Eksistensi Bandit Pedesaan Jawa dan Perlawanannya terhadap Pemerintahan Kolonial

Contoh kasus perbanditan dapat dilihat seperti yang terjadi di Surakarta pada awal abad ke-20, muncul disebabkan oleh motif ekonomi yang kemudian muncul fenomena perkecuan. Dalam catatan sejarah, aksi perkecuan banyak terjadi di berbagai daerah seperti Surakarta 15 kali, Sragen 16 kali, Wonogiri 8 kali, dan Boyolali 13 kali

Oleh Tamya Purnama Putrie

Kehidupan suatu bangsa tidak pernah lepas dari keberadaan kelompok kriminalitas. Kriminalitas adalah suatu tindakan individu atau kelompok yang melanggar norma dan aturan yang sifatnya merugikan. Contoh kriminalitas ini seperti perkecuan, perampokan, pencurian, penculikan, dan lain sebagainya yang kemudian disebut dengan perbanditan. Tak disangka bahwa perbanditan ini keberadaanya telah ada sejak masa kolonial. Pengertian perbanditan sosial telah dijelaskan oleh seorang sejarawan Inggris yaitu Hobsbawm bahwa aksi perbanditan dijalankan oleh masyarakat petani dan pelaku bandit itu sendiri, yang kemudian tindakannya dianggap kriminal oleh para penguasa setempat (Pranoto, 2010: 5). Kerjasama antara keduanya dikarenakan memiliki musuh dan tujuan yang sama. Pergerakan yang mereka lakukan tidak lain memprotes, melawan ketidakadilan, penindasan, perampasan, dan usaha mempertahankan hak bertahan hidup serta kemerdekaan. Pemberontakan dan kejahatan yang dilakukan berhubungan pula dengan kesadaran ekonomi dan politik, yang kemudian munculah protes sosial. Perbanditan juga lebih sering muncul di pedesaan karena permasalahan lahan tanah yang semakin sempit disebabkan oleh ekspansi perkebunan. Namun, perjuangan kebebasan sosial ekonomi di pedesaan ini lebih mendominasi, daripada kebebasan politik.

Dunia perbanditan pedesaan di Jawa sifatnya adalah tradisional. Aksi yang dijalankannya bersamaan dengan ritual pemujaan keramat, pemakaian jimat, ilmu tenaga dalam, dan lain sebagainya. Selain itu, tidak lupa juga dengan perlengkapan senjata yang mereka pakai seperti keris, golok, sabit, pedang, dan senjata tajam lainnya. Dilihat berdasarkan faktanya, perbanditan terbentuk dalam sebuah organisasi yang bergerak di dunia bawah. Apabila seseorang ingin bergabung dengan kelompok bandit, maka perlu melakukan persiapan yang matang dan dilakukan uji coba terlebih dahulu seperti melakukan sabotase, perusakan, pembakaran, dan pencurian. Dunia perbanditan juga memiliki struktur dan seorang pemimpin. Dengan adanya struktur, maka aksi yang dijalankan akan teratur dan terkondisi karena mereka sendiri akan mendapatkan tugas yang berbeda. Pemimpin atau atasan di perbanditan biasanya dipegang oleh kepala desa, kontroler, ataupun orang yang termasuk elite pedesaan yang dinilai memiliki kharisma dan wibawa (Pranoto, 2010: 113). Tidak hanya itu, seorang pemimpin bandit sudah pasti harus memiliki pengalaman banyak dalam aksi perbanditan tersebut. Susunan organisasi perbanditan sendiri terdiri beberapa jabatan mulai dari yang tertinggi sampai terendah. Urutan jabatan ini adalah a) Benggol sebagai jabatan tertinggi, orang yang memiliki ilmu sakti dalam perbanditan, b) Wakil Benggol, c) Pemegang harta rampokan, bertugas menyimpan dan mendistribusikan hasil tersebut kepada rakyat maupun sesama anggota, d) Telik sandi, bertugas memantau target rumah yang akan dijarah, e) Cunguk, bertugas memantau keamanan sekitar saat aksi sedang berjalan, dan terakhir f) Bala-bala, bertugas menghadapi serangan dari ancaman luar dan mengangkut hasil rampokan tersebut (Tifaransyah Dkk, 2021: 19).

Sisi positif dan negatif para pelaku bandit dapat dinilai tergantung pada sudut pandang yang digunakan. Dilihat dari kacamata pemerintah kolonial, perbanditan adalah aksi yang meresahkan dan merugikan, sedangkan dilihat dari kacamata masyarakat Jawa kalangan bawah, perbanditan adalah aksi yang heroik membela dan merebut kembali hak-hak rakyat yang telah direnggut pihak pemerintah kolonial Belanda. Tentu pihak pemerintah kolonial merasa dirugikan, karena dari aksi mereka timbul korban jiwa dan mengakibatkan penduduk daerah kebun semakin rendah. Gerakan sosial yang bersifat radikal memang cenderung melakukan aksi kekerasan. Berangkat dari kekecewaan yang dialami khususnya para petani, mulai dari pemberian beban wajib kerja, upah yang minim, serta pajak yang membengkak wajib dilunasi membuat mereka terbelenggu dalam kemiskinan. Kemudian pemberontakan yang dilakukan mereka adalah merampas harta, perusakan bangunan/gedung, perusakan saluran irigasi, hingga pembakaran perkebunan seperti perkebunan tebu dan tembakau.

Baca Juga :   Kebangkitan Ekonomi Nasional Masa Hindia-Belanda Abad XX : Sebuah Studi Gerakan Ekonomi Nahdlatut Tujjar

Contoh kasus perbanditan dapat dilihat seperti yang terjadi di Surakarta pada awal abad ke-20, muncul disebabkan oleh motif ekonomi yang kemudian muncul fenomena perkecuan. Awal mula kemunculan kecu sebenarnya ditujukan kepada etnis Cina sebagai bentuk sentimen rasial kaum pribumi. Namun, adanya tekanan-tekanan lain, gerakan perkecuan juga ditujukan kepada orang kulit putih (Eropa), orang kaya asing, dan elite Jawa. Kasus seperti ini banyak terjadi di berbagai daerah serta memiliki motif dan tujuan yang sama. Dalam catatan sejarah, aksi perkecuan banyak terjadi di berbagai daerah seperti Surakarta 15 kali, Sragen 16 kali, Wonogiri 8 kali, dan Boyolali 13 kali (Purwaningsih dan Aji, 2020: 129). Pemerintah kolonial tidak berdiam diri melihat kondisi ini. Perbanditan di Jawa ditumpas dengan berusaha mengirim Marsose (satuan militer bentukan Belanda). Para pejabat khususnya asisten wedana pun memiliki tanggung jawab dan kewajiban dalam mengatasi kriminalitas di daerahnya. Sehingga, pada saat itu pun Polisi Umum (algemeene politie), Polisi Kota (stadspolitie), Polisi Lapangan (veld politie), dan pasukan keamanan daerah setempat dikerahkan untuk menumpas kejahatan tersebut. Selain itu, dibentuk pula polisi-polisi desa untuk menghadapi berbagai kasus dalam lingkup warga desa. Menariknya, pemerintah kolonial menggunakan tradisi lama Jawa yakni menangkap para pencuri dengan jasa pencuri pula, dan mengadakan kegiatan ronda malam rutin dengan dibekali berbagai senjata tajam untuk menumpas bandit-bandit tersebut. Lalu, terdapat pula isyarat apabila terlihat tanda-tanda para kecu berkeliaran. Untuk mengetahuinya yakni menggunakan Kentongan yang dibunyikan dengan cara dipukul. Pukulan yang dilakukan tidak sembarangan. Terdapat kode-kode pertanda bahaya di setiap pukulannya. Apabila dipukul sebanyak dua kali tandanya telah terjadi pencurian. Dipukul tiga kali tandanya telah terjadi kebakaran. Sedangkan pukulan sebanyak empat kali  pertanda terjadi banjir, dan jika berkali-kali dipukul maka menjadi tanda telah terjadi perkecuan/perbanditan.

Dapat disimpulkan bahwa perbanditan sosial muncul dilatarbelakangi kesengsaraan masyarakat atas kebijakan-kebijakan politik kolonial seperti pelaksanaan tanam paksa, pelaksanaan politik kolonial liberal, perluasan area perkebunan ke wilayah pedesaan, dan perubahan status sosial. Sasaran yang dituju oleh para bandit pun yakni orang-orang etnis Cina, rentenir, petani kaya, pedagang kaya, para tuan tanah partikelir, dan para pejabat desa seperti bekel, demang, dan ngabehi. Tidak dapat dipungkiri pula, bahwa pelaku bandit bukan hanya berasal masyarakat kecil akan tetapi juga dilakukan oleh para bangsawan Keraton yang merasa dirugikan oleh pemerintah kolonial karena telah ikut campur urusan istana. Selain itu, berbagai dampak juga turut dialami semua kalangan baik bidang sosial, politik, maupun ekonomi. Maraknya kasus perkecuan di berbagai daerah menjadi sebuah kebiasaan yang sulit dihilangkan. Hal ini menjadi sebuah tindakan lumrah di kehidupan sosial masyarakat pada masa itu. Akibatnya, angka kriminalitas sangatlah tinggi dan menjadi potensi sebagai tindakan yang dilakukan secara turun temurun meskipun menyebabkan pertumpahan darah. Tak kalah penting, kasus ini memberi dampak di bidang ekonomi mengingat motif perbanditan adalah soal ekonomi. Dampaknya dirasakan baik masyarakat, pemerintah, dan pengusaha perkebunan swasta. Hanya saja perbedaannya, masyarakat merasa diuntungkan sedangkan pihak pemerintah dan pengusaha dirugikan karena kekayaan-kekayaan miliknya telah dicuri dan kemudian dibagikan kepada masyarakat kecil.

Daftar Pustaka

Sudibyo, Agus. (3 Maret 1999). Wacana Penjarahan dan Kekerasan Simbolik terhadap Petani. JSP, 2(3), 71-89.

Kurnia, Ari. (2012). Perbanditan Sosial di Klaten Tahun 1870-1900. Skripsi.

Baca Juga :   Semangat Perjuangan Puputan Margarana Yang Menginspirasi Generasi Muda 

Sapto, Ari. (2018). Keterlibatan Bandit, Pelacur dan Seniman dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur (1945-1950). Sejarah dan Budaya, 2, 128-145.

Indonesia, Arsip Nasional Republik. (1981). Laporan-Laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX. Jakarta: Anri.

Fardan Tifaransyah, dkk. (September 2021). Kriminalitas di Jawa pada Masa Kolonial. Jurnal Candra Sangkala, 3(2), 15-23.

Nordholt, Henk Schulte. (1991). The Jago in the Shadow: Crime and Order in the Colonial State in Java. RIMA, 25(1), 74-91.

Imadudin, Iim. (Maret 2015). Perlawanan Petani di Tanah Partikelir Tanjoeng Oost Batavia Tahun 1916. Patanjala, 7(1), 33-48.

Ibrahim, Julianto dan Hefry Sulistyawati. (2004). Bandit dan Pejuang di Samping Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.

Rahmana, Siti. (2018). Sarekat Islam: Mediasi Perkecuan di Surakarta Awal Abad Ke-20. Jurnal Sejarah Peradaban Islam, 2(1), 52-58.

Purwaningsih, Sri Mastuti dan Thomas Nugroho Aji. (2020). Sejarah Sosial. Surabaya: Unesa University Press.

Pranoti, Suhartono W.. (2010). Jawa Bandit-Bandit Pedesaan: Studi Historis 1850-1942. Graha Ilmu.

Maslahah, Wafiyatu dan Arif Wahyu Hidayat. (Juli 2016). Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat di Jawa 1830-1870. Jurnal Agastya, 6(2), 19-30.

Yanwar Pribadi, Ph.D. (2014). Strongmen dan Kelompok Kekerasan di Jawa: Perkembangan dan Realisasinya dengan Kekerasan Masa dalam Bingkai Budaya dan Politik di Indonesia. Banten: FTK Banten Press.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts