Di mana Perahu Terdampar, Di sanalah kehidupan ditegakkan
Aktivitas migrasi banyak terjadi dalam rangkaian perjalanan sejarah bangsa-bangsa dunia, termasuk juga di wilayah Nusantara. Dari sekian banyaknya wilayah Nusantara, wilayah yang paling menonjol terkait dengan aktivitas migrasi adalah suku Bugis di daerah Sulawesi Selatan. Migrasi telah dilakukan ke dalam maupun luar Nusantara sejak abad ke-17. Bisa dikatakan bahwa jika terdapat sebuah kawasan pesisir serta pantai tempat tambatan perahu, maka akan terlihat keberadaan sekelompok orang bugis. Orang-orang Bugis memiliki ungkapan atau pepatah yang berbunyi “Kegisi Monro Sore Lopie, Kositu Tomallabu Sengereng” yang artinya “Di mana Perahu Terdampar, Di sanalah kehidupan ditegakkan.” Pepatah ini juga lah yang akhirnya mendorong dan menginspirasi orang-orang Bugis berani berpetualang serta berlayar untuk mengarungi samudra dalam mencari daratan maupun tempat pulang demi membangun suatu kehidupan yang baru (Husain,2011:65).
Oleh Widdy Fatimah Azzahra
Terjadinya gelombang fenomena perantauan oleh orang-orang Bugis disebabkan oleh berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Faktor yang pertama disebabkan oleh adanya konflik-konflik bersenjata di antara kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Berbagai konflik yang terjadi ini berimbas kepada terjadinya ketidakstabilan politik serta keamanan. Hal ini membuat perekonomian masyarakat semakin sulit. Konflik terjadi juga di antara para bangsawan Bugis yang bersengketa dalam hal pergantian takhta yang tumbuh menjadi konflik perebutan takhta (suksesi). Puncak dari konflik yang terjadi adalah adanya pertumpahan darah, perang saudara antar wilayah, serta meletusnya Perang Makassar pada tahun 1666 (Alamsyah dkk, 2020:158).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa alasan yang mendasari tindakan orang-orang Bugis meninggalkan kampung halamannya berkaitan dengan upaya mencari solusi untuk mengatasi konflik pribadi, menghindari penghinaan, kondisi wilayah yang ditempati tidak kondusif dan aman, maupun karena alasan ingin melepaskan diri dari kondisi sosial yang tidak memuaskan, serta dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kekerasan dari tempat asal. Namun, menurut pernyataan Pelras dalam bukunya yang berjudul The Bugis dalam Husain (2011), mengungkapkan bahwa alasan tersebut tidak cukup untuk bisa dijadikan suatu landasan untuk memahami mengapa begitu banyak pemukiman orang-orang Bugis yang tersebar di seluruh Nusantara sejak akhir abad ke-17. Pelras berpendapat bahwa alasan tersebut tidak menjelaskan mengenai kenyataan keadaan yang terus berubah–fenomena perantauan ini justru telah menjadi ciri khas yang “ajek” orang Bugis hingga masa kini (Husain, 2011:66).
Perang Makassar yang terjadi berakhir dengan kekalahan yang harus diterima oleh Makassar. Hal tersebut ditandai dengan terjadinya pemaksaan penandatanganan Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Makassar pun menjadi di bawah kekuasaan VOC (1667- 1799) yang membuat aktivitas pelaut dan pedagang Bugis Makassar mengalami kemerosotan. VOC juga memberlakukan kebijakan “Pelabuhan Bebas” di pelabuhan Makassar pada tahun 1847 sangat merugikan masyarakat karena berakibat pada terjadinya ketimpangan ekonomi yang jauh antara kelompok penguasa dan kelompok yang dikuasai. Alasan tersebut juga yang menyebabkan terjadinya migrasi orang-orang Bugis ke luar daerah Sulawesi. Perpindahan penduduk ini dalam bahasa Bugis disebut juga dengan istilah “mallekke dapureng.”
Menurut Mattulada (1975) dalam Hendraswati (2017), menyatakan bahwa orang-orang Bugis telah dikenal sebagai salah satu suku bangsa pelaut di Indonesia dan sudah sejak lama mengembangkan kebudayaan maritim. Perahu-perahu layar yang mereka gunakan yaitu jenis pinisi dan lambo telah mengarungi seluruh lautan serta perairan Nusantara, bahkan lebih jauh dari itu. Orang-orang Bugis kala itu telah berlayar ke barat hingga Filipina, Sailan (Ceylon), Madagaskar (Afrika), dan ke bagian timur hingga Irian dan Australia. Hingga saat ini, beberapa daerah Kawasan pesisir pantai dan pelabuhan laut yang ada di kepulauan Nusantara didapati adanya perkampungan orang-orang Bugis. Pada umumnya, mereka akan menetap dan menjadi penduduk daerah tersebut seraya mengenalkan dan mengembangkan adat istiadat yang mereka anut dari wilayah asal. Contoh dari perkampungan Bugis dari hasil melakukan migrasi adalah, perkampungan Bugis di Pagatan Kalimantan Selatan, Bugis Pasir dan Kutai di Kalimantan Timur, Bugis Johor di Malaysia, dsb (Hendraswati,dkk, 2017).
Migrasi menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari budaya orang-orang Bugis.
Sompeq (merantau) merupakan kisah yang sudah tua di dalam sejarah peradaban Bugis. Mereka menganggap jika belum sempurna suatu kehidupan seseorang bila belum melakukan satu fase dalam kehidupannya, yakni sebagai passompeq. “Selama laut masih berombak, maka pasir di pantai tidak akan pernah tenang” Ungkapan ini memberikan dorongan bagi orang-orang Bugis yang belum pernah merasakan perantauan dan berlayar. Tidak terlalu banyak hambatan dalam perjalanan migrasi yang mereka lakukan karena telah terjalinnya hubungan jaringan perdagangan, diplomasi, dan kekeluargaan yang sebelumnya telah dijalin oleh para saudagar dan bangsawan dari Melayu, Makassar, Mandar, serta Bugis saat kejayaan Kerajaan Gowa Tallo. Aktivitas migrasi yang berlangsung membuat jaringan-jaringan perdagangan pun semakin luas, sehingga banyak terjadinya gelombang migrasi lain yang membentuk kesatuan-kesatuan politik baru di daerah Kalimantan, Sumatera, Riau, dan Malaya sampai dengan pertengahan abad ke-18 (Husain, 2011: 66)
Migrasi yang dilakukan oleh orang-orang Bugis tidak hanya sekedar melakukan perpindahan biasa tetapi juga mereka juga membangun koloni-koloni di berbagai pulau ataupun daerah di luar Sulawesi Selatan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa terciptanya suatu kesinambungan kultural dengan tanah air asal mereka. Kesinambungan kultural yang terjadi dapat dilihat dari sisi tradisi politik pemerintahan, sosial ekonomi, dan budaya yang sebelumnya telah dikembangkan pada asal daerah mereka dan mencoba untuk mengenalkan serta menerapkannya pada daerah baru yang ditempatinya (Alamsyah dkk, 2020:166).
Daftar Pustaka
Alamsyah dkk. (2020). Migrasi,Diaspora,dan Bajak Laut Bugis.Semarang:Tiga Media.
Husain,Sarkawi B. (2011). ”Diaspora Orang-Orang Bugis Makassar di Surabaya, Abad XV XX.”Jurnal IKAHIMSI Edisi 1, No.2, Juli-Desember.
Hendraswati, dkk. (2017). Diaspora dan Ketahanan Budaya Orang Bugis di Pagatan Tanah Bumbu.Yogyakarta:Kepel Press.