Front Pemuda Sunda dan Dinamika Politik Jawa Barat Tahun 1956

Front Pemuda Sunda merupakan fusi dari berbagai organisasi Sunda. Gerakan Front Pemuda Sunda fokus dalam lapangan politik lokal dan memperjuangkan “Ke Sundaannya”. Situasi yang tidak stabil di Jawa Barat dan merosotnya kehidupan ekonomi mendorong kaum muda Sunda untuk bergabung dalam pergerakan politik.

Oleh Aditya Rachman

Pada kurun waktu 1950 hingga 1959 banyak terjadi pergolakan-pergolakan yang menuntut pemisahan diri dari pemerintah pusat, seperti RMS (Republik Maluku Selatan), Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta), PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), maupun pemberontakan ideologi seperti PKI Madiun, DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat yang meluas ke berbagai daerah lain. (Finaldin, Tom dan Sali, 2006 : 32). Sejalan dengan berbagai pergolakan yang terjadi, pemuda-pemuda Sunda khususnya mengadakan suatu pertemuan, terutama atas munculnya rasa tidak puas di kalangan mereka di pedesaan, gerombolan DI/TII yang sudah bertahun-tahun mengganas, tetapi pemerintah seperti ragu untuk menumpasnya.

Hampir setiap hari ada saja berita tentang kampung yang diserbu gerombolan, korban yang meninggal, rumah yang dibakar. Sampai-sampai pemberontakan DI/TII memunculkan suatu pameo di kalangan orang Sunda ”Pa Karto perang jeung Pa Karno, nu jadi korbanna Mang Karta jeung Mang Karna” yang dalam arti Pak Karto(Suwiryo) bertikai dengan Pak (Su)Karno yang diartikan sebagai orang Jawa, yang menjadi korban Mang Karta dan Mang Karna yang diartikan sebagai orang Sunda. Hal ini yang menjadi faktor kuat memuncaknya pergerakan organisasi-organisasi Sunda (Rosidi 2008, hlm. 176-177).

Disamping pemberontakan DI/TII, ada pula faktor lain yang membuat pemuda Sunda menggencarkan pergerakannya. Dominasi Tionghoa di perguruan tinggi, inipun menjadi suatu penyebab pemuda Sunda bersatu, mereka merasa resah akan diskriminasi dalam negerinya sendiri, pemuda Sunda menganggap bahwa orang Tionghoa lebih banyak di perguruan tinggi, begitupun dengan dosen-dosennya yang menyebabkan sedikit banyaknya terjadi sikap diskriminatif terhadap orang-orang pribumi. 

Perasaan tidak puas semakin menjadi tatkala banyaknya ditemukan kekurangan-kekurangan dalam mengelola negara. Pada saat itu negara mengalami ketidakstabilan dalam penataan dan pertahanan kedaulatan, serta gagalnya percobaan sistem demokrasi di Indonesia. Disamping itu, karena tadi, terjadinya permasalahan di bidang ekonomi dan keamanan, munculnya rasa tidak puas maka muncullah etnosentrisme Sunda. Sejalan dengan hal tersebut Ricklefs (2008, hlm. 494) mengatakan bahwa ide demokrasi gagal diterapkan di tengah masalah ekonomi dan kependudukan yang dialami bangsa. Sehubungan dengan instabilitas politik, baik munculnya pemberontakan-pemberontakan, pembunuhan, penjarahan dan munculnya rasa tidak puas terhadap pemerintah. 

Pada tanggal 17 dan 18 Maret 1956, sekitar 50 orang dari berbagai utusan organisasi diantaranya  Pemuda Sunda, Putra Sunda Bogor, dan Daja Nonoman Sunda Djakarta, serta perseorangan yang terkait mengadakan pertemuan di Bogor. Dalam pertemuan itu dibicarakan beberapa pokok persoalan untuk mempersatukan usaha semua organisasi pemuda Sunda dan cara mengangkat derajat Suku Sunda. Pertemuan tersebut adalah cetusan jiwa pemuda-pemuda Sunda yang telah lama tertekan akibat kepincangan dan ketidakadilan. (Sjafari Irvan, 2014). Putera Sunda didirikan di Bogor oleh Saikin Suriawidjaja dan anggota-anggotanya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa pertanian Bogor pada 1956. Sementara Nonoman Sunda berdiri pada 13 Oktober 1952 di Bandung dan Mitra Sunda pada 5 Oktober 1952 di kota yang sama. 

Pada hari pertama pertemuan tersebut diputuskan pembentukan Badan Musyawarah Pemuda Sunda dan Front Pemuda Sunda. Badan Musyawarah Pemuda Sunda pertama diketuai oleh Alisyahbana Kartapranata. Sementara Front Pemuda Sunda diketuai oleh R. Muh Apit S.K dari Bandung dan wakilnya adalah Adeng S. Kusumawidjaja. Sementara Sekretaris jendralnya Adjam S. Syamsupradja dan bendaharanya adalah Nan Katrina. Badan Musyawarah Pemuda Sunda bersifat kemasyarakatan dan kebudayaan, sementara Front Pemuda Sunda adalah bersifat perseorangan dan membicarakan keadaan Suku Sunda (Pikiran Rakjat, 20 Maret 1956; dalam artikel Sjafari Irvan, 2013)

Gerakan Front Pemuda Sunda fokus dalam lapangan politik lokal dan memperjuangkan “Ke Sundaannya”. Situasi yang tidak stabil tadi dan merosotnya kehidupan ekonomi mendorong kaum muda Sunda untuk bergabung dalam pergerakan politik. Munculnya kesadaran putra daerah yang memperjuangkan kepentingan rakyat dengan bekal pendidikan dan identitas kedaerahan.  Orang sunda lebih senang berada di lingkaran Sunda, namun hal ini tidak membatasi pergerakan mereka. Front Pemuda Sunda, sebagai organisasi dengan jaringan politik menjadi tempat hubungan sosial dan kerjasama, berkompetisi dan berkonflik dalam perebutan sumberdaya politik dan ekonomi serta arena ekspresi identitas budaya (Sujatmiko Iwan G, 2014, hlm. 5).

Meskipun Front Pemuda Sunda merupakan fusi dari berbagai organisasi Sunda sebagaimana diulas, dalam pergerakan pemuda Sunda, Front Pemuda Sunda merupakan organisasi yang paling terkenal saat itu. Hal ini dikarenakan pergerakan dari Front Pemuda Sunda begitu radikal mengkritik pemerintahan saat itu. Sejalan dengan hal tersebut dalam bukunya muncul anggapan terhadap Front Pemuda Sunda, (Rosidi Ajip, 2010, hlm. 389) “sampai-sampai Nasution menganggap bahwa Front Pemuda Sunda merupakan organisasi ilegal” namun pendapat tersebut dibantahkan “Tidaklah benar kalau Nasution menyebut Front Pemuda Sunda itu organisasi ilegal, karena berita tentang pembentukannya dimuat dalam pers pada waktu itu, struktur dan susunan pengurusnya juga dimuat dalam berita, bahkan juga alamatnya”.

Baca Juga :   Masuknya Pasukan Salib dan Berkobarnya Perang Salib di Nusantara

Suatu gerakan yang radikal dari Front Pemuda Sunda yaitu ketika Adeng S. Kusumawidjaja sebagai wakil Front Pemuda Sunda menyebarkan pamflet pada peringatan hari kemerdekaan, tanggal 17 Agustus 1956, yakni seruan untuk menghancurkan PNI, imperialisme Jawa dan Soekarno. Hal itu terlihat jelas pada judul utama selebaran tersebut yang berbunyi “HANTJURKAN PNI DAN IMPERIALISME DJAWA“. Pada judul tersebut kita dapat mengetahui bahwa prasangka sentimen dan antipati utamanya ditujukan pada PNI dan orang Jawa. Surat selebaran itu tertanggal Sunda Kelapa 1 Agustus 1956 No.0013/A-O/1956 (Arsip Pusat Dokumentasi AD No. 0766, hlm.1). Pamflet ini ditandatangani oleh Adeng S. Kusumawidjaja selaku Wakil Ketua Umumnya dan Adjam D.Sjamsupradja selaku Sekretaris Jendralnya. Pamflet tersebut menimbulkan berbagai reaksi kontroversial dari kalangan orang Sunda sendiri. Ada yang setuju sepenuhnya, ada yang setuju akan maksudnya tapi tidak setuju akan caranya (susunan kalimat yang kasar dan memaki-maki Bung Karno), ada yang menolak sepenuhnya, ada yang menolak dengan syarat.

Adanya pendapat yang dikeluarkan FPS sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap kondisi yang dialami sesungguhnya adalah suatu hal yang wajar pada negara Indonesia yang berusaha untuk menjadi negara yang demokratis. Satu hal yang membuat berbeda adalah cara dan kata-kata yang ditulis dalam selebaran tersebut yang terlihat begitu bernafsu dan tidak mengindahkan etika serta kesopanan dalam hal mengeluarkan pendapat. Ada kata-kata yang berupa cacian dan makian yang dilontarkan kepada Soekarno dan PNI selaku partai yang dibentuk oleh Soekarno, begitu kasar dan tidak pantas diucapkan oleh sebuah organisasi daerah yang menyatakan bahwa organisasinya adalah organisasi yang dibentuk atas dasar keluhuran budi orang Sunda (Chorianty, 2006, hlm. 32).

Isi selebaran Pamflet dari Front Pemuda Sunda yang antipati terhadap orang Jawa dan memaki PNI, antara lain :

  1. Tantangan jang kurang adjar terhadap HAK ASASI MANUSIA DAN KEHORMATAN SUNDA/INDONESIA jang dilantjarkan oleh partai jang menamakan diri PARTAI NASIONAL INDONESIA via instruksi Dewan Daerahnja no2/1956 dan dikuatkan oleh pimpinan umumnja, dengan sengaja kami dari GERAKAN SUNDA tidak membalasnja dahulu karena setjara ksatria Indonesia sedjati ingin memberi kesempatan sepenuhnja untuk memperbaiki ke-GOBLOGAN-KEGOBLOGANnja dalam kongres ke VIII-nja baru-baru ini. Namun njatanja – dalam usaha jang telah gagal menjembunjikan ketakutannja – djuga kesempatan jang terakhir ini disia-siakan belaka. 
  2. Apa jang dibitjarakan dalam kongres tersebut (terlepas dari ada atau tidaknja tercapai kuorum yang syah dan presentase anasir Djawa jang hampir 100% dan tergesa-gesa diadakannja), hanja hal-hal jang menundjukkan kesombongan/bombasme jang menundjukkan “hasil” jang telah ditjapai oleh anggota-anggotanja selama ikut dalam pemerintahan-pemerintahan hingga kini: prestise negara jang naik di luar negeri, kemakmuran rakjat (Ki Marhaen) jang meningkat dan karena dalam pilihan umum jang bersifat eksperimental jang baru lalu itu (berkat djasa-djasa dari badjingan-badjingannya jang korup, njolong, dll sehingga dana partainja mendjadi gemuk) setjara kebetulan menang- maka lalu akting ketuanja Kang Mas Sarmidie Mangunsarkoro tepuk-tepuk dada dan mendagel “ mengatakan bahwa partai kitalah jang no satu di seluruh dunia Indonesia ini. suatu hal jang sangat menggelikan bagi ki Marhaen asli umumnja di Pasundan. umum disini mengetahui bahwa rakjat tidak dojan sama sekali terhadap partai jang menggembar-gemborkan “marhaenisme” tapi bekerdja dan hasil-hasilnja mirip KROMOistis dan KROMOactig, penganut-penganutnja sesudah pada lari ke gerakan-gerakan provicialisme. tinggal beberapa gelintir anggota jang sebetulnja hanja menitipkan perut dan mentjari pangkat sadja. Jang djelas ialah, bahwa kebanjakan diantara mereka itu hanja eks-pegawai NICA dan mengenai mutu kejakinannja boleh diragukan sedikit 
  3. Soal-soal jang urgent sebaliknja (hal KEAMANAN JANG TERUS MEMUNTJAK, genting nasib 6.000.000 RAKJAT PENGUNGSI jang tidak beratap dan tidak berperiuk, POLITIK PERSONALIA JANG HANTAM-KROMO-ALS-MAAR-JAVAAN sampai kedalam Angkatan bersendjata) tidak disinggung-singgung sehingga tidak terlalu berlebihan bila kongres tersebut merupakan “DAGELAN” jang tidak lutju dan partai jang terhormat itu terpaksa kami beri nama “PARTAI NDAGELAN-mataram INDONESIA”. 
  4. ataukah maksud tuan-tuan jang sudah jadi BORDJUIS itu ingin kembali menundjukkan dia empunja ke-ULETAN dan keLIHAIANnja dalam bermanuver jang membelokkan dan menjesatkan perhatian (sebut sadja Taktik Burung Onta) terhadap masjarakat, jang karena kebanjakan pengalamannja jang pahit sekarang sudah djadi djemu-enek-sebel dan bentji terhadapnja sadja?.

Sumber : soekapoera.or.id

Atas pamflet tersebut muncul berbagai reaksi yang beragam, dalam berita harian Pikiran Rakjat PNI Jawa Barat mengeluarkan reaksinya dengan melakukan sidang pada tanggal 19 Agustus 1956 di Bandung. PNI juga mengeluarkan instruksi no 7/1956 yang isinya menyatakan para anggota untuk tenang, awas dan waspada. Di samping PNI sebagai yang dituju dalam pamflet, dari Persatuan Banten pun mengatakan bahwa putra-putri Banten yang tergabung dalam organisasi tersebut, menyatakan tidak setuju dengan pamflet FPS serta tidak mengakui adanya FPS. Mereka juga menyerukan kepada pemuda-pemuda asal Jawa Barat agar jangan mencontoh organisasi tersebut. Ada pula reaksi dari Badan Kerja Kongres Rakyat Jawa Barat yang menyatakan bahwa isi dan tujuan dari selebaran itu tergolong pada aksi-aksi subversif untuk memecah belah bangsa Indonesia, mengadu-domba suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain serta berupaya untuk menghancurkan negara kesatuan RI. 

Baca Juga :   Romantika Perjuangan Bunda Kemerdekaan

Setelah beberapa hari pamflet tersebar Badan Musyawarah Sunda melangsungkan rapat presidium di Bandung. Rapat itu dihadiri oleh Daya Nonoman Sunda, Mitra Sunda, Nonoman Sunda dan Putra Sunda. Mereka membicarakan persoalan yang timbul akibat isi surat selebaran Front Pemuda Sunda. Rapat itu mengeluarkan pernyataan bahwa isi surat selebaran Front Pemuda Sunda adalah cetusan jiwa pemuda-pemuda Sunda yang telah lama tertekan akibat kepincangan dan ketidakadilan.

Dalam harian Pikiran Rakjat ada juga pendapat yang pro terhadap selebaran FPS adalah dari wakil ketua DPD Provinsi Jawa Barat yang bernama Sapei yang juga sebagai anggota dari Dewan Partai Masyumi. Ia menganggap bahwa selebaran yang dikeluarkan oleh FPS adalah masukan yang berharga bagi Bung Karno dalam mewujudkan persatuan nasional. Lebih lanjut Sapei juga menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh FPS di alam demokrasi adalah sesuatu hal yang wajar dan lumrah dalam hal menyalurkan pendapat. 

Kolonel Sukanda Bratamanggala selaku pemimpin militer setempat menulis dalam harian Pikiran Rakjat dan berpendapat bahwa hendaknya permasalahan FPS itu dilihat dengan istilah “ jangan mencari hantu di siang hari “, yang artinya mencari sesuatu yang tak nampak, dan tenang. Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa tindakan FPS adalah ledakan dari perasaan jengkel dan kecewa terhadap keadaan masyarakat yang mereka anggap masih buruk.

Kol. Sukanda Bratamanggala, Pemimpin pejuang kemerdekaan front ...

Gambar : Kolonel Sukanda Bratamanggala

Sumber : id.pinterest.com

Ekor lain dari munculnya pamflet Front Pemuda Sunda yakni lima anggota parlemen, seperti Gatot Mangkupradja, Ardiwinangun, Djerman Prawiradinata, Katamsi Sutisnasendjaja dan Ino Garnida menyampaikan pertanyaan kepada pemerintah.

  1. Apakah pemerintah mengetahui latar belakang dan sebab musabab yang mengakibatkan letusan rasa ketidakpuasan kedaerahan seperti dimaksud?
  2. Bila pemerintah mengetahuinya apakah pemerintah bersedia memberi keterangan tentang latar belakang dan sebab musabab tentang soal itu?
  3. Dan dalam hal demikian tindakan apakah yang akan diambil oleh pemerintah untuk menghentikan dan kemudian menghilangkan soal-soal yang melatarbelakangi lahir dan hidupnya perasaan ketidakpuasan (Pikiran Rakjat, 5 September 1956, dalam Artikel Sjafari Irvan, 2013).

Disamping itu karena selebaran pamflet yang isinya menyerang PNI, Soekarno, dan kepincangan yang terjadi di Jawa Barat, muncullah suatu gagasan dari Ajip Rosidi untuk mengadakan Kongres Orang Sunda. Gagasan tersebut mendapat dukungan dari orang Sunda yang berada di Jakarta, kemudian juga dari para mahasiswa Fakultas Pertanian di Bogor, dan para pemuda dan mahasiswa di Bandung. Tapi yang menentukkan terselenggaranya kongres yaitu Kolonel Akil Prawiraredja. Dialah yang menyarankan Pemuda Sunda di Bandung agar bertemu dengan para mahasiswa Fakultas Pertanian di Bogor. Pertemuan tersebut menghasilkan terbentuknya panitia kongres. Namun yang terlaksana bukanlah “Kongres Orang Sunda” melainkan “Kongres Pemuda Sunda” (Rosidi, 2008, hlm. 174-175). Dari hal tersebut kita dapat melihat bahwa pengaruh kuat dari gerakan Front Pemuda Sunda yang radikal dapat menyatukan orang-orang Sunda dalam suatu wadah. 

DAFTAR PUSTAKA :

Buku :

Finaldin, Tom dan Sali Iskandar. (2006). Presiden RI dari Masa keMasa. Bandung: Jabar Education and Entrepreneur Center. Hlm. 32

Ricklefs, Mc. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Edisi Revisi). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Hlm. 493-494

Rosidi, Ajip. (2008). Hidup Tanpa Ijazah : Yang Terekam Dalam Kenangan :Oto Biografi Ajip Rosidi. Dunia Pustaka Jaya. Hlm. 176-177

Rosidi, Ajip. (2010). Mengenang Hidup Orang Lain : Sejumlah Obituari. Kepustakaan Populer Gramedia. Hlm. 389

Artikel/Jurnal/Skripsi :

Sjafari, Irvan. (2013). Mutasi Bupati Bandung Male Wiranata Kusuma dan Front Pemuda Sunda. Jurnal gemini (Artikel). [online]. Diakses dari : https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/5529b6f7f17e61911ad62453/bandung-1956-3-mutasi-bupati-bandung-male-wiranatakusumah-dan-front-pemuda-sunda

Sjafari, Irvan. (2014). Bandung (1956) Heboh Pamflet Front Pemuda Sunda dan Terbentuknya DPRD Peralihan. Dinamika Politik Agustus-September. Jurnal Gemini (Artikel). [online]. Diakses dari : https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/54f834c3a33311225e8b4873/bandung-1956-6-heboh-pamflet-front-pemuda-sunda-dan-terbentuknya-dprd-peralihan-dinamika-politik-agustusseptember#

Sujatmiko, Iwan G. (2014). Keterwakilan Etnis Di Politik Nasional: Kasus Etnis Sunda di Republik Indonesia. Jurnal Sosiologi. 19 (1), hlm. 5. [online]. Diakses dari : http://journal.ui.ac.id/index.php/mjs/article/download/4327/3192 

Chorianti, Vika. (2007). KONGRES PEMUDA SUNDA DI BANDUNG 1956 (Sejarah Mentalitas Masyarakat Sunda). Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA. Hlm. 15. Diakses dari : http://repository.unair.ac.id/26926/2/gdlhub-gdl-s1-2007-choriantiv-4265-fssej0-k.pdf 

Arsip : 

Arsip Pusat Dokumentasi AD No. 0766, hlm.1

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts