Hueyzahuatl: Eksekutor dari Tanah yang Mempesona Tahun 1520-1798

Di bagian utara Amerika Serikat terdapat banyak peradaban kuno, salah satunya suku Aztec. Suku Aztec menjadi pintu gerbang datangnya pandemi Hueyzahuatl yang pada akhirnya menyerang ke seluruh penjuru dunia.

Oleh Siti Adira Kania

Ada istilah “Jangan Menyepelekan Hal Kecil”, hal ini dimaknai bahwa hal kecil pun dapat membawa hal besar. Seperti halnya di Amerika yang menyepelekan penyakit cacar, namun akhirnya menjadi penyebab kematian terbesar di Amerika pada saat itu. Perjalanan virus Hueyzahuatl atau cacar di Amerika diawali dengan munculnya penjelajah Hernan Cortēs berkebangsaan Spanyol yang telah menyelesaikan misi pelayarannya atas kuba dan melanjutkan misi pelayaran berikutnya di sebuah daratan kuno Meksiko.

Di bagian utara Amerika Serikat terdapat banyak peradaban kuno, salah satunya suku Aztec. Suku Aztec menjadi pintu gerbang datangnya pandemi Hueyzahuatl yang pada akhirnya menyerang ke seluruh penjuru dunia. Siapa yang menyangka bahwa suku tersebut dapat menjadi awal dari mimpi buruk bagi manusia pada saat itu. Mimpi buruk ini berawal pada saat penakluk berkebangsaan Spanyol bernama Hernan Cortez dan Fransisco pizzaro beserta 500 anak buahnya melakukan perjalan dan singgah di suatu wilayah di utara Amerika. Seperti yang dilansir dari Theconversation menyatakan bahwa

“The Spaniard Hernán Cortés set sail from Cuba to explore and colonize Aztec civilization in the Mexican interior “(Gunderman, 2019).

Tujuan mereka datang karena tertarik dengan kota Tenochtitlan yang indah dan mempesona, karena itulah mereka ingin menaklukan kota tersebut. Pada tahun 1521 awal kedatangannya Cortēs beserta pasukannya tidak disambut baik apalagi setelah apa yang mereka lakukan kepada kepala suku Aztec. Dilansir dari The Associated Press menyatakan bahwa

Hernán Cortés and his band of a few hundred Spaniards had been kicked out of the Aztec capital of Tenochtitlan, today’s Mexico City, on June 30, 1520, by angry residents after the conquistadors took the emperor Moctezuma captive and he died (Verza,2020)

Cortēs dan anak buahnya serta dibantu warga lokal yang tidak menyukai gaya kepemimpinan penguasa suku Aztec, membentuk aliansi kerjasama untuk menjatuhkan kepemimpinan saat itu. Hanya dalam kurun waktu dua tahun, Cortēs dapat menaklukan Aztec. Setelah penguasa Aztec Montezuma wafat, Cortēs mengklaim kota Tenochtitlan untuk Spanyol pada 1522. Alasan kemenangan Cortēs dikarenakan pada waktu berperang, Aztec sedang dilanda wabah penyakit virus cacar.

Virus cacar ini masuk ke masyarakat suku Aztec dibawa oleh tentara Spanyol yang sebelumnya pernah berada pada satu kapal yang ditumpangi oleh budak Afrika yang sudah terinfeksi cacar.

When Narvaez’s expedition set sail from Cuba, it had on board an enslaved African named Francisco de Baguia. Debaguia had smallpox. He passed the disease on to a Spanish soldier. This soldier was one of the casualties left behind when the Spanish fled Tenochtitlan. (Peters, 2005, hlm.17)

Tentara yang terkena virus tersebut menyebarkan virus tersebut ke masyarakat suku Aztec dan membawa mimpi buruk bagi warga Aztec yang belum pernah sama sekali mengalami penyakit cacar. Karena wabah ini, setidaknya 40% penduduk asli suku Aztec binasa hanya dalam waktu 1 tahun. Virus cacar ini membuat pasukan Aztec kalah dan menurunnya semangat juang.

Takdir yang Tidak Terduga

Penyakit cacar yang dulu dianggap sebagai mimpi buruk bagi warga Amerika namun, setelah 200 tahun hal itu berubah menjadi senjata mematikan. Virus variola yang dulu ditakuti, 200 tahun kemudian digunakan kembali. 

Pada masa sebelum kebangkitan revolusi Amerika, terdapat sebuah peperangan yang disebut dengan “seven years’ war” atau perang 7 tahun. Peperangan tersebut berlangsung selama tahun 1754-1763 antara Perancis dan Indian, disebutkan bahwa mereka memakai wabah cacar sebagai senjata pemusnah dibawah komando Fort Pitt. 

Hal ini seperti yang dikatakan oleh Kapten Henry Bouquet dalam (Peters, 2005, hlm. 40)

Baca Juga :   Game di Masa Lalu; Permainan Tradisional di Seluruh Dunia

“Could it not be contrived to send the smallpox among these disaffected tribes of Indians? We must on this occasion use every stratagem in our power ro reduce the.”

Berdasarkan pernyataan di atas bahwa mereka mencoba untuk menginokulasi orang indian dengan selimut dan berharap agar suku indian terkena penyakit tersebut. Akibat dari upaya tersebut, banyak orang indian yang terkena virus cacar. Dilansir oleh International Journal of infectious Disease

“Soldiers distributed blankets that had been used by smallpox patients with the intent of initiating outbreaks among American Indians. An epidemic occurred, killing more than 50% of infected tribes.” (Alibek,2004,hlm.54)

Sesuai pernyataan diatas, cacar membunuh 50% suku Indian melalui selimut yang dibagikan oleh tentara. Selimut tersebut digunakan dan membuat suku Indian tertular penyakit tersebut. Perang ini menularkan virus cacar, karena para tentara tertular virus cacar. Tentara yang tertular kembali ke rumah dan menginfeksi keluarga mereka yang akhirnya menginfeksi juga orang lain disekitarnya. Virus ini terus menular hingga ke New Englands, Canada, New York, Pennsylvania, Virginia, South Carolina dan area lainnya yang berada di perang Perancis dan Indian.

Kavaleri Rahasia

Sebelum menjadi negara Adidaya seperti sekarang, Amerika juga mengalami masa peperangan untuk membebaskan diri dari imperalis yang terus merongrong. Revolusi Amerika merupakan titik balik kebangkitan para penduduk asli untuk melepaskan diri dari cengkeraman imperialis. Sepanjang tahun 1765-1783 suku Indian berperang dengan inggris untuk mendapatkan kebebasannya (liberal). Sekitar 155.000 orang yang tinggal di Amerika dan Kanada tewas dengan estimasi 25.000 orang gugur karena perang sisanya yakni, 130.000 orang tewas karena penyakit cacar.

Pada April 1775 terjadi peristiwa pengepungan Boston, ketika itu pasukan imperialis inggris kalah di daerah Lexington dan Massachusetts. Diwaktu bersamaan, pasukan militan amerika melakukan pengepungan atas pasukan inggris yang kalah serta memutuskan komunikasi mereka dengan kerajaan inggris. Sebuah malapetaka terjadi kala pengepungan berlangsung, kota yang dikepung ternyata terinfeksi oleh wabah virus cacar. Bukan masalah besar bagi tentara inggris karena mereka pernah diinokulasi. Namun, berkebalikan bagi warga New England yang berada di Boston. Mereka tidak pernah diinokulasi sehingga lebih rentan terinfeksi dan tertular virus cacar pada saat itu bahkan dalam satu hari sekitar 10-30 upacara pemakaman terjadi disana.

Kedatangan pasukan kontinental pada tanggal 2 Juni 1775 dibawah pimpinan George Washington pada saat itu harus bertanggungjawab atas keadaan yang terjadi. Washington tahu bagaimana kengerian penyakit cacar tersebut sebab ia pernah ada di ambang kematian karena hal yang sama. Washington melihat jika penyakit cacar ini sangat berpengaruh terhadap perlawanan Amerika kepada Inggris. Inokulasi merupakan jalan yang dipilih Washington untuk melindungi tentaranya dari penyakit cacar namun, hal itu dibatalkan oleh Washington menimbang kalau kerugian yang dia dapatkan lebih besar dibanding keuntungan.

Berlanjut hingga awal November, wabah cacar masih menjangkit kota Boston. Melihat hal tersebut para komandan Inggris ingin memanfaatkan hal itu, Washington menyuruh orang yang kabur dari Boston untuk tidak mendekati pasukan kontinental dan ternyata keputusannya berhasil. cacar tidak mampu menerobos pasukan amerika di dekat boston. Pada akhirnya jenderal Howe kalah dan menyerahkan boston ke Amerika pada 17 Maret 1776.

Ditaklukkannya Sang Eksekutor

Di zaman dulu cacar sangat ditakuti, seperti mimpi buruk yang terus ada setiap hari. Keadaan itu membuat banyak ilmuwan dari berbagai latar belakang medis berlomba untuk menemukan jalan akhir dari wabah penyakit cacar. Dari sekian banyak ilmuwan yang berlomba di bidang medis, kita harus berterima kasih kepada Edward Jenner. Jika bukan karena kerja keras beliau dalam dunia imunologi maka dunia tidak akan terbebas dari cacar, meski bukan beliau orang pertama yang mencetuskan gagasan tersebut namun, beliau merupakan pencipta vaksin pertama di dunia. 

Baca Juga :   Budaya Jepang dan Dunia Barat Pada Zaman Taisho

Dalam perjalanannya, banyak teori dan metode yang ditemukan dan yang paling terkenal adalah metode inokulasi. Metode inokulasi berawal dari Jenner muda yang bertemu dengan seorang wanita berprofesi sebagai pemerah susu sapi memiliki lesi cacar di tangannya pada tahun 1796. Nanah pada wanita bernama Sarah Nelms itu menjadi sumber materi percobaan yang dilakukan oleh Jenner yang akan diinjeksikan kepada pencoba.

Lesi dari Nelms itu diinjeksikan kepada anak tukang kebun di rumahnya berusia 8 tahun bernama James Phipps. Pada mulanya Phipps tidak mengalami masalah apapun namun keesokannya Phipps demam dan merasa tidak nyaman pada tubuhnya dan hal itu terjadi selama sembilan hari namun, setelah sembilan hari berlalu keadaan Phipps kecil berangsur membaik. Lalu dari percobaan ini, Jenner berkesimpulan bahwa teorinya sempurna. Setelah penemuannya beliau yakini berhasil, Jenner bergegas mempublikasikan nya namun, hal itu ditolak. Seperti yang dilansir dari Baylor University Medical Center

“In 1797, Jenner sent a short communication to the Royal Society describing his experiment and observations. However, the paper was rejected.” (Riedel,2005,hlm.24)

Karena ditolak oleh Royal Society, Jenner terus melakukan serangkaian percobaan lain guna menunjang teorinya tentang cacar sampai akhirnya beliau menerbitkan sebuah booklet kecil berjudul An Inquiry into the Causes and Effects of the Variolae Vaccinae, a disease discovered in some of the western counties of England, particularly Gloucestershire and Known by the Name of Cow Pox. 

Metode inokulasi merupakan pintu gerbang ditemukannya vaksinasi. Dalam bahasa latin, kata cacar sapi adalah vaccinia. Jenner akhirnya menyebutnya sebagai vaksinasi untuk nama metode ini. Untuk menguji teorinya ini, Jenner pergi ke London sebagai relawan vaksinasi dan akhirnya dalam waktu singkat vaksinasi menjadi sangat populer. Terlepas dari banyaknya kontroversi dan kesalahan yang Jenner lakukan mengenai teorinya namun, semua itu merupakan titik balik dimana vaksin bisa ditemukan dan pada tahun 1800 vaksin dikenal di sebagian besar wilayah Eropa.

Vaksinasi dinilai sangat berarti bagi parlemen Inggris oleh karena itu pada tahun 1802 mereka memberikan sejumlah uang kepada Jenner sebanyak £ 10.000. Lima tahun kemudian ketika Parlemen Inggris memberikan dana untuk Jenner sebagai penghargaan, Jenner mendapati bahwa ia juga menerima ejekan. Seperti yang dilansir dari Baylor University Medical Center

“Five years later the Parliament awarded him £20,000 more. However, he not only received honors but also found himself subjected to attacks and ridicule.” (Riedel,2005,hlm.24)

Edward Jenner menjadi dokter hingga akhir hayatnya, melakukan vaksinasi gratis di rumahnya. Melepaskan diri dari caci maki selama satu dekade, ia pergi dan memutuskan menjadi dokter di pedesaan Berkeley lalu meninggal karena penyakit Stroke. Setelah kematian Jenner, vaksin mulai dikenal dan digunakan oleh masyarakat dunia lewat para ilmuwan medis hingga pada tanggal 8 Mei 1980 Majelis Kesehatan Dunia mengumumkan bahwa dunia sudah terbebas dari penyakit cacar dan menganjurkan untuk berhenti melakukan vaksin.

Daftar Pustaka

Alibek,K.(2004). Smallpox: a disease and a weapon. International Journal of Infectious Disease, 851,54-58. doi: http://intl.elsevierhealth.com/journals/ijid diakses pada: 13 Mei 2021

Gunderman, R. (2019). How smallpox devastated the Aztecs – and helped Spain conquer an American civilization 500 years ago. [Online]. Diakses dari https://theconversation.com/how-smallpox-devastated-the-aztecs-and-helped-spain-conquer-an-american-civilization-500-years-ago- 111579#:~:text=In%20addition%20to%20North%20America’s,by%2090%20percent%20or%20more diakses pada: 3 Mei 2021.

Peters, S. T. (2005). Epidemic Smallpox in the New World. New York: Benchmark Books

Riedel,S.(2005). Edward Jenner and the history of smallpox and vaccination. Baylor University Medical Centre. 18(1), 21-25. doi: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1200696/

Verza, A. (2020). 500 years ago, another epidemic swept Mexico: smallpox. [Online]. Diakses dari https://apnews.com/article/virus-outbreak-mexico-epidemics-mexico-city-pandemics-f55b405ed17e4bf5b30c1b903da7bc40 diakses pada: 3 Mei 2021

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts