Gerakan Feminisme Indonesia; Antara Adat, dan Modernitas pada Awal Abad 20 

Kebebasan merupakan sesuatu yang selalu diperjuangkan oleh kaum perempuan sejak akhir abad ke-19. Munculnya modernitas pada awal abad ke-20 sangat menguntungkan kaum perempuan karena mereka mulai keluar dari belenggu adat dan tradisi yang berlaku di Indonesia. Emansipasi perempuan Indonesia mulai muncul pada tahun 1900 seiring dengan adanya politik etis atau politik balas budi yang diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di daerah jajahannya, yaitu Indonesia.

Oleh Ilma

Kaum perempuan di Indonesia memiliki keterbatasan untuk berhubungan dengan dunia luar sebelum abad 20. Pembatasan ini disebabkan karena adanya adat yang telah membelenggu hak mereka. Adat dan tradisi di Indonesia secara turun-temurun mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat. Pengaturan tersebut mengkerdilkan hak kaum perempuan karena mereka dipingit dalam rumah, dan apabila sudah masuk usia pernikahan, maka kewajiban mereka hanya sebatas mengurus rumah tangga. Oleh karena itu, perempuan di Indonesia sebelum abad ke-20 berada di bawah bayang-bayang adat dan tradisi yang membatasi mereka dengan kehidupan luar.

Peranan perempuan dinilai oleh tradisi hanya sebagai seorang ibu dan seorang istri dalam kehidupan berumah tangga. Perempuan bertugas dalam kegiatan memasak, mencuci, serta mengabdikan dirinya dalam mengurus rumah tangga. Bahkan pada masa kolonial, kaum perempuan Indonesia sudah dinikahkan pada usia 14 tahun. Pernikahan dini yang marak terjadi pada masa kolonial tersebut, menyebabkan adanya poligami. Hal tersebut terjadi karena suami merasa tidak puas dengan istrinya yang tidak dapat melayaninya dengan baik seperti tidak pintar dalam hal memasak sehingga mereka mencari istri baru yang lebih matang dalam mengurus rumah tangga. Poligami tersebut memberikan kehancuran bagi kaum perempuan karena pada awalnya pun mereka menikah di usia yang masih belia karena suatu keterpaksaan dan setelah itu mereka juga harus menerima beratnya kehidupan berumah tangga. 

Penerimaan pernikahan di usia dini bagi para perempuan Indonesia menjadi hal yang lazim. Perempuan memiliki banyak keterbatasan dalam bidang pengetahuan karena mereka buta huruf. Hal ini tidak dipermasalahkan dalam adat dan tradisi yang berlaku karena yang terpenting perempuan senantiasa pandai dalam mengurus rumah tangga. Keterbatasan dalam pengetahuan membuktikan bahwa perempuan Indonesia sebelum abad 20 termasuk golongan terbelakang. Keterbelakangan yang ada pada diri perempuan inilah yang nantinya memunculkan gerakan feminisme di Indonesia.

Awal abad 20, yaitu pada tahun 1900, diberlakukan politik etis atau politik balas budi di Indonesia oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Salah satu bidang yang menguntungkan bagi kaum bumiputera, yaitu bidang edukasi atau pendidikan. Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan sekolah-sekolah bagi kaum laki-laki bumiputera, dengan Bahasa Belanda sebagai pengantar. Sekolah yang disediakan tersebut tidak terbuka bagi kaum perempuan, apabila ada kaum perempuan yang memperoleh pendidikan, perempuan itu berasal dari kaum bangsawan serta bergabung dengan sekolah anak-anak Belanda. Pendidikan yang berkembang di Indonesia memunculkan adanya kaum terpelajar Indonesia. Kaum terpelajar tersebut berasal dari kaum laki-laki dan perempuan di Indonesia.

Tonggak awal bagi gerakan feminis di Indonesia, yaitu berasal dari perempuan Jawa yang merupakan putri bupati Jepara bernama R.A. Kartini. Kehidupan perempuan kelas bangsawan sedikit berbeda dengan kehidupan yang dijalani oleh perempuan dari kelas sosial rendah. Menurut Cora Vreede-De Stuers, perempuan Jawa terbagi kedalam empat kelas yaitu; 

  1. Golongan miskin. Perempuan yang termasuk ke dalam golongan ini tidak mendapatkan pendidikan. Apabila telah cukup umur untuk menikah, maka mereka bertugas dalam mengurus rumah tangga. Selain itu mereka juga bekerja di sawah dan menjual hasilnya untuk membantu perekonomian dalam rumah tangganya.
  2. Golongan menengah. Perempuan pada kelas sosial ini juga tidak berkesempatan untuk bersekolah. Mereka menikah pada usia yang ditentukan dalam adat, dan mengurus rumah tangga, serta juga membantu suami di sawah ataupun berdagang.
  3. Golongan santri. Perempuan pada golongan juga tidak bersekolah, namun mereka mendapatkan pelajaran agama di rumah.
  4. Golongan priyayi atau bangsawan. Perempuan dari kelas sosial ini mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan mulai dari bangku sekolah dasar.
Baca Juga :   Perkembangan Pendidikan Islam Modern di Indonesia

Kartini dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang menyatakan bahwa perempuan harus dapat mengembangkan dirinya dan keluar dari adat dan tradisi yang mengkerdilkan hak-hak mereka. Apabila perempuan memilih untuk fokus mengurus rumah tangga, setidaknya Kartini mengatakan mereka harus berpendidikan dan tidak buta huruf, karena nantinya mereka akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kartini mendukung emansipasi perempuan, dengan membuka  sebuah kelas kecil di rumah ayahnya. Ia mengajarkan perempuan-perempuan dari golongan rendah baca-tulis. Hal ini mencegah agar perempuan tidak buta huruf dan mampu menyesuaikan diri dengan laki-laki yang berasal dari kaum terpelajar. Selain baca-tulis, Kartini juga mengajarkan cara menjahit kepada murid-muridnya.

Berbeda dengan yang terjadi di Jawa, di Minangkabau perempuan masa kolonial diklasifikasikan atas. Pertama, perempuan Minangkabau yang benar-benar konservatif, setia dengan adat dan cara berpakaiannya masih tradisional.  Kedua, perempuan Minangkabau yang masih setia dengan adat-istiadat, tetapi terbuka untuk pembaruan (mereka masih berpakaian adat, menjalankan adat-istiadat, namun pada ruang-ruang tertentu mereka mulai menerima nilai positif dari cara pikir Barat. Ketiga, perempuan Minangkabau yang benar-benar menganggap budaya Minangkabau itu kolot, terbelakang, dan mereka biasanya bergaya Barat, bahkan ada diantaranya yang meninggalkan Islam sebagai agamanya.

Perjuangan kesetaraan gender perempuan Minangkabau pada masa kolonial tentang pendidikan kaumnya melahirkan berbagai gagasan berupa pendirian sekolah Barat serta membentuk media dan organisasi. Gagasan mereka diantaranya gagasan Islam, kemajuan, dan kebangsaan. Jika, di Jawa memiliki Kartini sebagai tonggak emansipasi perempuan, maka di Minangkabau memiliki Roehana Koeddoes sebagai penggerak emansipasi, yaitu dengan mendirikan sekolah bernama Roehana School di Kotogedang tahun 1916.

Pendidikan tidak hanya berlaku bagi kaum laki-laki saja, namun juga berlaku bagi kaum perempuan. Perempuan berperan sebagai seorang ibu nantinya dengan peran utamanya, yaitu madrasah pertama bagi anak-anaknya. Hal tersebut membuktikan bahwa perempuan juga harus berpendidikan agar nantinya mampu mengurus anak-anaknya dengan baik. 

Kaum terpelajar perempuan masa kolonial menempatkan modernitas sebagai cara pandang dunia (world view) baru mereka. Nilai dan modernitas melahirkan kelompok baru, identik terhadap kemunduran terhadap tradisi, dan berorientasi pada keduniawian semata. Modernitas membentuk identitas suatu bangsa dan membentuk identitas tradisional menjadi identitas modern. Dengan demikian cendekiawati Indonesia memiliki cara pandang yang relatif terbuka pada gagasan di luar nilai-nilai tradisional mereka pada awal abad ke 20.

Referensi

Ajisman, dkk. 2017. Tokoh Inspiratif Bangsa. Jakarta: Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Citra Mustikawati. “Pemahaman Emansipasi Wanita”. Jurnal Kajian Komunikasi, volume 3, Nomor 1, Juni 2015.

Cora Vreede- De Stuers. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu.

Mestika Zed. 2010. Islam dan Budaya Lokal Minangkabau Modern. Padang: Pusat Kajian Sosial-Budaya dan Ekonomi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang.

Meywa Ajeng Arinahaten. “Pertentangan Pemikiran antara Gerakan Feminisme dan Anti-Feminisme di Indonesia”. Kusa Lawa, Vol. 1, No. 2, tahun 2021.

Mochtar Naim. 2006. Tiga Menguak Tabir: Perempuan di Persimpangan Jalan. Jakarta : CV. Hasanah.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts