Indoktrinasi Manipol-USDEK; Ikhtiar Sukarno Menjebol Tatanan Lama

Sukarno menetapkan Manipol USDEK sebagai doktrin politik masa Demokrasi Terpimpin. Doktrin tersebut diupayakan untuk menghancurkan tatanan lama dan membangun Indonesia baru sesuai tujuan revolusi. 

Oleh Rifaldi Apino

Pada tanggal 5 Juli 1959 Sukarno mengumumkan terbitnya Dekrit Presiden. Dekrit tersebut berisi pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan pembubaran konstituante akibat ketidakberhasilan mereka dalam menyusun UUD yang baru. Dekrit ini menjadi tanda Indonesia memasuki fase anyar di bawah Demokrasi Terpimpin.

Suatu pagi pada perayaan hari kemerdekaan Indonesia ke-14, Sukarno dalam pidatonya mengatakan bahwa tahun 1959 adalah tahun rediscovery of our Revolution. Sukarno menilai perjuangan untuk mengubah masyarakat menuju kemakmuran tidak dapat dilakukan dengan pergerakan kecil-kecilan juga bukan sesuatu yang turun dari langit dengan sendirinya, melainkan perlu dibangun dan diperjuangkan. Oleh karena itu, Sukarno menegaskan bahwa tahun 1959 adalah semacam titik bangsa Indonesia harus “kembali kepada djiwa Revolusi” (Kementerian Penerangan, 1959: 3).

Menurut Sukarno jiwa revolusi rakyat untuk menuju keadilan dan kemakmuran sosial telah hampir padam. Tujuan revolusi telah melenceng menuju ekonomi dan politik liberal. Sukarno mengkritik situasi demikian, terlebih dalam suasana demokrasi parlementer yang terjadi antara tahun 1950-1959, di mana “suara rakjat-banjak dieksploatir, ditjatut, dikorup oleh berbagai golongan… dengan mengorbankan kepentingan rakjat” (Kementrian Penerangan, 1959: 10). 

Sukarno menilai demokrasi parlementer tidak sesuai diterapkan pada situasi Indonesia saat itu. Amanatnya pada konstituante untuk membuat UUD yang cocok dengan jiwa proklamasi dan revolusi tidak terlaksana. Konstituate yang diharapkan mampu menjadi “penyelamat revolusi” dengan merombak (hukum) tatanan lama tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut bahkan cenderung menghambat jalannya arus revolusi. Kegagalan inilah yang membuat Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 dengan menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin.

Revolusi Indonesia di bawah Demokrasi Terpimpin, menurut Sukarno, haruslah menuju masyarakat yang sosialis. Masa depan dengan keadilan dan kesejahteraan sosial, yang di dalamnya tidak ada eksploitasi manusia oleh manusia, tidak pula manusia oleh negara, tidak ada kapitalisme, tidak ada kemiskinan dan perbudakan. Meski terminologi sosialisme umum dipakai di eropa dengan merujuk pada gerakan komunis atau sosial demokrat, Sukarno menilai bahwa sosialisme yang akan diterapkan adalah sosialisme dengan penyesuaian kondisi di Indonesia, dengan rakyat Indonesia, dengan adat istiadatnya, dengan psikologi dan kebudayaan rakyat Indonesia. Nantinya dalam suasana sosialisme Indonesia berarti akan ada pabrik kolektif, industri kolektif, pendidikan kolektif. Secara sederhana dikatakan oleh Sukarno adalah “kecukupan berbagai kebutuhan hidup dan adanya keenakan hidup yang pantas” (Ilmar, 2016: 95).

Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005) beberapa pengamat menilai langkah politik Sukarno sebagai kediktatoran. Janji-janji yang diutarakan mengenai masa depan Indonesia di bawah Demokrasi Terpimpin adalah palsu (Hal. 508-509). Sukarno menepis pandangan itu lewat pidatonya Penemuan Kembali Revolusi Kita (1959). Ia mengatakan jika pada masa revolusi perlu ada pemimpin yang tidak mendiktatori, tetapi memimpin dan mengayomi. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi tanpa “anarchisnja liberalisme, tanpa autokrasinja diktatur” (Hal. 34).

Satu tahun berikutnya, tepatnya pada perayaan kemerdekaan tahun 1960, Sukarno kembali menyampaikan pidato tentang revolusi. Kali ini berjudul Djalannya Revolusi Kita (Djarek). Salah satu poin yang dalam pidato ini adalah penekanan terhadap seluruh rakyat Indonesia agar tidak ragu melawan kekuatan imperialis dan sisa-sisa feodal yang masih bercokol pada berbagai bidang seperti hukum, ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dalam bahasa Sukarno revolusi berarti “mendjebol dan membangun, adalah build tomorrow and reject yesterday, construct tomorrow, pill down yesterday… apa jang kita djebol sekarang adalah imperialisme dan feodalisme untuk membangun Indonesia merdeka penuh jang demokratis” (Departemen Penerangan, 1961: 24). 

Baca Juga :   Eksistensi Bandit Pedesaan Jawa dan Perlawanannya terhadap Pemerintahan Kolonial

Pidato-pidato Sukarno inilah yang dijadikan sandaran terbentuknya sebuah Manifesto Politik (Manipol) Republik Indonesia dan USDEK sebagai lima dasar strategi politik Sukarno, yakni UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Manipol-USDEK disusun menjadi satu dokumen yang menjelaskan persoalan pokok dan program umum penyelesaian revolusi Indonesia yang dicanangkan oleh Sukarno (Abdulgani dalam Trishadi, 2017: 20).

Indoktrinasi Bidang Pendidikan

Pada perkembangannya Manipol USDEK ditetapkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Setelah itu dibentuk Panitia Pembina Jiwa Revolusi yang diketuai oleh Roeslan Abdulgani. Manipol USDEK disebarluaskan dengan segera pada seluruh aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, keagamaan, kepemudaan, hingga komunikasi massa.

Pada bidang pendidikan, tahapan awal yang dilakukan pemerintah adalah menyesuaikan sistem pendidikan berlandaskan Manipol USDEK dengan menjalankan indoktrinasi pendidikan formal/informal. Kemudian dilakukan penyeleksian koleksi-koleksi buku yang ada. Seleksi ini bertujuan untuk mengantisipasi buku yang sifatnya merusak nilai-nilai Pancasila/Manipol. Pemerintah akan mengambil buku yang dirasa positif dan membuang buku yang sifatnya merusak konstruksi pemikiran bangsa Indonesia. Keduanya dilakukan agar sistem pendidikan nasional dapat selaras dengan revolusi, sehingga mereka (para pemuda, pelajar) dapat menentang segala bentuk penghisapan yang dilakukan para imperialis, kolonial, feodal, dan kelas kapitalis (Kurniadi, 2014: 47-48). Sistem semacam ini diupayakan agar tidak ada sumber daya manusia yang berpendidikan namun menyimpang dari jalan revolusi.

Pada tahap ini pemerintah juga mencanangkan Majelis Pendidikan Nasional. Tugasnya adalah mengadakan penelitian, perencanaan, pembinaan, pengamanan dan pengawasan sistem Pendidikan Nasional Pancasila di segala bidang pendidikan. Majelis Pendidikan Nasional ini dapat dikatakan sebagai pengawas sehingga lembaga pendidikan tidak bisa sewenang-wenang dalam pelaksanaan kebijakannya (Kurniadi, 2014: 48). 

Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan juga menjadi sasaran penyesuaian dengan Manipol USDEK. Sukarno menaruh perhatian besar pada perguruan tinggi sebagai pencetak tenaga ahli berbagai bidang. Oleh karena itu, pemerintah tidak lepas perhatian pada institusi ini.

Langkah awal adalah pembentukan departemen khusus yang bertugas mengurus perguruan tinggi bernama Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Prof. Iwa Kusumasumantri ditunjuk sebagai pimpinan departemen tersebut. Segera setelah itu dikeluarkan peraturan mengenai pengintegrasian kampus dengan Manipol USDEK. Undang-Undang Perguruan Tinggi terbit pada 4 Desember 1961 untuk mengatur perguruan tinggi secara khusus. UUPT selain mengatur mengenai definisi, bentuk, kelembagaan, penerimaan mahasiswa, gelar dan penyelenggaraan perguruan tinggi swasta, tetapi juga digunakan untuk membersihkan hal-hal yang tidak sesuai dengan Manipol USDEK. Pimpinan Departemen PTIP pun bergerak cepat dengan memberhentikan dan menurunkan tingkat jabatan sejumlah rektor, dekan, guru besar, dan beberapa dosen di perguruan tinggi atas pertimbangan politik. Sejumlah mahasiswa juga diminta melapor apabila ditemukan liberalisme di kalangan guru besar (Trishadi, 2017: 35)

Setahun setelah itu, pada 1962, Iwa diganti oleh Tojib Hadiwidjaja pada perombakan kabinet bulan Maret 1962. Meski mengalami pergantian pimpinan departemen, upaya “memanipolusdekkan” perguruan tinggi tetap berjalan. Keberadaan liberalisme di perguruan tinggi tetap disingkirkan dan dilabeli sebagai golongan kontra-revolusioner. Pada masa ini juga, Tojib Hadiwidjaja membentuk prinsip yang dinamakan Tridharma Perguruan Tinggi yang terdiri dari pendidikan, pengajaran, dan pengabdian pada masyarakat. Selain itu, untuk mendukung lebih banyak masyarakat yang dapat mengenyam pendidikan tinggi, Departemen PTIP berkomitmen meniadakan biaya kuliah bagi para mahasiswa (Trishadi, 2017: 37)

Salah satu pendukung upaya indoktrinasi Manipol USDEK di perguruan tinggi adalah Partai Komunis Indonesia. Sejak awal masa Demokrasi Terpimpin, PKI memang mendukung langkah Sukarno. Beberapa kajian mengatakan bahwa PKI menjadi kekuatan politik utama pada masa Demokrasi Terpimpin di samping Sukarno dan Angkatan Darat.

Baca Juga :   Historicism Architecture: Gapura Sebagai Bangunan Sakral Sarat Akan Makna Filosofis

Dukungan PKI terlihat dari tulisan Aidit—sebagai pimpinan Komite Sentral partai—berjudul Kedudukan Universitas Sampai Sekarang dalam Mengembangkan Ilmu Revolusioner (1964), di sana ia menulis bahwa kampus harus seirama dengan revolusi. Ia mengutarakan beberapa contoh konkret yang harus dilakukan, seperti mahasiswa farmasi harus bisa didorong untuk menyelidiki cara pengobatan dan obat-obat tradisional yang ada. Para mahasiswa ekonomi harus bisa meletakkan dasar-dasar ekonomi sosialis, membangun ekonomi nasional yang terbebas dari teori-teori borjuis yang bergantung pada imperialisme dan monopoli besar asing. Para mahasiswa hukum harus menjadi ahli hukum revolusioner yang tidak mau dicekoki oleh idiologi sarjana hukum kolonial, harus berani melakukan perombakan perundang-undangan secara radikal seperti yang dibutuhkan oleh revolusi (Hal. 20). Contoh-contoh tersebut diusulkan oleh Aidit terkait apa yang harus dilakukan para mahasiswa di universitas untuk menjebol tatanan lama agar sesuai dengan irama revolusi.

Daftar Pustaka

Majalah Ilmu Marxis. (1963). Fungsi Universitas dalam Revolusi. Jakarta: Yayasan Pembaruan.

Departemen Penerangan. (1961). Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Penerangan RI.

Kementrian Penerangan. (1959). Penemuan Kembali Revolusi Kita. Jakarta: Kementrian Penerangan RI.

Ilmar, Anwar. (2016). Pemikiran Politik Sukarno Tentang Sosialisme Indonesia dan Praktiknya pada Masa Demokrasi Terpimpin. Tesis Magister Universitas Indonesia.

Kurniadi, Agil. (2014). Indoktrinasi Manipol-Usdek Sebagai Hegemoni Politik 1959-1967. Skripsi Sarjana Universitas Indonesia.

Trishadi, Pratama. (2017). Indoktrinasi Manipol-Usdek Kepada Mahasiswa di Perguruan Tinggi 1961-1967: Studi Kasus Universitas Indonesia. Skripsi Sarjana Universitas Indonesia.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts