Dinamika Perusahaan Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS)

Sistem transportasi darat khususnya kereta api merupakan salah satu moda transportasi yang efisien dan efektif sampai saat ini. Perkembangan transportasi darat di Indonesia khususnya kereta api tidak terlepas dari sejarah yang telah membangun fondasi sistem moda transportasi kereta api. Munculnya pengembangan kereta api di Indonesia tidak terlepas dari praktik cultuurstelsel yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang dicetuskan Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1830-1834. Tujuan dari cultuurstelsel adalah untuk meningkatkan pendapatan negara dari aktivitas perkebunan dan pertanian. Seiring berjalannya waktu aktivitas tersebut semakin meningkat dan menjadi kebutuhan pasar dunia sehingga terjadi peningkatan ekspor hasil perkebunan. Namun pada saat itu, moda transportasi di wilayah Hindia Belanda masih belum memadai untuk menunjang aktivitas ekspor hasil perkebunan tersebut.

Oleh Cahya Adhitya Pratama & Gery Erlangga

Kebijakan cultuurstelsel ini mendatangkan keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda dengan produksi ekspor yang tiap tahunnya meningkat. Misalnya terjadi peningkatan produksi gula dan kopi sebesar 3-4 kali lipat pada tahun 1840 dibanding tahun 1830. Kemudian, sepanjang tahun 1865-1869 pemerintah Hindia Belanda telah meraup keuntungan ekspor sekitar 93.664 juta Gulden. Saat itu, kekuasaan pemerintah dalam mengelola perkebunan sangat besar dibanding pihak swasta. Namun, sejak diberlakukan UU agraria pada tahun 1870 diterbitkan, pihak swasta memiliki peran yang besar untuk mengelola usaha di wilayah Hindia Belanda (Hermawan, 2018).

Kemenangan kaum liberal di Belanda memengaruhi kehidupan ekonomi di Hindia Belanda. Pihak swasta menyatakan perlu ada solusi untuk mengatasi trasnportasi di Hindia Belanda dan salah satu solusi tersebut ialah pembangunan jalur kereta api. Menurut Mulyana, pembangunan jalur kereta api pada saat itu dinilai sangat cocok untuk menunjang proses distribusi hasil bumi yang begitu besar dengan menembus jalur pedalaman menuju jalur strategis seperti pelabuhan (Mulyana, 2017). Pembangunan jalur kereta api di Hindia Belanda merupakan salah satu dampak teknik dan pengetahuan barat atas ekonomi dan demografi (Lombard, 2008).

Sejak kaum liberal memiliki keleluasaan maka pembangunan jalur kereta api pertama di Hindia Belanda dibangun. Jalur pertama yang dibangun menghubungkan Semarang dengan Tanggung, Grobogan pada tahun 1863. Kemudian, jalur kereta api tersebut diperluas ke wilayah kerajaan Vorstenlanden (Rizaldi, 2019). Selanjutnya, pembangunan jalur kereta api menghubungan kota-kota besar di Pulau Jawa seperti jalur Batavia-Buitenzorg yang dibuka secara resmi pada tahun 1873 dan jalur Surabaya-Pasuruan yang dibuka tahun 1878. Beberapa tahun kemudian, jalur kereta api lintas Jawa telah selesai dibangun pada tahun 1894 yang menghubungkan Batavia dan Surabaya melalui Maos, Jogja, dan Solo (Lombard, 2008).

Semarang menjadi kota yang strategis sehingga memiliki peran yang penting bagi pemerintah Hindia Belanda sebagai kota administrasi dan kota perdagangan. Hasil bumi di wilayah Semarang dan sekitarnya memberikan keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda dengan komoditas gula sebagai primadona (Ratnawati, 2015). Kebutuhan transportasi untuk mengangkut hasil bumi pada saat itu memunculkan pihak-pihak swasta untuk mengelola dan membangun jalur kereta api. Pihak swasta pertama yang mendapatkan konsesi adalah Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) yang mengelola jalur Semarang-Vorstenlanden. 

Peran Kota Semarang pada Masa Hindia Belanda

Semarang merupakan bagian dari wilayah Pulau Jawa yang terletak di sisi utara yang berdekatan dengan pesisir. Letak yang strategis dan kondisi alam yang baik untuk perkebunan dan pertanian. Maka pemerintah Hindia-Belanda menempatkan kota Semarang sebagai pusat perdagangan dan administrasi. Semarang saat itu dapat menyaingi Jepara sebagai kota pelabuhan karena dataran yang subur dan indah. Oleh orang Belanda pada saat itu, menyebut kota yang ramai di pesisir Utara Jawa tersebut sebagai “Java’s Noord-Oost Kust” (Yuliati, 2009). Seiring dengan perkembangan kota Semarang di berbagai aspek kehidupan menjadikan kota ini sebagai wilayah pemukiman Eropa yang ditunjang dengan pembangunan sarana dan prasarana pendukung lainnya.

Baca Juga :   Prabu Dharmawangsa Airlangga dalam Sejarah Mdang Kahuripan Abad XI
Medium sized JPEG
Aktivitas di Kalibaru, Semarang
Sumber: Leiden University

Masyarakat yang tinggal di Semarang sangat beragam seperti orang-orang Eropa, Melayu, Pribumi dan Tionghoa. Orang-orang Eropa dan Melayu membuat pemukiman di muara Kali Semarang. Kemudian, orang-orang Tionghoa bermukim di Simongan dan perkampungan Jawa di sepanjang Kali Semarang. Pada saat itu, wilayah Semarang dikuasai oleh Susuhunan Surakarta yang kemudian diambil oleh pemerintah Belanda karena alasan Susuhunan Surakarta mengambil pinjaman uang ke VOC dengan jumlah yang besar. Kekuasaan Belanda di Semarang mendapat respon yang tidak baik oleh masyarakat sehingga sering terjadi konflik dan peperangan. Kemudian, Belanda membangun benteng untuk mengawasi dan membangun wilayah pemukiman Belanda (L.M.F. Purwanto, 2005).

Letak kota Semarang yang strategis menjadi salah satu tujuan VOC untuk menguasai wilayah tersebut. Pelabuhan dan jalur menuju Kartasura wilayah kekuasaan Mataram menjadi alasan Semarang sebagai kota administrasi dan perdagangan. Hal ini terjadi karena jarak menuju Kartasura relatif dekat dengan waktu tempuh 3 hari dibanding dari Kota Jepara. VOC pun mulai menginvasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di pesisir utara Jawa serta menumpas Kerajaan Mataram yang berkuasa saat itu serta menumbangkan perlawanan Trunajaya dari Madura. Melalui perjanjian dengan Amangkurat II pada tahun 1677 dan 1678, VOC memperoleh izin untuk mendirikan kawasan koloni di Semarang. Selain  itu, VOC mendapat hak untuk memegang kendali perdagangan yang ada di wilayah Semarang dan sekitarnya. Dengan demikian, dominasi Kota Semarang lebih baik. Pada tahun 1708, VOC memindahkan kantor dari Jepara ke Semarang (Yuliati, 2019).

Sejarah Perusahaan Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS)

Pembangunan jalur kereta api di Hindia-Belanda berakibat pada kemenangan kaum bagi liberal di Belanda pada tahun 1850. Pengaruh teknologi sangat terasa di daerah koloni yaitu Hindia-Belanda. Kaum liberal beranggapan bahwa kegiatan ekonomi di Hindia-Belanda dapat berkembang pesat jika diberi peluang sebesar-besarnya. Pihak swasta saat itu merespon pandangan kaum liberal tersebut untuk membangun jalur kereta api di Hindia-Belanda. Alasan kuat dibangunnya jalur kereta api ialah memperbaiki fasilitas transportasi darat dan kebutuhan diatribusi hasil bumi yang meningkat. Akhirnya pembangunan jalur kereta api dapat direalisasikan dengan jalur pertama yaitu Semarang dengan Tanggung dan diteruskan ke daerah kerajaan Vorstenlanden. Pembangunan jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden ini dikonsesi kepada perusahaan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM).

Medium sized JPEG (1)
Karyawan Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij
Sumber: Leiden University

Pemberian konsesi kepada Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) membuka peluang kepada perusahaan swasta lainnya untuk mengajukan konsesi jalur kereta api. Salah satunya adalah Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) yang mendapatkan konsesi dari pemerintah pada tahun 1881. Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) didirikan oleh van der Goes dan C.L.J Martens pada tanggal 28 September 1881 setelah memperoleh konsesi melalui keputusan Gubernur Jenderal pada 18 Maret 1881 No.5 (Syahabuddin, 2019). SJS ini merupakan perusahaan kereta api yang mengelola jalur trem kota Semarang dan antar kota ke arah timur Semarang. Jalur SJS ini mayoritas digunakan untuk moda pengangkut hasil bumi yang bertujuan untuk memperlancar arus distribusi dari kota sekitar Semarang ke pelabuhan Semarang.

Medium sized JPEG (2)
 Lokomotif Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij
Sumber: Leiden University

Pembangunan jalur kereta api Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) ini memberikan dampak yang signifikan terhadap distribusi dan investasi hasil bumi yang dilewati jalur kereta api diantaranya Demak, Kudus, Pati dan Rembang. Beberapa daerah yang dilalui memiliki wilayah perkebunan dan pabrik-pabrik. Demak merupakan wilayah penghasil randu, pohon kelapa dan padi. Kemudian, Kudus merupakan daerah penghasil padi yang sangat melimpah. Kudus juga memiliki beberapa pabrik gula yang dikelolah perusahaan perkebunan di Jepara yaitu Pabrik Gula Rendeng dan Tanjungmojo. Daerah Pati terdapat beberapa pabrik gula seperti Pabrik Gula Langse yang cukup besar dan produktif. Selanjutnya, Rembang merupakah daerah penghasil kayu jati, bambu, dan garam yang melimpah (Kusuma & Purnomo, 2018).

Baca Juga :   Sejarah Hukum di Indonesia: Pra-Kolonial Sampai Zaman Modern

Dampak Sosial-Ekonomi Pembangunan Jalur Kereta Api oleh Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS)

Secara tidak langsung, kehadiran jalur Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) yang menghubungkan Semarang-Kudus-Pati  telah       memberikan dampak yang cukup besar bagi perkembangan sosial-ekonomi  masyarakat yang berada di sekitar jalur kereta api di (Saraswati & LMF Purwanto, 2022). Hal tersebut dikarenakan terjadinya peningkatan mobilitas masyarakat, mengingat transportasi menjadi salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan aktivitas manusia. 

Syahabuddin (2019) turut memperkuat pendapat tersebut bahwasannya sarana transportasi memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial, ekonomi, budaya, tata kota dan modernisasi. Pergeseran penggunaan sarana transportasi, yang semula menggunakan transportasi tradisional seperti gerobak atau dokar, kemudian beralih menjadi kereta api memberikan dampak terhadap waktu tempuh perjalanan, biaya yang lebih murah dan jumlah atau volume distribusi barang dan manusia yang lebih besar. 

Dampak lain yang dirasakan oleh masyarakat dengan hadirnya jalur kereta api adalah tumbuhnya pasar pada hari-hari tertentu di sekitar stasiun. Para pedagang memanfaatkan angkutan kereta api pagi untuk mencapai tempat berjualan dan bubar menjelang kedatangan kereta sore untuk kembali (Hermawan, 2014). Kondisi tersebut telah memberikan dampak positif bagi pertumbuhan perekonomian masyarakat serta lingkungan sekitar stasiun karena secara bertahap menjadi kawasan pertumbuhan sosial.  

Keuntungan yang ditimbulkan dari pembangunan jalur kereta api Semarang-Juwana oleh Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) tidak hanya dirasakan oleh pihak perusahaan, tetapi turut dirasakan oleh masyarakat pribumi seperti bertambahnya lapangan pekerjaan. Masyarakat pribumi mendapatkan pekerjaan baru sebagai teknisi ataupun petugas operasional seperti penjaga loket, kondektur, pengawas rel, juru tulis hingga masinis (Syahabuddin, 2019). 

DAFTAR PUSTAKA 

Daliman. (2012). Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Hermawan, I. (2014). Kereta Api Mengurai Kebuntuan Transportasi di Pulau Jawa. Prosiding Seminar Nasional Arkeologi 2014: “Kesatuan Dalam Keberagaman.” Bandung: Balai Arkeologi Bandung.

Hermawan, I. (2018). Kereta Api: Kuasa Ekonomi Masa Kolonial Belanda. Prosiding Seminar Nasional Arkeologi, 87–94.

Kusuma, R., & Purnomo, A. (2018). Sejarah Kereta Api Rute Semarang-Rembang Tahun 1967-1988. Journal of Indonesian History, 7(1), 56–61.

L.M.F. Purwanto. (2005). Kota Kolonial Lama (Tinjauan Umum Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota). DIMENSI (Jurnal Teknik Arsitektur), 33(1), 27–33.

Lombard, D. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mulyana, A. (2017). Sejarah Kereta Api di Priangan. Yogyakarta: Ombak.

Ratnawati, Y. (2015). Perkembangan Perkeretaapian Pada Masa Kolonial Di Semarang Tahun 1867-1901. Journal of Indonesian History, 3(2), 65–69.

Rizaldi, A. (2019). Dinamika Perkeretaapian Lintas Semarang-Juwana Tahun 1950-1998. Skripsi: Universitas Diponegoro, 1(1), 1–10.

Saraswati, R. S., & LMF Purwanto. (2022). Jejak Sejarah Trem Kota Semarang 1881-1840. Jurnal Arsitektur Kolaborasi, 2(1), 10–17. https://doi.org/10.54325/kolaborasi.v2i1.17

Syahabuddin, A. (2019). Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS): Jalur Semarang Juwana Tahun 1881-1910. Ilmu Sejarah, 206–220.

Yuliati, D. (2009). Menuju Kota Industri, Semarang pada Era Kolonial. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Yuliati, D. (2019). Mengungkap Sejarah Kota Lama Semarang dan Pengembangannya Sebagai Asset Pariwisata Budaya. Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan, Dan Informasi, 3(2), 157–171. https://doi.org/10.14710/anuva.3.2.157-171

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts