Kampung Perkotaan, Toponimi dan Etnisitas di Surabaya Pada Akhir Era Kolonial Hindia Belanda

Kampung adalah sebuah wilayah yang berfungsi sebagai tempat permukiman. Istilah kampung merujuk kepada permukiman yang ditinggali oleh bumiputera atau etnis lain di luar orang Eropa seperti Tionghoa, Arab, India, Melayu dan sebagainya. Etnis-etnis ini seringkali disebut sebagai kelompok Timur Asing (Vreemde Oosterlingen).

Oleh Muhammad Rizky Pradana

Sedangkan bumiputera atau pribumi disebut sebagai inlander dan inheemschen. Inlander dan inheemschen sendiri memiliki arti yang kurang lebih sama, yaitu penduduk asli. Namun, kesan yang ditimbulkan dari kata tersebut bersifat merendahkan. Penyebutan ini pun tidak merujuk secara spesifik suku di Nusantara. Melainkan suku-suku asli yang menempati Nusantara secara keseluruhan.

Kampung-kampung ini biasanya dihuni oleh etnis-etnis tertentu. Etnis Tionghoa bertempat di Kampung Tionghoa biasanya disebut sebagai Kampung Cina atau Pecinan (Chinese Kamp), Etnis Arab bertempat di Kampung Arab (Arabische Kamp), Etnis Melayu di Kampung Melayu (Malaise Kamp) dan seterusnya. Kampung-kampung ini membawa identitas etnis tertentu karena dalam kawasan tersebut menggerombol rumah-rumah dari etnis tertentu.

Pusat kampung Tionghoa (Cantian). (Sumber: Faber, Godfried Hariowald von. Nieuw Soerabaia: De Geschiedenis van Indies Voornaamste Koopstad in de Eerste Kwarteeuw Sederthare Instelling 1906-1931. Foto: Koopmans).

Karena berada di wilayah perkotaan tentu saja kampung-kampung tersebut akan mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pemerintah kota. Kondisi dari kampung tersebut sudah tidak lagi mirip dengan permukiman serupa di pedesaan. Hingga kemudian muncul dan digunakan istilah kampung perkotaan untuk mengidentifikasi kampung yang berada di daerah kota. Hal ini karena adanya perbedaan sifat dari kampung pedesaan dan kampung perkotaan.

Kampung-kampung tersebut memiliki ciri terpusat dan terdapat batas-batas dimana akses untuk keluar-masuk wilayah tersebut dalam hal ini migrasi cukup sulit. Berbeda dengan kelompok Timur Asing, penduduk bumiputra tidak memiliki ciri terpusat. Mereka bergerombol dalam satu kawasan khusus dan terpencar-pencar. Hal ini disebabkan mereka bertempat tinggal sesuai dengan pekerjaan.

Hal ini kemudian memunculkan julukan kepada kampung-kampung yang dihuni oleh bumiputera. Kampung Pecantian identik dengan kerajinan arloji, Kawatan identik dengan pengrajin tembaga, Pabean identik dengan pengrajin kuningan, Songoyudan identik dengan pengolahan kulit, Donorejo identik dengan pembuatan kereta kuda, Kramat Gantung identik dengan pembuatan pelana, Pesapen identik dengan pengrajin mebel, Bubutan dan Maspati identik dengan tukang bubut, gading dan tanduk, Kampung Baru identik dengan pengrajin batik, Ampel identik dengan penjahit pakaian, Bandaran identik dengan tambangan dan masih banyak lagi.

Sebuah kampung di Surabaya. (Sumber: KITLV 1404411.)

Toponimi kampung yang ada di Surabaya bukan hanya berkutat dari kondisi atau posisi. Pekerjaan yang khas di suatu kampung kemudian menjadi nama dari kampung itu sendiri. Toponimi yang demikian bisa kita jumpai pada banyak kampung. Sebenarnya juga bisa ditemui di hampir banyak tempat bukan hanya di Surabaya. Contohnya seperti nama Kampung Bubutan yang diambil dari mesin bubut dan Kampung Jagalan yang berasal dari kata jagal untuk pemotongan hewan.

Selain industri skala kecil. Kesukuan atau etnisitas juga memainkan perannya dalam dinamika sejarah kampung perkotaan di Surabaya. Mau diakui atau tidak, etnisitas memiliki peran yang cukup signifikan dalam membentuk pola permukiman dan ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana kampung-kampung dengan etnis tertentu berindustri dan bermukim.

Kampung Peneleh dilihat dari sisi seberang kali. (Sumber: KITLV 120233.)

Kelompok Timur Asing yang cenderung terpusat dalam bermukim memiliki kecenderungan untuk bermain industri yang lebih sedikit dibandingkan bumiputera. Meskipun secara privilese dan stratifikasi sosial memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada bumiputera. Karena bumiputera lebih dapat mengadaptasi diri dengan kebutuhan dan lingkungan sekitar yang disebabkan oleh pola bermukim yang cenderung bebas.

Baca Juga :   Masuknya Kebudayaan India ke Nusantara

Hubungan antar etnis di tempat-tempat umum tidak begitu kentara menunjukkan stratifikasi. Malah cenderung tidak ada. Namun, di beberapa tempat tertentu terdapat pembatasan-pembatasan yang bisa dikatakan cenderung rasial. Salah satu contohnya adalah pembatasan bumiputera di Simpangsche Sociteit dan pembagian kelas pada kereta dan trem.

Atas perlakuan diskriminatif tersebut. Berbagai etnis yang dianggap sebagai subordinat orang-orang Eropa bergabung dan bereaksi atas diskriminasi tersebut. Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) yang terdiri atas berbagai etnis mulai dari Arab, Tionghoa, Jawa, orang Sumatra dan Maluku.

Kota yang diibaratkan oleh banyak pakar sebagai panci peleburan memang tidaklah salah. Kota yang menjadi tempat berbagai macam kepentingan, motif, etnis dan hal-hal lain baik yang tersingkap maupun tersembunyi seakan bercampur menjadi satu. Sifatnya masih bisa kita cermati namun semakin lama akan semakin melebur satu sama lain menjadi satu.

Meskipun kampung perkotaan di Surabaya terpisah karena faktor jenis industri, skala industri hingga etnis. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bersatunya komponen-komponen paling penting dari sebuah kampung untuk berkoalisi. Koalisi tersebut tidak lain tidak bukan adalah reaksi atas diskriminasi yang menimpa mereka. Meskipun dalam perjalannya hubungan antar etnis di Kota Surabaya tidak melulu buruk dan tidak selalu baik.

Daftar Pustaka

Basundoro, Purnawan. “Dari Kampung Desa ke Kampung Kota: Perubahan Ekologi Kota Surabaya dalam Perspektif Permukiman Pada Masa Kolonial.” Jantra: Jurnal Sejarah dan Budaya 5, no. 10 (2010): 845–61.

———. “Penduduk dan Hubungan Antaretnis di Kota Surabaya Pada Masa Kolonial.” Paramita: Historical Studies Journal 22, no. 1 (2012): 1–130. doi:10.15294/paramita.v22i1.1839.

Coté, Joost, Michelle Kooy, Karen Bakker, Lea Jellinek, Azas Tigor Nainggolan, Freek Colombijn, Robbie Pieters, et al. Kampung Perkotaan Indonesia: Kajian Historis-Antropologis atas Kesenjangan Sosial dan Ruang Kota. Diedit oleh Johny A Khusyairi dan La Ode Rabani. Yogyakarta: New Elmatera, 2011.

Couveé, M. M. De Tramwegen op Java: Gedenkboek Samengesteld ter Gelenheid van het Vijf en Twintig-jarig Bestaan der Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij. ’S-Gravenhage: F.J. Belinfante v.h. A.D. Schinkel, 1907.

Faber, Godfried Hariowald von. Oud Soerabaia: De Geschiedenis van Indies Eerste Koopstad van de Oudste Tijden tot de Instelling van den Gemeenteraad (1906). Soerabaia: Gemeente Soerabaia, 1931.

Ismail, M. Masykur. Sejarah Kereta Api di Madura 1896-1929. Diedit oleh Diki Febrianto. Surabaya: Pustaka Indis, 2020.

Samidi. “Surabaya sebagai Kota Kolonial Modern pada Akhir Abad ke-19: Industri, Transportasi, Permukiman, dan Kemajemukan Masyarakat” 17, no. 1 (2017): 157–80.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts