Jejak Penyebaran Dakwah Sunan Sendang Duwur di Pesisir Desa Paciran Lamongan

Lamongan telah menjadi salah satu wilayah yang berhasil dikuasai oleh Majapahit sejak abad ke-14. Hal inilah yang menjadi faktor-faktor kontribusi agama Hindu dan Budha yang sangat kuat di wilayah Lamongan, khususnya di daerah pedesaan. Adanya perang saudara semenjak  perang Paregreg tahun 1401-1409 membuat sistem Kerajaan Majapahit mulai melemah sampai Majapahit dikalahkan oleh Girindrawardhana dari Kediri pada tahun 1478 M. Hal ini memberikan motivasi bagi kemajuan agama Islam di wilayah Lamongan. Selain itu, munculnya pengembangan rute-rute pelayaran dan perdagangan pada awal abad Masehi  yang menjadi faktor penting kedatangan pedagang Arab ke Nusantara melalui jalur laut. 

Oleh Maitsun Al Azzah

Kedatangan pedagang dari Timur Tengah membawa pengaruh dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, yang sangat memungkinkan budaya akulturasi. Penyebaran agama Islam dilakukan melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, pendidikan, dan Islamisasi kultural melalui banyak strategi yang dilakukan sehingga Islam dapat diterima dengan mudah jika dibandingkan dengan agama lain. Penyebaran agama Islam di Lamongan tidak terlihat dari peranan para ulama dan pedagang. Pada mulanya ulama penyebar agama Islam disebut oleh masyarakat umum dengan sebutan Waliyullah yang berarti orang-orang yang mempunyai ketaqwaan yang kuat kepada Allah. Sunan Sendang Duwur adalah seorang Waliyullah yang memiliki semangat untuk mengajarkan agama Islam di Jawa. Sunan Sendang Duwur atau  juga dikenal dengan Raden Noer Rahmat adalah seorang karismatik yang mempunyai keturunan dari Bagdad dan Jawa Timur. Sunan Sendang Duwur merupakan murid Sunan Drajat yang merupakan sosok penebar kedamaian di Bukit Amitunon yang beriman dan berkomitmen untuk menyebar agama Islam di Lamongan (Mandala, 2023)

Sunan Sendang Duwur mempunyai karakter yang bersahabat, ramah, dan familiar dengan alam dan tradisi masyarakat sekitarnya. Ayahnya bernama Syeh Abdul Qahar bin Abdul Malik merupakan seorang alim ulama dari Negeri Baghdad dan ibunya bernama Dewi Sukarsih putri dari Tumenggeng Sidayu Gresik. Nama asli Sunan Sendang Duwur adalah Raden Noer Rahmat yang merupakan seorang pemuda yang taat beribadah kepada Allah. Beliau juga patuh dan mendengarkan ibunya. Setiap hari Raden Noer Rahmat melakukan pekerjaan di bidang pertanian, berkebun, dan beternak. Beliau juga dikenal sebagai pemuda yang ramah dan sopan, sehingga orang sangat ramah dan suka berkomunikasi dengannya.

Sunan Sendang Duwur berdakwah menyebarkan Islam di Pulau Jawa melalui pendekatan persuasif kepada masyarakat dengan berinteraksi secara bijak, menyesuaikan dengan tradisi masyarakat setempat, dan menyerap tradisi yang ada dengan nilai-nilai Islam. Melalui keahlian dan keterampilannya di bidang pertanian, Sunan Sendang Duwur menampilkan Islam sebagai ajaran rahmatan lil-alamin, cinta damai, penuh kasih sayang dan tidak memaksa (Rohmawati & Meiludin, 2020). Beliau berdakwah konstruktif tanpa kekerasan, mengajak kebaikan, menumbuhkan nilai-nilai Islam sesuai tradisi sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, Islam dengan mudah diterima tanpa menimbulkan gejolak atau kekacauan.

Sunan Sendang Duwur juga berdakwah dengan pendekatan budaya yang memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat setempat dan menerapkan nilai-nilai tersebut sebagai sarana dakwah. Tidak hanya itu saja, Sunan Sendang Duwur juga mendakwahkan tradisi orang-orang yang menyukai dan  menganggap selamatan/kendurian sebagai ungkapan doa dan rasa syukur kepada Yang Maha Pencipta  dan  menjalin hubungan persaudaraan antar anak Masyarakat. Hingga saat ini, salah satu  ajaran Sunan Sendang  Duwur yang masih  relevan dan dilestarikan adalah “mlakuho dalan yang benar, ilingo wong kang sak burimu” (ambil jalan yang benar dan ingat orang di belakangmu). Ajaran sunan Sendang Duwur ini menyemangati seseorang untuk tetap berada di jalan yang benar dan jika  mendapat kegembiraan,  jangan  lupa bersedekah (Suyatno & Ayundasari, 2021).

Baca Juga :   Sistem Tanam Paksa 1830

Banyak sekali bentuk peninggalan Sunan Sendang Duwur yang menjadi jejak penyebaran dakwahnya. Peninggalan Sunan Sendang menjadi bukti bahwa Raden Noer Rochmat  pernah tinggal di sana dan mempunyai peranan yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat desa Sendang Duwur dalam menyebarkan ajaran Islam pada masa itu. Situs Peninggalan Sunan Sendang Duwur khususnya berupa bangunan kompleks arkeologi Sunan Sendang Duwur  yang merupakan hasil pertemuan antara unsur agama Indonesia, Hindu-Budha, dan Islam khususnya pada bangunan pemakaman.

Kompleks Sendang Duwur merupakan salah satu reruntuhan masa peralihan antara kebudayaan primitif Indonesia, kebudayaan Hindu dan Islam, serta merupakan salah satu dari bentuk warisan budaya masa awal Islam hingga Jawa. Beberapa peninggalan bangunan yang ditemukan di komplek pemakaman Sunan Sendang Duwur  mencontoh masa peralihan tahun ketika proses penerimaan Islam sebagai budaya baru yang dianut oleh masyarakat setempat dan diterima dengan cepat dan mudah berkat kemampuan Sunan Sendang Duwur.

Berikut merupakan peninggalan-peninggalan dari Sunan Sendang Duwur, yaitu:

  1. Masjid Sendang Duwur

Masjid Sunan Sendang Duwur 

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Masjid dapat dipahami sebagai tempat salat, sujud, bersuci, tayamum, dan tempat berlangsungnya berbagai aktivitas umat Islam yang berkaitan dengan ketaatan kepada Tuhan. Masjid Sunan Sendang terletak di Bukit Amitunon di Desa Sendang Duwur Paciran. Masjid ini merupakan salah satu dari masjid sejak tahun 1561 M dan menjadi saksi dakwah budaya seorang waliyulloh.

Masjid ini juga merupakan bangunan kuno yang memamerkan wujud akulturasi budaya Hindu dan Islam dengan bentuk atap masjid ini menyerupai teras bertingkat. Masjid Sendang Duwur mempunyai atap tumpang tiga lapis. Hal ini juga ditemukan pada relief Candi Jago, Candi Jawi, Candi Surawana, dan Candi Panataran. Penduduk setempat menyebut barang antik yang ditemukan di desanya sebagai “Masjid  Sendang Duwur  atau Makam Sunan Sendang”.

Masjid Sendang Duwur tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai tempat penciptaan ruang budaya dan pelestarian tradisi keagamaan, serta sarana penanaman budaya Islam. Masjid ini disebut juga Masjid Tiban, karena keberadaan muncul secara tiba-tiba tanpa banyak orang menyadarinya.

  1. Kompleks Makam Sunan Sendang Duwur (Raden Noer Rochmat)

 Makam Sunan Sendang Duwur/Raden Noer Rochmat 

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Kompleks makam Sunan Sendang Duwur terletak di Desa Sendang Duwur, sebelah selatan Kecamatan Paciran, kabupaten Lamongan. Dilihat dari depan tidak terlihat seperti makam melainkan lebih mirip candi karena pintu masuknya berbentuk Gapura Bentar. Kebudayaan yang terdapat pada makam Raden Noer Rochmat berupa nisan kubur. Kompleks Pesarean Sunan Sendang Duwur mempunyai estetika tersendiri dibandingkan dengan Kompleks pesarean sunan-sunan yang bernuansa Hindu lainnya. Kemudian, bangunan di sekitar makam merupakan candi dengan topografi yang sangat indah dilengkapi dengan pintu gerbang candi sekaligus dan paduraksa sebagai pembatas setiap pelatarannya.

Gambar 3. Gapura Bentar 

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gapura Bentar merupakan gapura yang tidak beratap atau atapnya yang tidak menyambung sehingga sisi kanan dan kiri gapura dipisahkan dan menyambung hanya  pada bagian bawah, tepatnya pada tingkat anak tangga. Di atas terdapat sayap kanan, sayap kiri serta ornamen flora dan fauna yang tidak tergambar jelas. Terdapat empat Gapura Bentar di kompleks pemakaman Sunan Sendang Duwur, yaitu Pintu pertama menghadap ke Timur, kemudian ada pintu yang menghadap ke Utara dan berdekatan dengan dinding masjid, pintu selanjutnya adalah pintu di depan cungkup makam dan pintu terakhir menghadap ke Selatan (terletak di sisi Selatan dinding masjid).

Baca Juga :   Pariwisata di Bali; Awal Mula Gambaran Eksotisme Tercipta

Gapura Paduraksa

Sumber : Dokumetasi Pribadi

Terdapat tiga buah gapura Paduraksa di kompleks pemakaman Sunan Sendang Duwur yang terletak pada bagian dalamnya. Gapura Paduraksa pertama berada di belakang Gapura Bentar pertama, kemudian gapura kedua berada di sebelahnya dan menghadap ke selatan. Gapura Paduraksa ketiga terletak di bagian belakang sebelum memasuki kawasan makam Sunan Sendang Duwur.

Gerbang Paduraksa biasanya dibangun di pintu masuk suatu kawasan yang dianggap suci/sakral. Pada pintu bagian dalam terdapat Kala (mata muka) yang melambangkan kepala di bagian atas dan patung kepala antelop di bagian bawah yang melambangkan penghormatan kepada pahlawan atau orang-orang besar yang telah berjasa. Kalamerga sangat populer pada zaman Islam. Di atas gapuranya terdapat gambar gunung, karena letak komplek berada di dataran tinggi atau pegunungan. Di sebelah Sayap kiri melambangkan pembebasan (jiwa adalah terbebas dari badannya). Terdapat juga ukiran Naga di sisi kanan dan kiri gapura yang melambangkan kehidupan naga menggambarkan manusia yang penuh nafsu, mempunyai tiang tunggal di sebelah kanan dan kiri. Selain itu ada motif kepala kijang, ular, naga, terdapat juga motif singa bersayap yang melambangkan matahari yang menjadi pusat perlindungan, kekuasaan, dan perlindungan dari pengaruh roh jahat. Desain kepala dan hewan di atas juga memiliki desain natural seperti sulur-saluran yang sangat rumit namun lentur, indah dan serasi satu sama lain untuk menghiasi dan mempercantik gapura, disusul dengan motif karang bintulu menyerupai hiasan bunga dan daun dipadukan dengan ornamen unik berbentuk mata sebagai simbol konsentrasi pikiran.

 Keunikan yang terdapat di kompleks makam Sunan Sendang Duwur mempunyai daya tarik tersendiri sehingga sampai saat ini banyak wisatawan yang tidak hanya datang berziarah namun juga sekaligus mencatat keunikan dan kenikmatan di hadapan megahnya pemandangan alam di kompleks bangunan makam Raden Noer Rochmat atau Sunan Sendang Duwur (Kristina et al., 2023).

Kompleks Makam Sunan Sendang Duwur 

Sumber : Dokumentasi Pribadi

  1. Sumur Giling dan Guci

 Sumur Giling 

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Sumur ini dibangun oleh Raden Noer Rochmat untuk mengairi sawah dan menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitar yang terkena dampak kekeringan. Sumur ini diberi nama Sumur Penggilingan karena terdapat sepotong kayu berukuran besar yang dapat digiling atau ditarik untuk dijadikan alas ketika ingin menimba. Sumur ini memiliki air yang sangat jernih dan siapa pun yang meminumnya akan merasa segar.

Lalu ada peninggalan berupa guci. Terdapat tiga buah guci besar yang masih digunakan untuk tempat air minum hingga saat ini. Dulunya air dari guci ini digunakan untuk berwudhu para jamaah di masjid, tetapi kini diubah menjadi air minum untuk jamaah makam Sunan Sendang.

Guci 

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Referensi

Kristina, B., Srijaya, I. W., & Zuraindah. (2023). Estetika Ornamen Makam di Kompleks Makam Sendang Duwur, Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur: Kajian Variasi, Fungsi dan Makna. Ulil Albab: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 2(10).

Mandala, E. (2023, April 14). Akulturasi Kebudayaan Situs Sendang Duwur Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Pinhome. Retrieved December 28, 2023, from https://lifestyle.pinhome.id/blog/akulturasi-kebudayaan-situs-sendang-duwur-kecamanatan-paciran-kabupaten-lamongan/

Rohmawati, N., & Meiludin, M. (2020). Aspek Semiotik dan Nilai Budaya pada Situs Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur di Kabupaten Lamongan. Klitika: Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2(2), 1-14.

Suyatno, A. F., & Ayundasari, L. (2021). Sunan Sendang Duwur: Jejak penyebaran Agama Islam di pesisir Kabupaten Lamongan. Jurnal Integrasi dan Harmoni Inovatif Ilmu-Ilmu Sosial, 1(6).

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts