Donan: Sejarah Awal Perkembangan Kota Cilacap

Berbeda dengan beberapa wilayah di Pantai Utara Jawa yang memang sejak jauh hari sebelum kedatangan orang-orang Eropa telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru. Pelabuhan Cilacap yang berada di Pesisir Selatan Jawa justru baru berkembang pesat dalam perdagangan (ekspor-impor) ketika berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.

Oleh Saka Mukhamad

Cilacap merupakan suatu daerah yang terletak di Pesisir Selatan Jawa Tengah. Di dalam perjalanan sejarahnya, perkembangan Kota Cilacap tergolong cukup unik dan berbeda dengan kota-kota lain terutama dengan kota-kota di Pesisir Utara Jawa. Hal tersebut dikarenakan lokasi Cilacap yang berada di Pesisir Selatan Jawa. Cilacap pada awalnya merupakan daerah yang hampir tidak dikenal dan berada diantara dua kekuatan budaya-politik (Jawa-Sunda). Tetapi secara pelan-pelan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Cilacap lalu berkembang menjadi daerah dengan pelabuhan ekspor yang ramai di Jawa.

Sebelum menjadi bagian dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Hindia Belanda, di daerah cikal bakal Cilacap dan sekitarnya sempat beberapa kali menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Ketika Mataram Islam berada di bawah pemerintahan Panembahan Senopati, Kerajaan Mataram Islam telah berhasil menaklukkan beberapa kerajaan di Jawa. Pajang dan Demak dapat ditaklukkan pada tahun 1588 menyusul kemudian Madiun pada tahun 1590 dan Jepara pada tahun 1599. Selain itu, Kerajaan Mataram Islam juga berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Galuh yang berada di bawah kekuasaan Cirebon pada tahun 1595. Hal tersebut tentu menjadikan wilayah cikal-bakal Cilacap yang sebelumnya di bagian timur dikuasai oleh Kerajaan Pajang dan di sebelah barat dikuasai oleh Galuh di bawah Cirebon secara keseluruhan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam.

Pada tanggal 5 Oktober 1705, VOC kemudian berhasil mengambil-alih beberapa wilayah Kerajaan Mataram Islam yang ketika itu merupakan bagian dari daerah cikal-bakal Cilacap melalui suatu perjanjian di Kartasura. Di dalam perjanjian antara VOC dan Kerajaan Mataram Islam tersebut dikatakan bahwa batas timur wilayah VOC berpindah dari Ci Pamanukan (Karawang) ke Sungai Losari di utara dan sungai Donan di selatan.

Pengambil-alihan beberapa wilayah Kesultanan Mataram oleh VOC tertuang dalam Pasal II Perjanjian 5 Oktober 1705 yang berbunyi bahwa jurisdiksi dan pemilikan tanah di sebelah barat gunung-gunung dan sungai-sungai diserahkan kepada VOC dimulai dari muara Sungai Donan di Laut Selatan, sepanjang sungai tersebut ke arah barat sampai Passorouan, awal dari danau dalam (Segara Anakan), ke arah utara sepanjang tepi timur dan utara dari danau sampai muara Sungai Tsiborom (Cibeureum), sepanjang tepi timur dan utara dari rawa yang tak dapat dilalui sampai Tsisatia (Cisatya) sekitar Negeri Madura, ke arah utara sebelah timur melalui pegunungan Dailoer (Dayeuhluhur) sampai gunung Sumana setelah Subang, sebelah tenggara Gunung Bongkok, ke arah utara sampai di Sungai Lassarij (Losari).

Setelah diadakan perjanjian pada 5 Oktober 1705, selanjutnya VOC dan Kesultanan Mataram segera mengadakan perundingan terkait penetapan tapal batas. Perundingan tersebut dilakukan pada tanggal 23 April 1706 di Semarang dan pada tanggal 12 Juli 1706 di Donan. Secara garis besar hasil dari perundingan tersebut menyatakan bahwa tapal batas antara VOC dan Kesultanan Mataram yakni Gunung Bangkok ke arah barat daya mengikuti Citatah yang bermuara di Cijulang, sepanjang Cijulang sampai Selabatanga Tanga ke arah tenggara, Wungkal Kanca, Wungkal Tugel, Bukit Gagang Untung, Kaduhumas, Lowinutuk, Batahiyang, Kajang Putat, Cicakar, Gunung Sisuru, ke selatan Rawa Lakbok, ke arah timur mengikuti Cikujang yang bermuara di Cibeureum, sepanjang tepi timur Segara Anakan, Kanal Mutean, Sungai Donan sampai bermuara di laut.

Baca Juga :   Pelabuhan Cilacap: Saksi Bisu Pengevakuasian Orang-orang Belanda Pada Masa Perang Pasifik 1942

Berpindahnya batas wilayah VOC dari Ci Pamanukan (Karawang) ke Sungai Donan di selatan secara otomatis membuat Pulau Nusakambangan, Segara Anakan, dan Tanah Madura (Kedungreja dan Wanareja) yang merupakan bagian dari cikal bakal Cilacap secara de facto telah menjadi bagian dari Kabupaten Galuh Imbanegara, Karesidenan Cirebon di bawah kekuasaan VOC. Tetapi meskipun ketiga wilayah tersebut (Pulau Nusakambangan, Segara Anakan, dan Tanah Madura) telah berhasil diambil alih oleh VOC, daerah lain yang juga merupakan bagian cikal-bakal Cilacap masih menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Mataram Islam.

Tjilatjap en omgeving, 1945 (Sumber: Javapost.nl)

Setelah terjadi Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, daerah cikal-bakal Cilacap yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam lalu berada di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Ketika daerah cikal-bakal Cilacap berada di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta, nama Cilacap belumlah dikenal. Ketika itu daerah Cilacap lebih dikenal dengan sebutan Donan. Di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta wilayah Banyumas dibagi menjadi dua wilayah kekuasaan yakni Banyumas Kasepuhan dan Banyumas Kanoman. Wilayah Banyumas Kasepuhan meliputi: Banyumas, Banjarnegara, Adirejo, Purwokerto, Ayah, Jeruk Legi, dan Daya Luhur. Sedangkan wilayah Banyumas Kanoman meliputi: Banjar, Purbalingga, Sukaraja, dan Panjer.

Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, wilayah Banyumas (termasuk di dalamnya daerah cikal bakal Cilacap) kemudian diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebelum dilakukan pengambil alihan wilayah, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Komisi Urusan Tanah-tanah Kerajaan (Comisaris ter Regeling der Zaken) di Surakarta untuk mengatur rencana pengambil alihan bagian wilayah Kesultanan Surakarta di sebelah barat yakni Banyumas dan Bagelan sebagai ganti rugi biaya perang.

Sebelum diadakan perjanjian terkait penyerahan wilayah antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta, J.J. Sevenhoven yang merupakan komisaris anggota komisi untuk tanah-tanah kerajaan bagian barat pada tanggal 24 Mei 1830 secara sepihak menunjuk M.H. Hallewijn (Residen Pekalongan) untuk mempersiapkan penyelenggaraan Pemerintahan Sipil di Banyumas dan distrik-distrik sekitarnya. Kasunanan Surakarta sebenarnya merasa sangat berat untuk memenuhi permintaan Pemerintah Hindia Belanda terkait Banyumas dan Bagelan akan tetapi juga tidak mampu menolaknya. Pakubuwana VI pun lalu merasa kesal dan pada tanggal 5 Juni 1830 meninggalkan istana tanpa memberitahu residen dengan maksud akan berziarah ke makam nenek moyangnya di Imogiri dan bersemedi menghadap Nyi Loro Kidul, tetapi kemudian ia ditangkap Belanda di Goa Mancingan. Pakubuwana VI lalu dianggap melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda dan dipecat. Pada tanggal 14 Juni 1830 Pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkat pamannya, Pangeran Purbaya, menjadi Susuhunan Pakubuwana VII.

Pada tanggal 22 Juni 1830, Pemerintah Hindia Belanda lalu mengadakan perjanjian dengan Susuhunan Pakubuwana VII. Di dalam perjanjian tersebut wilayah Banyumas diserahkan kepada Hindia Belanda yang akan membayar ganti rugi sebesar f 204.000,-/tahun. Setelah wilayah Banyumas dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda, pembagian wilayah antara kasepuhan dan kanoman dihapus. Selanjutnya hanya terdapat seorang bupati di Banyumas. Pembentukan Karesidenan Banyumas baru ditetapkan pada tahun 1833, membawahi lima kabupaten, yaitu Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, dan Purwokerto. Kantor Residen Banyumas dibangun di kota Banyumas. Pada waktu itu yang menjadi bupati Banyumas adalah Tumenggung Cakranegara II.

Tjilatjap Harbour KPM Ships Java Indonesia ca 1899 (Sumber: old-indische.com)

Pada tahun 1841, pemerintah Hindia Belanda kemudian mengeluarkan sutau keputusan terkait Dayeuh Luhur, Adireja, dan Cilacap yang disatukan menjadi satu afdeling. Cilacap ditetapkan sebagai ibukota pusat pemerintahannya, tempat berkedudukan seorang asisten residen dan seorang pribumi bergelar ronggo. Ronggo pertama merupakan saudara Bupati Banyumas yakni Raden Cokrodimejo yang secara definitif diangkat pada tahun 1842.

Baca Juga :   Gunung Penanggungan: Pusat Rohani Masa Akhir Majapahit

Pada tahun 1903, dikeluarkanlah Undang-undang Desentralisasi. Sesuai dengan Undang-undang Desentralisasi 1903, maka kesatuan kenegaraan di Hindia Belanda dibagi dalam wilayah Gewest yang hanya merupakan daerah administratif dalam suatu pemerintahan yang terpusat. Bagian tertinggi adalah Gewest (Karesidenan), setelah itu di bawahnya adalah Afdeling dan kemudian Onderafdeling. Di Pulau Jawa dan Madura, Afdeling bersamaan dengan lingkungan wilayah suatu Regentscap yang terbagi dalam distrik (kawedanan) dan onderdistrik (kecamatan). Berdasarkan pembagian wilayah tersebut maka Gewest Banyumas meliputi lima Afdeling yakni: Banyumas, Cilacap, Purwokerto, Banjarnegara dan Purbalingga.

Di dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1936 pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan untuk menggabungkan beberapa wilayah di Banyumas atau menghapuskannya untuk disatukan menjadi satu daerah, sehingga Kabupaten Purwokerto, Karanganyar dan Kutoarjo dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Selain itu wilayah Purwokerto seluruhnya lalu dimasukkan ke dalam Kabupaten Banyumas dan distrik Purworejo masuk ke dalam Kabupaten Banjarnegara. Sebagai hasil dari keputusan tersebut, maka sejak 1 Januari 1936 Karesidenan Banyumas terdiri dari empat Kabupaten yaitu: Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara.

Daftar Pustaka

Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010)

Soedarmadji, Hari Jadi Kabupaten Cilacap Alternatif Dari Alternatif (Cilacap: Setda Kabupaten Cilacap, 1990)

Soedarto, dkk, Buku Sejarah Cilacap (Cilacap: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Cilacap, 1975)

Yustina Hastrini dkk, Sejarah Perkembangan Ekonomi dan Kebudayaan di Banyumas Masa Gandasubrata Tahun 1913-1942 (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2015)

Sanusi pane, Sedjarah Indonesia II (Djakarta: Balai Pustaka, 1965)

M. Unggul Wibowo, Orang-orang Belanda di Pintu Darurat (Surakarta: CV Mediatama, 2007)

H. Budiono Herusatoto, Banyumas Sejarah, Bahasa, Watak, Seni, dan Busaya (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2008)

Ikhtisar Keadaan Politik Tahun 1839-1848. Penerbitan Sumber-sumber Sejarah No. 5 ANRIJ, 1973, hlm. XXI, 39-40.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts