Idealisme Soe Hok Gie dalam Catatan  Gerakan Demonstrasi Mahasiswa Angkatan ‘66

Gie bukanlah seorang Intelektual yang menyerah pada keadaan. Ia bukanlah seorang idealis yang akhirnya pragmatis dan mengikuti arus bagaikan ikan yang mati di sungai yang deras. Gie melawan arus; karena baginya lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Gie dan gerakan mahasiswa angkatan 1966 membuktikan peran dan fungsinya sebagai mahasiswa. Bersama KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), GM-SoS (gerakan mahasiswa sosialis), MAPALA UI (mahasiswa pencipta alam), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), dan berbagai organisasi kampus lainnya yang mewakilkan perannya untuk melakukan perlawanan atas pelanggaran demokrasi di Indonesia pada era orde lama.  

Oleh  Yeremia Ariel

Pengatar; Masyarakat dan kaum intelektual

Seorang Intelektual bisa lahir atas dasar situasi tertentu. Baik itu akibat dari bias suatu sistem masyarakat yang melahirkan pergolakan atau hasrat rasionalitas dalam menjawab kebutuhan zaman. Awalnya, anggapan intelektual adalah mereka para kaum terdidik secara ilmiah yang fokus menciptakan sesuatu (invention) demi nilai guna ataupun nilai jual. Akumulasi dari nilai-nilai tersebut mendorong kalangan yang berkuasa menyebut dirinya pula sebagai seorang teknokrat.

Sebagian lagi beranggapan kaum intelektual merupakan suatu faktor perlawanan dan perjuangan. Di Eropa khususnya, “Kaum Intelektual” memiliki proposisi tersendiri di garis peradaban akibat fragmen filosofis yang bersejarah. Gramsci menyebut “Semua manusia adalah seorang intelektual, namun tidak semua memiliki fungsi seorang intelektual.” Lantas apa maksudnya fungsi seorang intelektual itu? 

Benturan nilai peradaban dunia adalah jantung dari zeitgeist setiap rangkaian peristiwa. Unsur utama benturan tersebut adalah manusia, baik itu secara berkelompok maupun sebagai satu entitas individu. Proses benturannya adalah realitas sosial yang menghasilkan “sejarah”. Sejarah intelektual dirangkai dari berbagai benturan-benturan yang beragam. Keadaan sosial seringkali mencerminkan sebuah ketidakseimbangan kepentingan antara manusia. Apa yang terlihat adalah keadaan yang bias. Masyarakat yang beradab dibungkus lewat sebuah nilai puncak peradaban yang disebut sebagai sistem hukum dan melembagakan diri sebagai sebuah negara. Praktik institusi hukum yang dilakukan negara adalah menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi manusia. Namun kembali jalur sejarah peradaban bahwa  manusia akan selalu dihadapkan oleh bias. Dalam fungsi negara tidak semua menjalankan nilai yang seharusnya dicapai sebagai tujuan universal “kemanusiaan”, mengingat sebuah negara terbentuk juga atas landasan “kepentingan”. Dapat diambil contoh  ialah ketidakseimbangan antara aspirasi publik dan sistem dari peran yang berkuasa lalu berakhir dengan terjadinya chaos. Pada saat itulah kaum intelektual lahir. Kaum intelektual setidaknya memperlihatkan suatu unsur yang disebut the natural leader pada seseorang; baik itu sense of justice atau sensitivitas kemanusiaan yang merupakan hasil dari sebuah cerminan keadaan yang kacau. Kembali pada pernyataan Gramsci pada catatan penjaranya bahwa tidak semua manusia memiliki fungsi  kepekaan keadaan yang sedang terjadi di masyarakat. 

Inilah yang berlaku pula pada sejarah intelektual bangsa Indonesia. Bias yang terjadi adalah kolonialisme. Jalan yang dipilih bangsa ini adalah menyatukan diri sebagai satu kesatuan di tanah yang disebut Nusantara. Perhimpunan Bangsa Indonesia menyelaraskan diri lewat upaya penyatuan sebuah konsensus. Budi Utomo adalah mesin penggerak pertamanya, diikuti lewat berbagai pergerakan nasional yang berangkat dari berbagai motif hingga puncak keinginan yang kuat untuk segera merdeka. Hal itu memperlihatkan Bangsa Indonesia telah merdeka karena peran intelektual yang besar. Revolusi 1945 adalah penanda dari bukti sejarah kaum intelektual. Sang Proklamator, inisiator, para delegasi berupaya untuk benar-benar lepas dari bias dan ketidakadilan yang bernama kolonialisme itu. Nama-nama seperti Ir. Soekarno, Tan Malaka, Natsir, Sutan Syahrir, Moh. Hatta, Soepomo, Moh. Yamin, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh revolusi kemerdekaan sebagai aktor intelektual bangsa Indonesia. 

Revolusi 1945 tidak secara lurus menjawab tujuan pembangunan suatu bangsa yang baru saja berdaulat. Ancaman dan berbagai ketimpangan menghampiri dan menjadi tantangan setiap waktunya. Revolusi Indonesia yang melahirkan kaum intelektual memerlukan regenerasi yang berkelanjutan. Jika tidak, semangat revolusi akan berhenti, tidak ada lagi pemuda Indonesia  yang meneruskan idealisme kebangsaan. Kaum intelektual akan serta merta mengisi lahan pembangunan sesuai instruksi kapital atau kekuasaan tanpa mempertimbangkan sisi bias yang dapat mengancam kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat. Maka, apa selanjutnya setelah merdeka, dimanakah posisi kaum intelektual itu ? 

Pasca kemerdekaan, Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno menyiasati wadah pemerintahan dengan sistem demokrasi. Rumusannya adalah memilih jenis demokrasi apa yang sesuai dengan bangsa ini. Demokrasi sebagai satu-satunya jalan menuju tujuan kebangsaan karena nilai-nilai universalnya yang memenuhi keadilan dan kesetaraan. Namun gejolak kemajemukan akibat sistem demokrasi melahirkan masalah-masalah baru yang mengancam keutuhan negara. Implementasi politik presiden Soekarno membuka pembagian kecenderungan dua ideologi yang sedang berperang secara dingin. Di lain sisi, politik tidak hanya berbicara soal dua arus ideologi tersebut. Kebutuhan dan kepentingan masyarakat merupakan ancaman tersendiri tatkala pemerintahan pada saat itu lupa akan perannya dalam membangun bangsa ini. Salah satu dampak dari perseteruan ideologis besar negara adidaya adalah penyesuaian sistem demokrasi demi melanggengkan kepentingan ideologi politik pemerintahan Indonesia.  Dibuktikan dengan pelanggaran demokrasi yang dilakukan oleh Ir Soekarno dengan membubarkan konstituante dan menyampaikan dekritnya pada Juli 1959. Akibat-akibat dari demokrasi terpimpin adalah mulai terciumnya kecenderungan untuk bersikap otoriter dan menutup praktik yang demokratis di Indonesia.

Di sekitar tahun 1945 hingga 1966 dapat disebut sebagai arus intelektual baru. Kebanyakan dari mereka lahir dari kaum-kaum terpelajar di berbagai universitas yang memiliki kepekaan terhadap bangsanya. Soe Hok Gie adalah salah satu dari sekian banyak kaum intelektual Indonesia yang memiliki kepekaan dan idealisme yang konsisten antara pikiran dan aksinya. Berasal dari Universitas Indonesia yang mewakili beberapa organisasi sebagai mesin penggerak aksinya, Soe Hok Gie mengkritik secara tajam pemerintahan yang sedang berkuasa melalui aksi demonstrasi. Intelektual pecinta alam dan hewan ini merupakan pemuda keturunan Tionghoa yang cukup sensitif terhadap ketidakadilan dan ketidaksetaraan di tengah masyarakat. Siapakah Soe Hok Gie lebih dalam? bagaimana perannya sebagai aktivis mahasiswa? Idealisme apa saja yang ia sumbangkan untuk meregenerasi pemuda-pemuda Indonesia ?

Antara Perlawanan dan keadilan 

17 Desember 1942. Dalam Catatan hariannya, Soe Hok Gie menuliskan waktu kelahirannya tersebut. Tidak ada yang tahu pasti sejak usia berapa Gie mulai catatan hariannya. Namun jika membaca “Catatan Seorang Demonstran” yang diterbitkan oleh LP3ES yang merupakan adaptasi secara komprehensif dari buku harian aslinya, Gie mencatat keberadaan aktivitasnya sekitar di usia 15 tahun, tepatnya ketika ia masuk sekolah menengah pertama. “Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik.  Gie merupakan seorang anak dari pasangan Soe Lie Pit dan Ni Hoei An. Ia seorang etnis Tionghoa dan menganut agama Katolik. Keluarga Soe Hok Gie dapat dibilang sederhana secara ekonomi. Gie lima bersaudara, salah satunya ialah kakaknya, Arief budiman (Soe Hok Djin) yang cukup dikenal sebagai tokoh aktivis 1966 bersama adiknya tersebut. 

 Ayahnya adalah seorang penulis dan wartawan koran. Sebagian anggota keluarganya memiliki perhatian pada sastra, termasuk Gie yang dibentuk kepribadiannya melalui buku-buku karya sastra dan tokoh-tokoh dunia termasuk peran ahayanya dalam dunia kepenulisan. Gie lulus SMA di sekolah Katolik Kanisius Jakarta. Ia meneruskan studinya pada bidang Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Beberapa peristiwa yang tercatat di buku hariannya (Catatan Seorang Demonstran), Gie remaja sudah menunjukan sikap kritis dan keras kepala. Ia memiliki sensitivitas apapun yang menyinggung soal kesetaraan dan keadilan. 

Baca Juga :   Gereja dan Nasionalisme: Dukungan Kaum Kristen dalam Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1946 - 1949

“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.” Dicatatnya kekesalan Gie pada buku hariannya pada Februari 1958. Gie yang sedang menyimak pelajaran sastra di kelasnya, berdebat dengan gurunya antara siapakah pengarang atau penerjemah dari prosa “Pulanglah ia Si Anak Hilang” , apakah Chairil anwar atau Andre Gide. Akibat protesnya nilai Gie dikurangi 3 dari 8. Gie berpikir bahwa ketika Pak Efendi (guru sastranya) mengklaim pengarang prosa tersebut adalah Chairil, padahal yang benar Chairil ialah penerjemahnya dan Andre Gide pengarangnya. Ditambah gurunya yang tidak menerima kritik yang dilontarkannya, Gurunya membentak Gie karena keras kepala mengkritik dirinya. Ia pun tidak ingin meminta maaf karena baginya ia merasa tidak menyerang sang guru. ia merasa hanya ingin bertukar pikiran karena memang pernyataanya perlu dikoreksi. “Aku tak mau minta maaf. Memang demikian kalau dia bukan guru pandai. Tentang karangan saja dia lupa. Aku rasa dalam hal sastra aku lebih pandai”. 

Kepekaan emosional Gie mulai terlihat dalam beberapa peristiwa yang baginya tidak adil dan salah. Ia tak segan bahkan langsung mengoreksi apa yang memang dinyatakan secara janggal. Pasca Presiden Soekarno memutuskan Dekrit pada Juli 1959, Gie dalam pelajaran di kelasnya juga bertukar pikiran dengan seorang guru ketika menanyakan tentang kondisi masyarakat di masa demokrasi terpimpin. Gie menyebutnya masa demokrasi terpimpin bukanlah demokrasi.“Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah”. Gie menambahkan dengan mengingatkan bahwa hal itu terbukti beberapa tokoh jurnalis dan pers yang ditangkap dan dibredel seperti nama Mochtar Lubis, Harian Rakyat, dan Harian Indonesia Raya. Pada catatan hariannya Gie juga menuliskan keresahan kondisi pers di Indonesia yang sangat kelihatan didikte oleh penguasa. “Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukan di tempat 2×3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.” 

Kemanusiaan yang dimiliki Gie juga terlihat ketika ia pulang sekolah dan bertemu dengan seseorang yang sedang memakan kulit mangga. Orang itu terlihat lusuh dan sangat kelaparan. Gie memberikan sisa uang sakunya kepada orang itu. Baginya aneh ketika apa yang didengarnya berita-berita di radio tentang kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang seakan-akan meningkat, demokrasi terpimpin layaknya omong kosong dari penguasa yang diktator. Dalam catatan hariannya ia tulis kesedihannya atau mungkin perasaan yang juga marah. “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit, “paduka” kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palus, palsu. 

Gie remaja sangat menyukai sastra. Ia membaca Romeo-Juliet, Orwell 1984, dan beberapa karya sastra eropa lainnya. Selain itu sisi kemanusiaan Gie juga dipengaruhi oleh tokoh-tokoh dunia yang ia suka  seperti Gandhi, Tagore, dan Tolstoy. Buku yang seringkali dianggap jendela dunia, Gie selalu berhadapan dan membuka jendela itu untuk mencerminkan realitas dunianya. Pada masa pergulatan ideologi di negaranya ia juga menggali dengan berbagai bacaan seperti karya manifesto Karl Marx, Pramoedya, atau Albert Camus. Literatur Gie yang dikenal sebagai adaptasi pergolakan kemanusiaan dan kebebasan semakin menambah kepekaan dan idealismenya tentang realita yang dihadapi negaranya saat ini. 

Sastra, Politik, dan Gunung 

Ada sebuah prinsip yang dipegang Gie ketika menjadi mahasiswa. Prinsip ini juga ia langsung sampaikan kepada teman-teman mahasiswanya dan menjadi sebuah bekal bagi dirinya sendiri untuk mengukuhkan idealismenya dalam mendefinisikan kaum intelektual. Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas dari segala arus masyarakat yang kacau. Tapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya. Yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya, apabila keadaan telah mendesak. Kaum intelektual yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaan”. Gie ingin meyakinkan bahwa mahasiswa-mahasiswa yang saat ini berkuliah adalah orang-orang yang beruntung. Gie menyebutnya Happy selected few yang dapat memahami peristiwa dengan fasilitas dan berbagai dukungan. Maka apa yang menjadi tugas bagi seorang mahasiswa adalah dengan menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Hal itu diyakini dirinya, karena mahasiswa adalah agen sosial di jajaran terdepan dalam menjembatani kedaulatan rakyat. Tidak semua elemen masyarakat yang memiliki masa dan tenaga seperti mahasiswa yang kapasitasnya adalah anak muda. Maka dari itu mahasiswa adalah harapan bagi jalannya demokrasi di Indonesia yang sedang-sedang dalam masa pergolakan pasca revolusi kemerdekaan yang membutuhkan saluran yang menengahi kepentingan bangsa. 

 Gie memulai kehidupan menjadi mahasiswa pada tahun 1961. Ia Memilih Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan memutuskan mengambil sejarah sebagai basis keilmuannya. Dunia kemahasiswaaan Gie tidak lepas dari bayang-bayang situasi politik pada masa itu. Pergolakan politik yang semakin keruh antara PKI, Militer, dan Presiden Soekarno mendorong Gie untuk semakin terlibat dalam organisasi dan pergerakan mahasiswa yang mengambil peranan sosialnya di tengah masyarakat. Gie ikut aktif dalam senat mahasiswa fakultas, mendirikan MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam) bersama sahabatnya Herman Lantang pada 1964, menghadiri berbagai diskusi dengan kelompok mahasiswa di berbagai kalangan, hingga cukup berpartisipasi mendukung gerakan bawah tanah GMSOS (Gerakan mahasiswa sosialis) yang diwadahi secara tidak langsung oleh Soemitro Djojohadikoesoemo. 

Gie sangat percaya bahwa seseorang dapat membuktikan eksistensi dirinya ketika bersatu dengan alam. kesetiaan Gie terlihat ketika ia remaja hingga menjadi mahasiswa selalu mengagendakan dirinya untuk naik gunung. Ada sebuah catatan jurnal perjalanannya ketika ia menaklukan Gunung Slamet “Now I see the secret of the making of the person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.” Bukan hanya itu saja, ia mencintai alam seperti ia mencintai wujud yang paling substantif dari sisi kemanusiaan. Ia menuliskan sajak secara khusus tentang keindahan dan dinginnya Pangrango, Lembah Mandalawangi yang merupakan tempat favoritnya semenjak remaja.  

“Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu

Aku cinta padamu Pangrango Karena aku cinta pada keberanian hidup”

Kutipan puisi Mandalawangi-Pangrango

Di Sekitar Demonstrasi masa Peralihan

Tepatnya apa yang terjadi setelah Oktober 1965 (G30S PKI), Di dunia Universitas terjadi pergolakan-pergolakan. Berbagai tindakan  pengamanan terhadap unsur-unsur PKI dilakukan secara tegas, dari kalangan masyarakat umum hingga di kampus. Dunia kemahasiswaan melakukan penyapuan habis-habisan terhadap unsur PKI. Salah satu caranya adalah membentuk organisasi pergerakan yang cukup masif dan menyeluruh. Maka berbagai organisasi internal kampus dan lembaga-lembaga pergerakan menyatukan diri lewat satuan aksi massa dan melahirkan organisasi pergerakan.

Pada 25 oktober 1965 dibentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau lebih dikenal dengan KAMI. selain dalam upaya pembersihan unsur-unsur PKI di dalam dunia mahasiswa, KAMI didirikan atas dasar keterlibatan secara aktif untuk memprotes dampak krisis politik yang terjadi. Namun keadaan semakin jauh dari harapan. ketika Pembersihan PKI berlangsung, terjadi kenaikan harga bahan pokok seperti pangan dan bahan bakar. Inflasi pun terjadi hingga ratusan persen. Dampaknya jelas, tarif kendaraan mengalami kenaikan ekstrim. Pemerintah memutuskan kebijakan dengan memberikan nilai baru uang Rp. 1000,00 disamakan dengan Rp. 1,00. Pada akhirnya rakyat menjadi semakin menderita. Kalangan mahasiswa memprotes hal ini dan menuduh Kabinet Dwikora  melakukan kebijakan ekonomi demi mengalihkan isu pengganyangan PKI. KAMI menyebut hal ini sebagai politik kenaikan harga. 

Baca Juga :   Kiprah Muhammadiyah dalam Pembaruan Pendidikan pada Era Kolonial

Pada akhirnya mahasiswa sebagai garda terdepan suara rakyat memberikan suaranya dalam bentuk demonstrasi. Pada 10 Januari 1966 ribuan mahasiswa berdemonstrasi ke Sekretariat negara untuk memprotes keadaan yang sudah terjadi. Demonstrasi besar-besaran direspon oleh presiden Soekarno namun hanya berhenti pada tahap yang normatif. Soekarno menganggap aspirasi mahasiswa diterima dan dimengerti namun ia malah mengkritik cara-cara yang dilakukannya hanya malah menambah keruhnya situasi saat ini. 

Hasilnya, KAMI pun kecewa dan mengajukan tiga tuntutan pokok yang tegas. Tiga tuntutan ini dikenal sebagai Tritura (tiga tuntutan rakyat) yang berisi : 

  1. Pembubaran PKI
  2. Perombakan Kabinet Dwikora 
  3. Turunkah Harga pokok

Aksi demonstrasi tentu tidak langsung menjawab dan menyelesaikan keadaan. Beberapa kali Gie dan kawan-kawan demonstran lain harus berhadapan dengan golongan kabinet Dwikora. Gie dan kawan-kawan sempat berdebat dengan Soebandrio, Menteri Luar Negeri, dan dalam bentuk demonstrasinya tidak segan, Gie dan kawan-kawannya membuat yel-yel yang isinya sindiran kepada Soebandrio dan para jajaran kabinet Presiden Soekarno. Di dalam kampus Gie dan KAMI menentang mahasiswa-mahasiswa yang menjilat pada pihak pemerintah.

Pihak mahasiswa yang merupakan kalangan intelektual terbagi ke pihak yang mendukung PKI dan Presiden Soekarno. Kelompok-kelompok tersebut disebut Gie sebagai kalangan Vested Interest. Dijelaskan pada tulisan Gie yang diterbitkan di Kompas pada 1967 yang berjudul “Moga-moga KAMi tidak menjadi NEO-PPMI” Gie menggambarkan bagaimana KAMI terbagi menjadi  dua kubu diikuti kelompok-kelompok mahasiswa pro Soekarno yang dan menuduh kelompok yang berlawanan dengan mereka adalah anti Soekarno, anti pemerintah, anti revolusi, bahkan menuduh KAMI sebagai tunggangan CIA dan Nekolim. 

Walaupun Gie adalah individu di kelompok KAMI yang anti PKI, namun ia tetap berpandangan bahwa penumpasan PKI harus sejalan dengan perbaikan ekonomi. Artinya, demonstrasi tidak boleh hanya melahirkan upaya protes tanpa hasil. Tujuannya harus realistis untuk menekan kabinet dwikora membuat kebijakan tanpa menekan atau mengancam kesejahteraan masyarakat. 

Dalam hal ini, posisi Soe Hok Gie yang memerankan seorang aktivis tidak berdiri dua kaki ataupun menumpukan satu kaki, yakni sebuah kepentingan dan mengabaikan kepentingan yang lebih seimbang. Gie konsisten ikut serta bahkan menjadi orang yang bertanggung jawab dalam jalannya aksi demonstrasi. Ia adalah salah satu garda terdepan dan pemancing Long March pada beberapa aksi demonstrasi. Dibantu oleh GM-SOS yang menjadi wadah bagi Gie untuk menyebarkan pamflet dalam menyerukan gerakan aksi, Gie tetap pada pendiriannya. tujuan ia turun ke jalan tidak lebih dari menyalurkan kepentingan rakyat dan tidak akan pernah menunggangi suatu kepentingan tertentu, apalagi berkompromi pada pihak yang ingin menyurutkan keadilan dan kebebasan. 

Gie tidak berkompromi pada pihak manapun, termasuk ABRI yang pada akhirnya memenangkan pertarungan politik di Jakarta. Tepat pada kejatuhan Presiden Soekarno dan Surat perintah 11 Maret dikeluarkan, kekuasaan Presiden Soekarno perlahan digerogoti oleh Soeharto dan berbagai perwakilan korban Gestapu. Pidato pertanggungjawaban Soekarno atas G30S ditolak berturut-turut oleh AH Nasution dan segera berakhirnya rezim orde lama. Soekarno digantikan oleh Jenderal Soeharto. ABRI berkuasa di kabinet dan kebijakan pertama Soeharto adalah melakukan dwifungsi ABRI diikuti oleh pihak-pihak mahasiswa yang dianggap berjasa dalam upaya menurunkan rezim Soekarno. Gie menolak dengan keras bahkan mengutuk teman-temannya yang kini menjilat kepada rezim yang baru. bahkan dalam bentuk protesnya, Gie sampai mengirimkan peralatan make up kepada teman-temannya sebagai bentuk sindiran, bahwa perjuangan yang mereka lakukan digadaikan dengan posisi dan jabatan pemerintah. Bgi Gie demonstrasi adalah ujung tombak bagaimana demokrasi itu tetap hidup. Pergulatan pikiran harus tetap ada, kaum intelektual tidak boleh mengambil bagian [ada kepentingan apapun. 

Walaupun Gie frustasi terhadap teman-temannya yang dahulu berjuang, ia tetap mengkritik dan mengingatkan kepada mereka bahwa perjuangan harus tetap ada. Beberapa bentuk kritik ditulis oleh Gie kepada kawan-kawannya ia tulis pada harian Indonesia raya, “Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah-1969” atau “kenangan-kenangan Bekas Mahasiswa : Dosen-dosen juga perlu Dikontrol-1969” di harian mahasiswa Indonesia. Tentu banyak sekali yang saat itu tidak terima. upaya Gie untuk mengkritik malah memunculkan musuh-musuh baru bagi dirinya.

Selain kepada kawan-kawan seperjuangannya di angkatan 1966, Gie tidak gentar untuk menyuarakan kegelisahannya tentang apa yang terjadi pada upaya pembantaian PKI setelah kudeta. Ia menuliskan :Di sekitar peristiwa pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali-1967 di harian Mahasiswa Indonesia”. tulisannya secara gamblang, menggambarkan dan mengutuk secara halus kebiadaban militer untuk membantai orang-orang PKI atau yang dituduh  PKI tanpa proses hukum apapun. Hasilnya, Gie hanya menambah musuh bahkan beberapa kali mendapat ancaman. Gie pernah dilempar surat kaleng yang berisi ancaman dan hinaan rasial. Namun Gie tetap konsisten dan tidak peduli.

Semeru dan Jenjang Desember 

Gunung tertinggi di pulau jawa itu mengungkap akhir dari Soe Hok Gie. Namun, kemungkinan inilah dambaan-nya. Walau ia tidak secara langsung mengungkapkan kerinduannya untuk mati muda, beberapa narasi dalam buku tentang dirinya seperti “soe Hok Gie sekali lagi” ataupun “Catatan seorang Demonstran” menjelaskan ada sebuah kerinduan yang dimiliki oleh pribadi Soe Hok Gie tentang akhir dari sebuah kehidupan.   “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan yang tersial ialah berumur tua, rasa-rasanya memang begitu. Berbahagialah mereka yang mati muda.”. Gie meninggal di usia muda. Ia meninggal di 16 Desember 1969, tepatnya satu hari sebelum usianya genap 27 tahun. Diketahui Gie meninggal karena menghirup gas beracun di tepi puncak Semeru. ia meninggal bersama satu temannya, Idhan Lubis. gei ditemukan oleh tim pendaki termasuk sahabatnya, Herman Lantang yang mendekap Gie untuk segera menurunkan jasadnya. 

Soe Hok Gie tidak  meninggalkan kata-kata atau sepotong gagasan yang hanya untuk diamati oleh para penerusnya ataupun masyarakat. Gie meninggalkan sebuah keberanian, ia meninggalkan nilai untuk tetap diteruskan oleh para kaum intelektual. Gie ingin meneruskan bahwa kaum intelektual tidak boleh tidak memiliki idealisme. Mereka  harus tetap melihat realitas dengan kesehatan berpikir. 

Puisi Soe Hok Gie yang terakhir, 

ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku disisimu sayangku

bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mandalawangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

tapi aku ingin mati disisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu

mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegaklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”

(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969)

Daftar Pustaka 

Soe Hok Gie. Catatan Seorang Demonstran. jakarta: Pustaka LP3ES, 2005.

Soe Hok Gie. Stanley, Santoso Aris (eds).  Zaman Peralihan. Yogyakarta : Mata Bangsa, 2016.

Badil Rudy dan benti, Luki Sutrisno, Luntungan R, Nessy (ed,). Soe Hok Gie Sekali Lagi : Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2009.

Amirido Rizal. Soe Hok Gie dalam Pergerakan Mahasiswa (1942-1969). Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo Genta. Vol. 2 No. 2. 2014. 

Riri Riza. (Sutradara). (2005). Gie. Indonesia : Miles Films.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts