Kebangkitan Komunisme Pasca Pemberontakan 1948

Setelah gagalnya pemberontakan Madiun yang dimotori oleh Musso dan Amir Syarifuddin, kekuatan Partai Komunis dihancurkan oleh militer yang berpihak pada Republik Indonesia. Musso dicurigai ingin membuat negara Komunis yang berkiblat pada Uni Soviet, Soekarno lewat siaran radio mengultimatum “Pilih Soekarno-Hatta atau PKI-Musso!” Musso kemudian membalas pesan dari Soekarno “Pilih Musso!”. Sudah pasti rakyat dan militer berpihak pada dwitunggal  karena sosok Soekarno-Hatta lebih dikenal oleh rakyat ketimbang sosok asing Musso yang banyak menghabiskan waktunya di negeri komunis Uni Soviet. Meskipun dihancurkan, belum ada pelarangan secara resmi mengenai ideologi komunisme. PKI mengalami kebangkitan di bawah pimpinan D.N Aidit yang saat pemberontakan terjadi berhasil melarikan diri ke China dan berhasil kembali ke Indonesia di pertengahan 1950-an. Fokus utama dari tulisan ini adalah cara Partai Komunis Indonesia dapat kembali memasuki panggung politik dan berkembang dengan pesat setelah melakukan pemberontakan Madiun yang disebut sebagai “Tikaman dari belakang kaum komunis kepada Republik di kala negara sedang gencar menghadapi agresi militer Belanda”. 

Oleh Jatmika Aji

Untuk menjawab masalah tersebut, setidaknya ada beberapa alasan mengapa hal tersebut dapat terjadi. Dalam buku Indonesian Communism Under Sukarno, Rex Mortiner menguraikan penyebab PKI berhasil memperoleh massa yang banyak. Pertama, Ideologi dan programnya menyasar kelompok kelas menengah ke bawah di wilayah pedalaman yang mengharapkan munculnya ratu adil untuk membebaskan mereka dari penderitaan. Hal ini diwujudkan dengan mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada petani. Banyak petani wajib membayar sewa dengan cara bekerja di lahan para tuan tanah, sehingga petani harus bekerja paksa seperti di zaman kolonial. Kaum feodal menguasai tanah yang begitu luas dengan harga sewa dan bunga yang tinggi, PKI mencanangkan program penurunan harga sewa tanah, suku bunga dan pajak, menghilangkan sistem kerja paksa menggarap lahan tuan tanah dan pejabat sebagai cicilan utang dan ribanya, memberikan lahan nganggur kepada petani. Kedua, strategi fleksibel yang dijalankan di bawah pimpinan D.N Aidit, partai meninggalkan peran perjuangan kelas, mengurangi kekerasan dan sifat “militan”  komunis. Anggota PKI membangun jembatan, sekolah, rumah, bendungan, kamar mandi umum, saluran air dan jalan. Mereka juga membasmi hama dan mengadakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf, mengorganisasi kelompok olahraga dan musik desa, serta memberikan bantuan kepada warga desa di masa sulit. Setelah apa yang dilakukan kelompok Komunis ini, mereka seperti berpindah haluan menjadi partai yang lunak dan tidak menganut kekerasan. Itulah penyebab banyak orang bergabung dengan partai komunis. Ketiga, PKI memanfaatkan perpecahan antara elit partai dominan (PSI & Masyumi) dan bersekutu dengan pihak nasionalis PNI meskipun sebagai bawahan. Soekarno dan PNI menginginkan kerja sama dengan PKI untuk melawan imperialis dan menundukkan lawan politik (Masyumi). Di masa demokrasi terpimpin, Soekarno menggunakan PKI sebagai saingan Angkatan Darat dan PKI berlindung di balik Soekarno dari Angkatan Darat. 

Karena tiga hal ini, anggota Partai Komunis berkembang secara signifikan, di tahun 1952, PKI yang semula beranggotakan 7000 orang bertambah dengan pesat menjadi 1,5 juta di tahun 1959  terdiri dari buruh, petani, kaum muda, dan perempuan. Keterangan lain diungkapkan Bung Hatta sebagai perdana Menteri mengapa PKI dapat bangkit. Setelah penumpasan PKI Madiun lalu dieksekusi matinya Amir Syarifuddin dan Muso, muncul PKI  baru dengan D.N Aidit yang menyingkirkan tokoh-tokoh tua seperti Alimin. Pada saat itu, Perdana Menteri Agung Tirtawinata S.H. hendak menuntut perkara Madiun, tetapi dicegah oleh Dr. Halim sebagai perdana Menteri Negara bagian RI dengan mengatakan peristiwa itu adalah urusan Republik Indonesia, bukan urusan Republik Indonesia Serikat. Karena hal ini penuntutan terhadap komunis dibatalkan dan berakibat pada mudahnya PKI memperbesar diri dan pengaruhnya kembali di bawah pimpinan D.N Aidit. 

Baca Juga :   Buruh di Perkebunan Sumatera Timur

Bung Hatta kemudian memberikan komentar tentang betapa lihainya D.N Aidit memecah hubungan antara Soekarno dan Hatta agar dapat mendekati Soekarno. Bung Hatta memang tidak kompromi dengan komunis sedangkan Soekarno lebih lunak karena dia percaya jika komunis di Indonesia tidak sama dengan komunis di negara lainnya. Menurut Bung Hatta, Aidit sendiri tidaklah menyukai Soekarno dan bahkan membencinya. Menurut cerita yang beliau tuturkan. Dulu waktu di Putera zaman Jepang, kami (Saya dan Bung Karno) berkantor di jalan Theresia, di tempat sekolah Katolik sekarang. Saat Bung Karno masuk ke dalam ruangan setiap orang pasti berdiri dan memberikan salam kecuali Aidit. Sikapnya ini membuat bung Karno marah. Dia lalu menegur Aidit  dengan kalimat ‘kenapa kau tidak berdiri?’ Aidit menjawab “Biasanya orang yang datang dan baru masuk memberi salam, baru kami berdiri. Ini Bung masuk tanpa memberi salam. Lihat Bung Hatta, kalau dia masuk, seperti biasanya orang Islam, Ia memberi salam, baru kami berdiri membalasnya. Ini, Bung minta kami berdiri. Ini sistem Jepang. Kami tidak biasa demikian.’ mendengar jawaban tersebut terlihat raut muka marah dari Bung Karno. Melihat situasi tersebut Bung Hatta memutuskan untuk menjauhkan Aidit dari Sukarno dengan memindahkan kantor dia bertugas ke Semarang yang memungkinkan Aidit untuk berkenalan dengan ideologi komunis. Lalu mengapa Bung Karno seperti akrab kembali dengan Aidit? Bung Hatta menjawab karena Bung Karno itu suka dipuji dan lemah terhadap pujian. Pernah dalam suatu catatan dengan Aidit, Solihin mencatat ucapan Aidit yang mengatakan ‘Saya tidak mudah kagum sama orang, siapapun dia. Tetapi terhadap Bung Karno betul-betul saya kagum.’ Karena pujian yang terus diberikan, Aidit dan Soekarno semakin dekat dan berhasil memecah Soekarno dan Hatta, celah ini dimanfaatkan PKI untuk muncul dan memperluas pengaruh  komunis di Indonesia.

Terakhir, penulis berasumsi jika Marxisme merupakan salah satu gagasan yang sudah dikenal Bung Karno semenjak tahun 1926. Marxisme diperkenalkan sebagai salah satu dari tiga aliran ideologi yang menentang kolonialisme. Pemikirannya dimuat di majalah Indonesia Muda berjudul Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Ketiga aliran pemikiran ini diharapkan menjadi roh persatuan menuju Indonesia Merdeka. Menurut pandangan beliau, Nasionalisme adalah pandangan yang dapat mengarahkan pemikiran yang berbeda ke dalam satu arus, isi nasionalisme dalam Islam dan Marxis yang memungkinkan persatuan itu. Islam sebagai agama yang mementingkan kaum tertindas, maka orang yang beragama Islam haruslah nasionalis. Marxis yang memperjuangkan kaum terpinggirkan, haruslah nasionalis dan berjuang melawan kapitalis dan imperialis penjajah. Pikiran Bung Karno menengahi kaum Islam dan komunis yang tidak ingin bekerja sama padahal memiliki kepentingan yang sama yaitu mengusir penjajah dan mencapai Indonesia merdeka. Kecerdasan beliau dalam mencampur aduk tiga arus pemikiran yang bertentangan menunjukkan ciri khas kejawaannya, mencari kesatuan dalam unsur-unsur yang bertentangan. Pola dasar pemikiran ini berusaha untuk mencari keserasian di dalam dirinya sendiri dengan begitu akan mencapai harmoni yang selaras dengan gerak kosmik. “Mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya disebut nasionalisme, mau disebut Islam, dia mengeluarkan paham yang tidak sesuai dengan kebanyakan orang Islam, mau disebut marxis tapi dia sembahyang, mau disebut bukan marxis dia gila kepada marxis itu. Saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap Marxis. Sintese dari tiga hal inilah memenuhi saya punya dada, satu sintesa yang menurut anggapan saya sendiri adalah satu sintesa yang geweldige” Dalam Tulisan Soekarno oleh Soekarno sendiri. 

Baca Juga :   Dinamika Eksistensi Minuman Keras di Indonesia

Mengingat Marxisme adalah salah satu arus dari tiga pikiran yang digagasnya, bukan tidak mungkin menurut penulis Soekarno membiarkan komunis memasuki kembali panggung politik pasca Madiun affair, karena jika Bung Karno melarang paham Marxis dan komunis itu sama seperti dia membatalkan gagasan yang sudah diusungnya di masa pergerakan.

Dari paparan di atas dapat kita simpulkan kembalinya komunis ada tiga alasan. Pertama karena gerak partai yang dinamis, program partai yang berpihak pada rakyat kecil, beraliansi dengan front nasionalis meskipun subordinasi. Kedua, gagalnya penuntutan peristiwa Madiun di pengadilan dan terpecahnya Sukarno dan Hatta yang memudahkan Aidit dekat dengan Sukarno lalu memanfaatkan kedekatannya untuk menyebarluaskan paham komunisme kembali di Indonesia. Ketiga, Marxisme merupakan salah satu dari tiga ide yang digagas Soekarno jauh sebelum Indonesia merdeka, pembatalan terhadap komunis berarti menghapus pemikiran yang sudah beliau hasilkan di masa pergerakan.

Referensi

1. Rex Mortimer, Indonesia communism under Sukarno : ideologi dan politik, 1959-1965 (Jakarta : Equinox Publishing, 2006)

2. M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008)

3. Onghokham, Rakyat dan Negara (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1991)

4. Gunung Agung, Bung Hatta Menjawab Wawancara Dr. Mohammad Hatta dengan Dr. Z. Yasni (Jakarta Gunung Agung 2002)

5. John D. Legge, Soekarno : sebuah biografi politik (Jakarta : Sinar Harapan, 1985)

6. Aristides Katoppo, 80 tahun Bung Karno (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994)

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts