggal 16 Mei 1998. Aparat telah mengamankan dan menangkap sedikitnya 100 orang pelaku kerusuhan dan penjarahan yang tertangkap pada saat melakukan aksinya. Akibat dari kerusuhan tersebut, beberapa sarana prasarana umum dan tempat usaha mengalami kerusakan. Sebanyak 33 orang menjadi korban tewas yang mana 14 orang  ditemukan terpanggang di dalam bangunan Toserba Ratu Luwes Pasar Legi  dan  orang lainnya terpanggang di Toko Sepatu Bata di kawasan pertokoan, Coyudan. Korban tewas dimakamkan secara massal di Astana Purwoloyo, Sekarpace. Di lain sisi, akibat banyaknya toko, swalayan, dan tempat dirusak massa mengakibatkan sekitar 50.000 hingga 70.000 tenaga kerja Surakarta menganggur (Santoso, Ratnasari, & Iriyanti, 2021).

Bagaimana dampak Kerusuhan Mei 1999 terhadap Kehidupan Masyarakat Etnis Cina di Surakarta?

Kerusuhan yang terjadi di Surakarta pada tanggal 14-15 Mei 1998 berdampak besar di dalam kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di Surakarta. Sektor ekonomi menjadi salah satu bidang yang paling terdampak akibat kerusuhan tersebut. Perusakan dan penjarahan terhadap pusat perdagangan menyebabkan kelangkaan barang dan naiknya harga kebutuhan pokok (Putro, Atmaja, & Sodiq, 2017). Diperkirakan kerugian finansial mencapai sekitar empat setengah milyar lebih (Rp 457.534.945.000). Korban tewas dalam peristiwa tersebut sebanyak 31 orang dan 16.000 orang kehilangan pekerjaan (Mulyadi dan Sudarmono, 1999). 

Dampak psikologis juga dialami oleh para korban yang mengalami peristiwa kerusuhan tersebut. Trauma akan bangunan yang dirusak, barang-barang dijarah dan dibakar, serta tindak kekerasan yang dilakukan oleh perusuh masih membekas dalam ingatan mereka. Tidak hanya masyarakat etnis Tionghoa, masyarakat lokal juga mengalami nasib yang sama meskipun tidak separah masyarakat etnis Tionghoa (Santoso, Ratnasari, & Iriyanti, 2021).

Sering kita lihat rumah orang-orang keturunan Tionghoa memiliki pagar tembok yang tinggi-tinggi dan banyak dipasangi teralis besi di rumahnya. Masyarakat yang tidak mengetahui alasannya akan beranggapan bahwa orang-orang Tionghoa itu cenderung tertutup dan tidak mau berbaur dengan masyarakat sekitar dan dianggap gold digger atau hanya mencari keuntungan semata. Namun pada kenyataannya, masyarakat keturunan Tionghoa ini masih merasa trauma dan takut kejadian Mei 1998 terulang kembali. Menurut pengamatan Sosiolog, rumah berteralis besi ini dianggap sebagai bentuk manifestasi mencari rasa aman. Mereka membangun rumah dengan pagar tembok yang tinggi dan pemasangan teralis yang masif di sekitar rumah dan toko bertujuan untuk melindungi diri dari ancaman dari luar. Meskipun sampai sekarang belum ada peristiwa yang serupa dengan Kerusuhan Mei 1998, tetapi diskriminasi dan sentimen terhadap orang-orang keturunan Tionghoa masih mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia (Tan, 2021).

Dari segi sosial, dampak yang ditimbulkan pasca kerusuhan Mei 1998  yaitu adanya migrasi masyarakat ke daerah lain yang jauh dari konflik. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan sisi keselamatan korban yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia (Tan, 2021). Menurut jurnal yang berjudul Konflik Rasial antara Etnis Tionghoa dengan Pribumi Jawa di Surakarta tahun 1972-1998,  disebutkan bahwa transportasi di Kota Surakarta saat itu mengalami lumpuh total, serta meninggalkan trauma yang melanda warga Surakarta, dikutip dari harian Jawa Pos yang terbit 18 Mei 1998. Kendaraan bermesin hampir tidak ada yang berlalu-lalang di jalan-jalan utama, kecuali konvoi sepeda motor para demonstran dan aparat keamanan (Jawa pos, 16 Mei 1998). Bus-bus dari arah Jawa Timur tidak berani masuk ke daerah Jawa Tengah dan terhenti di daerah Ngawi. Petugas memberikan informasi terkait situasi di Surakarta, sehingga penumpang yang hendak menuju kota Surakarta memilih putar arah kembali. Begitu juga yang dari arah Semarang dan Yogyakarta, tidak ada satupun kendaraan umum yang berani masuk (Putro, Atmaja, & Sodiq, 2017).

Baca Juga :   Jejak Kehidupan, Pemikiran, dan Kontribusi Lafran Pane

DAFTAR PUSTAKA

Putro, Y. A., Atmaja, H. T., & Sodiq, I. (2017). Konflik Rasial antara Etnis Tionghoa dengan Pribumi Jawa di Surakarta tahun 1972-1998. Journal of Indonesian History, 66-74.

Salim, L., & Ramdhon, A. (2020). Dinamika Konflik Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta melalui Perspektif Korban. Journal Development and Social Change, 3, 58-71.

Santoso, A., Ratnasari, S. D., & Iriyanti, S. (2021). Kerusuhan Mei 1998 Terhadap Perekonomian Masyarakat Etnis Tionghoa di Surakarta. Repositori STKIP PGRI Pacitan.

Tan, H. (2021, Mei 10). Dipetik Desember 5, 2021, dari Tionghoa Info: https://www.tionghoa.info/kehidupan-masyarakat-tionghoa-setelah-kerusuhan-mei-1998-hidup-dibalik-rumah-berterali-besi/

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts