Jalan Masuknya Pemerintah Kolonial ke Kepulauan Aru

Cerita tentang kolonialisme di Kepulauan Maluku  telah menjadi sebuah mitos tersendiri dalam historiografi Indonesia. Kedatangan VOC dan interaksinya dengan berbagai Kesultanan di kepulauan rempah-rempa,  adalah periode “klasik” bagi awal masuknya pengaruh Barat. Namun, transisi Kepulauan Maluku menuju pemerintah kolonial Hindia Belanda masih belum banyak diketahui. Salah satu tempat ini adalah sebuah kepulauan kecil terletak jauh di selatan Maluku,  Kepulauan Aru.  

Oleh : Rangga Ardia Rasyid

Berbeda dengan wilayah Maluku lain, Kepulauan Aru, bersama dengan kepulauan lain seperti Kei, dan Tanimbar memproduksi komoditas dengan bentuk mutiara, kulit kerang, teripang, bulu burung surgawi, sirip hiu, hingga cangkang kura-kura. Terlihat bahwa sumber daya alamnya menghasilkan komoditas “eksotis” yang menjadi barang mewah. Keunikan tersendiri ini juga berpengaruh terhadap sejarah yang terjadi di Kepulauan Aru, termasuk masuknya pemerintah kolonial Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. 

Namun masuknya pemerintah kolonial di Kepulauan Aru tidak dapat sepenuhnya dilepaskan dengan kontak yang telah mereka lakukan oleh VOC pada abad ke-17. Dalam artikelnya, “On the Margins of Colonialism: Contact Zones in the Aru Islands” (2020), Hans Hagerdal menjelaskan bahwa kontak awal yang dilakukan oleh VOC terjadi pada 1623, ketika Jan Cartsenzoon berlayar dari Banda dan mendatangi Kepulauan Aru. Pelayaran ini dilakukan setelah terjadinya pembantaian Banda pada 1621.

Kontak ini dilakukan oleh VOC, demi mengamankan jaringan dagang antara Banda dengan Kepulauan Aru yang terdisrupsi oleh pembantaian Banda. Berawal dari kontak tersebut, VOC pun memulai sejarahnya di Kepulauan Aru hingga kemundurannya pada akhir abad ke-18. 

Setelah kemunculan Belanda dalam bentuk negara kolonial Hindia Belanda, kontak pemerintah kolonial pun kembali dilakukan di Kepulauan Aru. Sepanjang abad ke-19, terlihat bagaimana peran VOC di Kepulauan Aru kembali diteruskan oleh pemerintah kolonial. 

Tertarik Oleh Perdagangan

Pemerintah kolonial kembali mengontak Kepulauan Aru pada tahun 1824, dengan datangnya A.J. Bik untuk mensurvei Kepulauan Maluku Selatan. Dalam laporannya yang berjudul Dagverhaal eener reis: gedaan in het jaar 1824, tot nadere verkenning der eilanden in Goram, Groot-en Klein Kei en de Aroe-eilanden (1928), ia menekankan pentingnya meregulasi perdagangan Kepulauan Aru agar pemerintah kolonial dapat mendapatkan keuntungan.

Survei kedua yang dilakukan oleh D.H. Kolff, Reize door den Weinig Bekende Zuidelijken Molukschen Archipel en Langs De Geheel Onbekende Zuidwest Kust van Nieuwe -Guinea (1828), menekankan pentingnya peran pemerintah kolonial untuk melindungi penduduk Aru dari “kecurangan” monopoli pedagang Bugis dan Makassar. Berbeda dengan VOC yang lebih mementingkan monopoli komoditas, pemerintah kolonial lebih berfokus kepada regulasi rute perdagangan agar lebih terkontrol oleh Hindia Belanda. 

Perdagangan di Kepulauan Aru pada periode 1820-1840an mengalami peningkatan yang besar. Kondisi ini, menurut tulisan dari Heather Sutherland dalam buku Commodities, Ports, and Asian Maratime Trade Since 1750 (2015), diakibatkan oleh meningkatnya peran Singapura sebagai pusat komersil Asia Tenggara.

Perubahan ini kemudian mendatangkan pedagang Tionghoa dan Makassar/Bugis pada 1840an untuk mencari teripang. Pada musim  dagang di bulan Juni-Oktober, sebuah kota kecil di Pulau Wammar yang bernama Dobo, mengalami ledakan penduduk hingga ke angka ribuan. Alfred Russel Wallace dalam bukunya The Malay Archipelago (1869), mendeskripsikan Dobo pada 1857 sebagai tempat yang dihuni hanya oleh pedagang Bugis, Makassar, dan Tionghoa yang dapat mencapai angka 1000 pada musim pengambilan mutiara.

How many people helped Alfred Russel Wallace?

Kedatangan Wallace ke Dobo di Musim Dagang, 1857. The Malay Archipelago (1869)

Eric Tagliacozzo, dalam tulisannya yang berjudul, “Kettle on a Slow Boil: Batavia’s Threat Perception in the Indies’ Outer Islands, 1870-1910” (2000), menjelaskan bahwa pemerintah kolonial mempunyai paranoia terhadap wilayah “Kepulauan Luar”. Perspektif ini diisi dengan kekhawatiran oleh  mobilitas yang tak terkontrol di Kepulauan Luar. Perdagangan yang terjadi di Kepulauan Aru merupakan sebuah aktivitas yang berada di luar kontrol pemerintah kolonial. Pedagang Bugis, Makassar, dan Tionghoa yang telah berdatangan tidak berada dalam kekuasaan langsung pemerintah Hindia Belanda.

Baca Juga :   Sejarah Hukum di Indonesia: Pra-Kolonial Sampai Zaman Modern

Salah satu strategi utama pemerintah Hindia Belanda untuk memperkuat posisinya di Kepulauan Aru adalah melalui jalur administratif dan militer. Meski terkesan berbeda, dalam kenyatannya, kedua strategi ini bercampur dan saling berkesinambungan. 

Antara Kontrak dan Kekerasan

Dengan adanya pelayaran-pelayaran yang dilakukan ke Kepulauan Aru, pemerintah Hindia Belanda juga melanjutkan serangkaian kontrak yang telah dimulai pada masa VOC. 

Posisi VOC sebagai “Raja Asing” yang dibahas dalam Hans Hagerdal, “Between resistance and co-operation; Contact Zones in Aru Islands in the VOC period” (2019), kembali dilanjutkan oleh pemerintah kolonial. Peran ini mengandalkan kedekatan dengan perpolitikan lokal di Kepulauan Aru. Seperti pada tahun 1825, ketika D.H. Kolff melakukan diskusi mengenai berbagai konflik antar desa dan menghadiakan tongkat, serta bendera Belanda kepada para kepala Negeri yang berkontrak dengan pemerintah kolonial. Metode yang sama juga dilakukan oleh VOC mulai tahun 1659 ketika mereka mengadakan mediasi terbuka antar pihak. 

Peran “Raja Asing” ini terus dilakukan pada periode kolonial yang sering disebut sebagai Onthoudingspolitiek atau Politik Abstansi. Kebijakan ini melihat pembatasan kekuasaan pemerintah kolonial kepada wilayah di luar Jawa-Madura. 

Namun ironisnya, abstensi yang dilakukan pemerintah kolonial juga tetap mengalami unsur kekerasan dan pemaksaan di dalamnya. Selama akhir abad ke-19, Kepulauan Aru menjadi saksi mata atas beberapa gerakan anti pemerintah kolonial. Dalam buku Muridan Satrio Wijdojo, The Revolt of Prince Nuku: Cross-Cultural Aliiance-making in Maluku, c. 1780-1810 (2009), terlihat bahwa VOC juga terlibat kampanye militer di Kepulauan Aru sepanjang 1780an karena adanya pemberontakan Nuku yang terjadi di Maluku. Namun gerakan anti pemerintah kolonial di abad ke-19 mempunyai unsur yang berbeda dari gerakan masa VOC.

Gerakan bersenjata mulai terjadi pada 1881. Tertulis dalam artikel di Indische Gids, “Hoe men in 1881 een woelgeest op de Aroe-eilanden tot rede bracht”  (1893), bahwa seorang bernama Belbel memulai pemberontakan. Hal ini ia lakukan setelah ia bermimpi harus mengusir orang asing agar Aru dapat kembali berjaya. Gerakan ini berhenti ketika Residen Baron van Hoevell memberikan patung kayu yang bernilai spiritual kepada Belbel dan mengakhirinya dengan damai.

Kemudian Residen Baron van Hoevell dalam bukunya, De Aroe-eilanden, geograpish, etnograpisch, en commericeel, (1888), membahas pemberontakan yang sama terjadi pada 1885, oleh seorang bernama Naelaer. Pemberontakan ini berakhir pada 1887 dengan penagkapannya oleh tentara kolonial. 

Gerakan pemberontakan terbesar muncul di tahun 1893, ketika seorang bernama Toelfoeloen berhasil menyatukan orang-orang Aru untuk menyerang pedagang Makassar dan Tionghoa di Aru. Menurut surat kabar Het Vaderland (01-01-1893), sekitar 3 orang Tionghoa dan 50 orang Makassar menjadi korban dari penyerangna ini. Surat kabar Bataviaasch Niewusblad (15-02-1893) juga menyebtukan bawha Toelfoeloen menyerang Dobo dengan 85 perahu, tetapi berhasil dikalahkan oleh pemerintah kolonial. 

Tak lama setelah itu, kapal perang  Java dan Arend melakukan ekspedisi militer dan menghancurkan desa-desa yang ikut memberontak. Hal ini tertulis dalam De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, (17-02-1893). Mereka yang menjadi kepala pemberontakan ditangkap oleh pemerintah kolonial untuk dipenjara di Ambon dan dieksekusi. 

Dalam kacamata kolonial, gerakan ini adalah konsekuensi dari absennya kontrol negara kolonial secara langsung.  Pada akhirnya situasi tersebut dianggap menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar tiap pihak yang ada di Kepulauan Aru. Sehingga aksi militer ini dianggap sebagai intervensi polisionil, dan secara simbolis memperkuat kekuasaan absolut Hindia Belanda atas Kepulauan Aru.

Baca Juga :   Perkembangan Perniagaan Bahan Rempah di Pulau Maluku

Lembaran Baru Sejarah Kepulauan Aru

Setelah secara simbolis menunjukan kekuasaannya, pemerintah Hindia Belanda membawa perubahan di Kepulauan Aru, terutama di kota Dobo yang menjadi pusat dari industri mutiara.Pada tahun 1904-1905 perusahaan Australia, Celebes Trading Company, mendapatkan konsesi dari pemerintah kolonial untuk mengambil mutiara, kulit kerang, dan teripang di perairan Aru.

 Dobo, yang sudah diisi oleh toko-toko Tionghoa dan Bugis, sekarang dipenuhi oleh buruh Australia berkebangsaan Jepang dan Filipina. Menurut artikel Adrian Vickers, “The pearl rush in Aru, 1916 A case study in writing commodtiy history in Southeast Asia”, (2019),  Brodil prostitusi, tempat mandi publik, dan bar untuk alkoohol adalah beberapa fasilitas umum yang mulai tumbuh pada 1910an. Fenomena ini mengubah wajah Dobo dari sebuah desa sepi menjadi kota yang ramai dan multinasional yang unik dalam sejarah Indonesia Timur. 

 Dengan pemberian konsesi tersebut, pemerintah kolonial menempatkan posisinya sebagai otoritas tertinggi di wilayah Hindia Belanda yang berhak memberikan izin kepada siapapun yang memasuki perairannya Pada akhirnya, Kepulauan Aru dilihat sebagai sumber keuntungan industri ekstraktif bagi Hindia Belanda. Sebuah pola pemikiran yang mendominasi politik-ekonomi Hindia Belanda di paruh akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. 

Kuasa pemerintah kolonial pun terus bertahan hingga akhirnya sirna pada masa Perang Dunia Kedua, ketika Kekaisaran Jepang berhasil mengambil alih Dobo pada bulan Oktober 1942. Mengakhiri cerita kekuasaan kolonial di ujung timur Indonesia. 

Sumber

Bataviaasch Niewusblad. (15-02-1893). Diakses melalui delpher.nl

Baron van Hoevell, G.W.W.C. (1888). De Aroe-eilanden. geograpisch. etnograpisch. en commericeel.

Bik, A.J.E.A. (1928). Dagverhaal eener reis, gedaan in het jaar 1824, tot nadere verkenning der eilanden Kefing, Goram, Groot- en Klein Kei en Aroe-eilanden. Leiden: Sijthoff.

De Indische Gids. (18930. “Hoe men in 1881 een woelgeest op de Aroe-eilanden tot rede bracht”. Leiden: E.J. Brill.

De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad. (17-02-1893). Diakses melalui delpher.nl

Hagerdal, Hans. (2020). “On the Margins of Colonialism: Contact Zones in the Aru Islands”. Dalam The European Legacy. Vol. 47. No. 138.  

_____________. (2019). “Between resistance and co-operation Contact zones in the Aru Islands in the VOC period”. Wacana. Vol. 20. No. 3. 

Het Vaderland. (01-01-1893). Diakses melalui delpher.nl 

Kolff, D.H. (1828). Reize Door den Weiing Bekenden Zuidelijken Molukschen Archipel en Langs de Geheel Onbekeende Zuidwest Kust van Nieuw-Guinea; Gedaan in de jaaren 1825 en 1826. Amsterdam: G.J. Beijerinck.

Mudian Widjojo. (2009). The Revolt of Prince Nuku Cross-Cultural Alliance-making in Maluku, c. 1780-1810. Brill: Leiden & Boston.

Sutherland, Heather. (2015). Commodities, Ports and Asian Maritime Trade Since 1750”. London: Palgrave MacMillan.

Tagliacozzo, Eric. (2000). “Kettle on a Slow Boil: Batavia’s Threat Perceptions in the Indies’ Outer Islands. 1870-1910”. Journal of Southeast Asian Studies. Vol. 31. No.1. 

Vickers, Adrian. (2019). “The pearl rush in Aru 1916. A case study in writing commodiy history in Southeast Asia”. Wacana. Vol. 20. No. 3. 2019.
Wallace, Alfred R.. (1869). The Malay Archipelago, London: MacMillan & Co.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts