Falsifikasi; Teori Filsafat Sejarah Kritis Perspektif Karl Popper

Filsafat sejarah merupakan subdisiplin dalam filsafat yang mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang terkait dengan sejarah, pemahaman tentang waktu, penyebab peristiwa, makna sejarah, dan metodologi dalam penulisan sejarah. Filsafat sejarah juga dapat dikenal sebagai cabang filsafat yang berfokus pada aspek-aspek konseptual, teoritis, dan epistemologis dari sejarah. 

Oleh Naufal Robbiqis Dwi Asta 

Pada umumnya, terdapat dua pendekatan utama dalam filsafat sejarah yaitu filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah kritis. Filsafat sejarah spekulatif merupakan pendekatan dalam filsafat sejarah yang inklusif terhadap interpretasi kreatif dan melibatkan spekulasi dalam pemahaman masa lalu. Pendekatan ini, memungkinkan ruang bagi pandangan subjektif dan teori yang mungkin tidak selalu didukung oleh bukti-bukti yang kuat. 

Karl Popper.jpg
Karl Popper
Sumber: commons.wikimedia.org

Filsafat sejarah spekulatif mengakui bahwa sejarah seringkali dipenuhi dengan kekosongan informasi dan ketidakpastian dan oleh karena itu, sejarawan dan filsuf sejarah yang mengadopsi pendekatan spekulatif lebih terbuka terhadap interpretasi yang kreatif. Tokoh-tokoh terkemuka dalam filsafat sejarah spekulatif diantaranya adalah G.W.F. Hegel, Auguste Comte, Karl Marx, Ibnu Khaldun, Ali Shari’ati dan lain sebagainya. 

Di sisi lain, terdapat suatu pendekatan yang diistilahkan sebagai filsafat sejarah kritis. Filsafat sejarah kritis merupakan pendekatan dalam filsafat sejarah yang menekankan pentingnya metode ilmiah dalam formulasi sejarah. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa sejarah harus diperlakukan sebagai ilmu yang memerlukan bukti-bukti yang dapat diuji dan metode yang jelas untuk memeriksa kebenaran pernyataan sejarah.

Sir Karl Raymund Popper (1902-1994 adalah seorang filsuf Austria yang dikenal dengan kontribusinya yang signifikan dalam pengembangan epistemologi, filsafat ilmu, dan filsafat sejarah. Karl Popper dikenal karena konsepnya tentang “falsifikasi” yang telah memengaruhi pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan sejarah. 

Gagasan Tentang Falsifikasi dan Demarkasi

Falsifikasi merupakan konsep yang digunakan untuk membedakan ilmu pengetahuan dari bukan ilmu pengetahuan. Ia menentang pandangan empirisme logis yang menganggap bahwa suatu pernyataan ilmiah hanya dapat dianggap benar jika bisa diverifikasi yaitu pernyataan yang dapat diamati dan diuji. Sebaliknya, ia mengemukakan bahwa pernyataan ilmiah yang benar adalah pernyataan yang dapat difalsifikasi atau dapat diuji dan dibuktikan salah.

Sebagai contoh pada sebuah pernyataan bahwa “Semua angsa adalah putih”. Menurut pandangan Popper, pernyataan ini tidak dapat dianggap ilmiah karena meskipun kita dapat menemukan banyak angsa putih, kita tidak dapat mengujinya secara eksperimental untuk membuktikan bahwa tidak ada angsa berwarna lain. 

Sebaliknya, Karl Popper menganggap pernyataan ilmiah adalah yang dapat diuji dan dapat dibuktikan salah. Sebagai contoh, “Semua angsa adalah putih” hendaknya bisa diuji dengan menemukan setidaknya satu angsa yang tidak berwarna putih. Dengan demikian, pernyataan tersebut dapat dibuktikan kesalahannya.

Gagasan falsifikasi ini penting karena menempatkan ilmu pengetahuan dalam kerangka kerja yang terbuka untuk kritik dan pengujian. Ilmu pengetahuan, menurut Popper, bukanlah upaya untuk membuktikan kebenaran, tetapi upaya untuk menguji ketidakbenaran. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan berkembang dengan mengidentifikasi dan membuang teori-teori yang tidak tahan terhadap uji coba dan pengujian.

Konsep falsifikasi Karl Popper juga berhubungan dengan metode ilmiah. Baginya, metode ilmiah adalah proses uji coba dan pembuktian yang digunakan untuk menguji kebenaran teori-teori ilmiah. Metode ilmiah melibatkan pembuatan hipotesis-hipotesis yang dapat diuji, melakukan pengamatan untuk menguji hipotesis tersebut, dan kemudian mencari bukti yang bisa memfalsifikasi hipotesis. Jika hipotesis terbukti salah, itu berarti bahwa teori yang mendukungnya harus ditolak atau direvisi.

Baca Juga :   Condet Tempo Dulu

Selain falsifikasi, ia juga dikenal gagasannya tentang konsep demarkasi konsep yang merujuk tentang cara kita untuk dapat membedakan antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan atau antara ilmu pengetahuan dan pseudosains. Seorang sejarawan yang mengklaim bahwa suatu peristiwa sejarah tertentu terjadi harus memberikan bukti-bukti yang dapat diuji. Jika bukti-bukti ini tidak dapat dibuktikan salah, maka klaim sejarah tersebut tetap dalam ranah spekulasi dan tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan sejarah yang sah.

Selain ketidaksetujuannya dengan filsafat sejarah spekulatif, ia juga dikenal karena kritiknya terhadap historisisme. Historisisme merupakan pendekatan sejarah yang menganggap bahwa setiap peristiwa sejarah adalah unik dan tidak dapat digeneralisasi atau dibandingkan dengan peristiwa lainnya. Historisisme juga cenderung melihat sejarah sebagai deterministik, yang mana peristiwa-peristiwa tersebut harus terjadi seperti yang telah terjadi.

Karl Popper menentang pandangan tersebut dan menganggapnya sebagai hambatan terhadap perkembangan ilmu sejarah. Ia berpendapat bahwa sejarah harus diperlakukan seperti ilmu pengetahuan lainnya dengan mencari pola-pola umum, hukum-hukum, dan teori-teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa sejarah. Menurutnya, historisisme tidak memungkinkan perkembangan pengetahuan yang signifikan dalam sejarah.

Falsifikasi dalam Filsafat Sejarah

Karl Popper juga menerapkan gagasan falsifikasi dan metode ilmiah pada studi sejarah. Dalam pandangannya, sejarah adalah sebuah ilmu yang harus mengikuti metode ilmiah yang sistematis. Ia menekankan bahwa sejarah harus lebih dari sekadar narasi atau cerita tentang masa lalu. Sejarah baginya harus berlandaskan pada bukti-bukti yang dapat diuji dan diperiksa. 

Dengan kata lain, sejarawan harus memperlakukan teori-teori sejarah dengan cara yang sama seperti ilmuwan menguji teori-teori ilmiah. Mereka harus mencari bukti-bukti yang bisa menguji atau memalsifikasi teori-teori tersebut. Hal ini meniscayakan bahwa bahwa teori-teori sejarah harus secara eksplisit mengemukakan prediksi yang dapat diuji dalam catatan sejarah dan kemudian mencari bukti yang sesuai atau tidak sesuai dengan prediksi tersebut.

Untuk sejarawan yang akan mengadopsi pendekatan dari Karl Popper, hendaknya harus memperhatikan beberapa langkah langkah, diantaranya adalah menyusun teori-teori sejarah yang eksplisit dan dapat diuji, mencari bukti-bukti yang dapat menguji atau memalsifikasi teori-teori tersebut, membuat prediksi-prediksi berdasarkan teori-teori sejarah dan mencari bukti yang sesuai atau tidak sesuai dengan prediksi tersebut, dan bersikap kritis terhadap teori-teori yang tidak dapat diuji atau tidak memiliki bukti yang kuat.

Penutup

Pemikiran filsafat sejarah kritis Karl Popper, terutama konsep falsifikasi dan metode ilmiah telah memberikan kerangka kerja yang penting untuk pemahaman tentang sejarah. Karl Popper mendorong para sejarawan untuk mendekati sejarah dengan sikap kritis, mencari bukti-bukti yang dapat diuji, serta menghindari pandangan deterministik dan historisisme yang menghambat perkembangan ilmu sejarah. 

Referensi

Riski, Maydi Aula. “Teori Falsifikasi Karl Raimund Popper: Urgensi Pemikirannya dalam Dunia Akademik”. Jurnal Filsafat Indonesia, Vol. 4, No. 3 (2021).

Thohir, Ajid dan Ahmad Sahidin. Filsafat Sejarah: Profetik, Spekulatif, dan Kritis (Jakarta: Kencana, 2019).

Erianti, D., dkk.. “Falsifikasi Epistemologi Karl R Popper”. Inovatif: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial, Jil. 3, No. 2 (2023).

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts