Dinamika Masjid Al-Hurri Kabupaten Klaten Pasca Gejolak G30S/PKI

Masjid Al-Hurri pada awal tahun 1960 mengalami masa kejayaannya mulai dari segi infrastruktur, budaya dan pendidikan. Ketika adanya gerakan Partai Komunis Indonesia yang menyebar di di Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah, masjid berperan penting dalam mencegah framing (isu-isu) atau fitnah yang disebarkan oleh orang-orang komunis.

Oleh Shindid Gunagraha

Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.  Hal ini merupakan bukti peran para ulama, wali, dan kyai dalam menyebarkan agama Islam Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi seluruh alam) dapat diterima (Putri dan Fadlullah, 2022). Perjalanan peradaban Islam di Indonesia sangatlah lama prosesnya, mulai dari daerah lingkup yang sempit kemudian mengarah ke daerah lingkup yang luas. Pasti banyak upaya yang dilakukan untuk menyebarkan nilai-nilai keislaman, khususnya di Pulau Jawa. Sebab perkembangan Islam paling pesat dan cepat di Pulau Jawa. Penyebabnya adalah keramahan masyarakatnya yang santun dan sopan serta berbudi pekerti yang luhur.

Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa juga tidak lepas dari peran Walisongo yang melakukan dakwah dengan cara berbaur kepada masyarakat setempat dan melalui berbagai macam pendekatan seperti perdagangan, pernikahan, kesenian dan pendidikan (Muhsin, Latifah, dan Sadiqin, 2018). Keberadaan  Walisongo dalam sudut pandang sosial masyarakat, keberadaanya sangatlah disegani dan menarik perhatian masyarakat khususnya di Pulau Jawa, mulai dari desa hingga daerah kota, mulai dari kalangan sederhana hingga kalangan orang kaya, bahkan mulai dari kalangan rakyat biasa hingga sampai kalangan raja. Sehingga banyak saat ini kita lihat jejak-jejak peninggalan Islam khususnya di daerah lokal setempat, seperti masjid, prasasti, tradisi dan karya kitab-kitab agama oleh para ulama terdahulu.

Masa Awal Berdiri

Pada daerah lokal yang lingkupnya di desa, banyak sejarah bagaimana agama Islam itu dapat berkembang secara cepat dan pesat baik dari segi masyarakatnya maupun sarana ibadah yang ada, dilihat dari sudut pandang pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Seperti halnya di lingkup Desa Ngawen Kabupaten Klaten. Salah satunya yang menjadi pusat keislaman di Desa Ngawen ialah Masjid Al-Hurri, yang letaknya di Dusun Sogaten. Masjid ini banyak menyimpan makna dan nilai-nilai perjuangan, karena sebelum kemerdekaan, masjid ini belum menjadi masjid tetapi hanya langgar (musholla) kecil. Pada tahun 1940-an di Desa Ngawen kebanyakan sarana ibadah adalah langgar kecil. Pada tahun 1951, Langgar ini direnovasi menjadi masjid yang megah dan akhirnya dikenal menjadi salah satu pusatnya Islam di Desa Ngawen. Momen ini menjadi awal perkembangan pesat peradaban Islam di Ngawen. 

Makna dan simbol Masjid ini sangat mengandung nilai-nilai nasionalisme dan agama yang kuat. Dapat dilihat dari nama masjid ini. Masjid ini dinamakan Masjid Al-Hurri. Kata Al-Hurri berasal dari kata bahasa arab Al-Hurriyah yang artinya kebebasan atau merdeka. Nama ini diusulkan oleh pemuka agama pada saat itu yaitu Mbah Dwijowarsito dan Mbah Prawiro. Keduanya merupakan seorang sastrawan, guru dan tokoh agama di Dusun Sogaten. Makna dan tujuan dari pemberian nama tersebut adalah untuk mengenang jasa-jasa pahlawan dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia serta tanda syukur kepada Allah atas kemerdekaan yang diberikan melalui perjuangan para syuhada. Arti kebebasan yang dimaksud yaitu kebebasan dalam menjalankan syariat Agama Islam.

Jika dilihat dari kacamata sejarah dan sosial, masjid pada saat itu memiliki peran yang sangat penting dalam menggerakkan dan memajukan umat Islam. Sebab pada tahun 1954, Masjid ini memberikan dampak bagi masyarakat sekitar, untuk saling menjalin silaturahmi dan menguatkan ukhuwah melalui sarana ibadah. Adanya masjid sebagai pusat dari kegiatan sosial kemasyarakatan dan peribadatan adalah sebuah bukti dari kemajuan peradaban dimulai dari lingkup yang sempit (Ningsih, 2021).

Dinamika yang dihadapi masjid ini, memang terkadang mengalami pasang surut. Mulai dari kemakmuran masjid di lingkungan masyarakat hingga kemunduran yang terjadi terhadap masjid ini. Masjid Al-Hurri pada awal tahun 1960 mengalami masa kejayaannya mulai dari segi infrastruktur, budaya dan pendidikan. Selain itu, kemajuan juga terlihat pada ruang lingkup sosial masyarakatnya yang pada akhirnya semua dusun di Desa Ngawen berpusat di masjid Al-Hurri.

Dinamika masjid tahun 1965

Kemudian pada tahun 1965 terjadi gejolak yang sangat tinggi dalam pemerintahan Republik Indonesia, khususnya pada bidang politik. Ketika adanya gerakan Partai Komunis Indonesia yang menyebar di di Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah, masjid berperan penting dalam mencegah framing (isu-isu) atau fitnah yang disebarkan oleh orang-orang komunis. Para pemuda, rakyat biasa dan tokoh agama bergerak serentak dari masjid untuk melawan fitnah, dengan rasa berani dan kebersamaan. Hasilnya, masyarakat mampu memukul mundur orang-orang komunis di Desa Ngawen. Setelah kejadian pada tahun itu, umat Islam semakin kokoh dan yakin untuk beragama Islam. Pada tahun 1970, Masjid Al-Hurri masih menjadi pusat keislaman. Selain itu, Masjid ini juga menjadi pelopor berdirinya masjid-masjid lain di kampung-kampung di Desa Ngawen. 

Baca Juga :   Condet Tempo Dulu

Kemajuan Masjid

Awal kemajuan masjid terjadi pada tahun 1966 pasca aksi G30S/PKI. Faktor utama yang kemajuan masjid di Dusun Sogaten pada masa itu adalah banyaknya dukungan masyarakat dan antusiasme dalam memperhatikan posisi masjid. Dukungan yang paling banyak pada saat itu adalah berupa dana (harta) yang diberikan untuk masjid, sehingga proses dalam kemajuan terlihat cepat dibanding kampung yang lainnya. Maka pada saat itu masjid yang ada di Desa Ngawen hanyalah masjid Al-Hurri, sehingga dalam pelaksanaan shalat Jumat terpusat di masjid Al-Hurri.

Faktor lain yang memengaruhi adalah banyaknya tokoh agama di lingkungan dusun Sogaten, sehingga dalam dakwah Islam juga di bilang sangat maju dibanding dusun yang lainnya. Banyaknya tokoh agama memberikan nuansa keislaman yang luas, sebab banyaknya orang yang berilmu dalam bidang agama. Karena pada tahun 1967-an banyak masyarakat yang beragama Islam, tetapi hanya sekadar identitas saja, kontribusi tokoh agama atau pendakwah sangatlah dibutuhkan untuk mencegah pemahaman agama Islam yang melenceng dari pendoman utama yaitu Al-Qur’an dan Hadis.

Peran tokoh agama menarik perhatian masyarakat luar. Hak yang menjadi perhatian ialah dari cara berdakwah. Dakwah tokoh agama sangatlah mencuri perhatian setiap orang, mulai dari kalangan anak-anak, remaja, pemuda bahkan orang tua. Pada saat itu, kegiatan dakwah hanya dipusatkan di masjid. Teknik berdakwah pun sangat mudah diterima oleh masyarakat, sebab cara memadukan antara kesenian, pendidikan dan keislaman. Tokoh agama yang sangat dikenal adalah almarhum Mbah Dwijowarsito. Beliau seorang yang ahli dalam bidang sastra dan seni. Beliau berdakwah dengan bahasa yang sederhana tetapi memiliki banyak makna, memberikan penjelasan dengan penuh kelembutan, dan memberikan contoh dengan uswah hasanah. Dengan demikian cara berdakwah yang dilakukan sejalan dengan firman Allah dalam Qs. An-Nahl ayat 125: 

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”

Kemajuan masjid Al-Hurri sangat dipengaruhi oleh kalangan anak-anak, sebab pada masa itu masjid ini menjadi pusatnya pendidikan  agama Islam dan Al-Qur’an yang dikenal sebagai taman pendidikan Al-Qur’an. Sangat terlihat apabila masjid bukan hanya untuk tempat ibadah seperti shalat saja, tetapi juga sebagai sarana pendidikan. Oleh karena itu, keberadaan masjid ini sangat menebar kemanfaatan bagi sesama. Dengan demikian terbukti bahwa peradaban Islam paling pesat di Desa Ngawen berpusat pada Masjid Al-Hurri Sogaten. Masjid ini sebagai sarana dalam menyebarkan dakwah Islam dan menyelenggarakan pendidikan keIslaman. Maka masjid ini merupakan suatu hasil dari peradaban Islam dari tahun ke tahun, serta bukti adanya perkembangan dan upaya dari lingkungan masyarakat.

Dari sinilah dapat kita tarik kesimpulan bahwa kemajuan masjid sepenuhnya sangat dipengaruhi oleh setiap umat muslim, bahkan jika sumber daya manusianya tidak memiliki etos dalam menjawab tuntutan keagamaan pada saat itu, kemungkinan sarana ibadah serta tatanan masyarakat tidak akan maju dan hanya jalan di tempat saja. Sebagaimana kita ketahui Allah berfirman di dalam Al-Qur’an “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum kaumnya merubah nasibnya sendiri.”

Kita ketahui bahwa peradaban bukan hanya sekedar kemajuan di bidang budaya dan keilmuan, tetapi juga di bidang lain seperti pembangunan dan arsitektur yang ada pada masa itu. Semua kemajuan yang ada merupakan bukti dalam menjawab berbagai tantangan dan tuntutan zaman. Masjid juga sangat berpengaruh terhadap pola kehidupan sosial (Setiadi, Hakam, dan Effendi, 2013). Sebab berjalannya waktu, setiap orang mengalami perubahan mulai dari cara berfikir, berbicara, dan bertoleransi. Hal ini harus dikontrol oleh setiap individu. Dikhawatirkan semakin berkembangnya zaman akan merubah tatanan masyarakat yang telah dibentuk sejak dulu dengan rasa kekeluargaan dan keharmonisan.

Kemunduran Masjid

Seorang pemuka agama bernama Kyai Sriyanto menegaskan bahwa “Masjid Al-Hurri juga mengalami kemunduran yang sangat signifikan dipengaruhi oleh aspek sosial masyarakat di masa-masa arus globalisasi yang berkembang”. Masjid ini mengalami pasang surut pada tahun 2000-an. Sebagaimana telah kita ketahui, pada saat teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi berkembang demikian cepat. Kemajuan ini memunculkan problematika yang bermacam-macam persoalan, mulai dari bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial.

Dalam keadaan demikian, manusia menghadapi berbagai macam persoalan yang benar-benar membutuhkan pemecahan segera. Situasi yang penuh dengan problematika di dunia modern justru disebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia sendiri. Perilaku, gaya hidup, norma pergaulan dan kehidupan yang dipraktikkan  perlahan menjauh dari nilai esensi yang diajarkan oleh para pendahulunya.

Baca Juga :   Pengaruh Islam dalam Tradisi Sadranan

Akibat pengaruh modernisasi banyak manusia khususnya umat Islam yang lupa bahwa Islam mengajarkan cinta, perdamaian dan kasih sayang. Di zaman sekarang ini, tidak sedikit umat Islam yang lemah iman karena telah salah dalam menyikapi modernisasi. Adanya modernisasi ini membawa dampak positif dan negatif bagi kepentingan bangsa dan umat Islam. Dampak positif misalnya makin mudahnya memperoleh informasi dari luar sehingga dapat membantu dan menambah wawasan keilmuan dalam usaha memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi. 

Berkaitan dengan umat Islam di Indonesia, dampak negatif yang paling nyata dan dirasakan adalah masuknya nilai-nilai asing yang terbentuk melalui berbagai cara. Nilai-nilai agama yang dianut oleh sebagian besar bangsa kita mulai mengalami penyimpangan. Sebenarnya hal penting dari modernisasi bagi umat Islam adalah seberapa pesat peranan Islam dalam menata semua umat manusia menuju tatanan dunia baru bukan budaya baru dengan tujuannya agar memajukan peradaban.

Posisi masjid pada masa modernisasi semakin mengalami kemunduran, pada tahun 2005 muncul berbagai pemikiran dan gerakan Islam politik maupun Islam kultural sehingga membentuk varian dalam beragama. Hal ini berdampak pada lingkungan masyarakat khususnya budaya. Paham-paham ekstrim atau cara beragama yang berlebihan dan dikatakan keras mulai masuk. Nilai ini tidak sejalan dengan adat dan budaya masyarakat yang turun temurun, sehingga kesan yang ditimbulkan ialah masuknya budaya asing dalam tatanan kehidupan sosial  berpengaruh terhadap kemakmuran masjid. 

Contoh bedug atau kentongan. Pada tahun 1980 esensi dari bedug sebagai alat atau sarana pertanda masuknya shalat sebab pada saat itu masih minimnya pengeras suara. Bukan berarti panggilan shalat itu bedug, tetapi panggilan shalat itu adzan. Fungsi bedug sebagai tanda atau pengingat waktu sholat. Tetapi di masjid Al-Hurri ini, terjadi pro dan kontra akan budaya yang telah berkembang. Situasi ini muncul pada tahun 2005. Dari sinilah muncul pemahaman yang ekstrem yang menganggap bedug tidak ada contohnya dari Rasulullah. Banyak pihak kemudian memvonis bedug sebagai bid’ah dan menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Cara berpikir keislaman akan menimbulkan sikap tidak mau menghargai hasil dari setiap upaya manusia untuk memajukan peradaban, sehingga pola tatanan masyarakat berubah secara signifikan dan mulai menghilangkan budaya yang luhur oleh para pendahulunya (Rohmadi, 2021)

Di zaman sekarang ini, masih banyak orang yang kurang memiliki sikap moderat dalam beragama. Banyak orang yang menganggap dirinya paling benar dan secara cepat memvonis seseorang dengan sebutan kafir, bid’ah atau sebagainya. Padahal jika kita lihat di zaman Rasulullah, beliau tidak pernah memvonis sahabatnya, saudara muslimnya dengan sebutan bid’ah atau kafir (Rohmadi, 2021). Maka di situasi saat ini, nilai-nilai moderat harus ditanamkan di setiap individu.

Sikap moderat merupakan cerminan sikap ideal seorang Muslim, sebab mereka meyakini bahwa Islam hadir bukan untuk merusak tradisi masyarakat,tetapi Islam hadir  untuk menyempurnakan tradisi masyarakat disempurnakan dengan syariat dan akhlak (Fitriyana dkk., 2020). Apabila Islam saat ini dipandang sebagai aliran yang keras, jangan seolah-olah kita menyalahkan agamanya tetapi bagaimana cara berfikir dan memahami agama pada setiap orang. Sebagai umat Islam harus saling mengingatkan kepada sesamanya untuk bersikap akhlaqul karimah sesuai dengan contoh Rasulullah. Maka peradaban Islam akan semakin maju mulai dari masjid, lingkungan, dan pola hidup masyarakat.

REFERENSI :

Apriani, Ni Wayan, and Ni Komang Aryani. Moderasi Beragama. Kalangwan Jurnal Pendidikan Agama, Bahasa Dan Sastra. I. Vol. 12. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2022. https://doi.org/10.25078/kalangwan.v12i1.737.

Setiadi, Elly M, Hakam, A., & Ridwan Effendi. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Ketiga. Jakarta: KENCANA, 2013.

Fitriyana, Pipit Aidul, Raudatul Ulum, Adang Nofandi, Wakhid Sugiarto, Ahsanul Khalikin, Fathuri SR, Ibnu Hasan Muchtar, and Reslawati. Dinamika Moderasi Beragama Di Indonesia. Edited by Nurhata. I. Jakarta: LITBANGDIKLAT PRESS, 2020.

Muhsin, Imam, Zuhrotul Latifah, and Ali Sodiqin. Sejarah Islam Lokal. 1st ed. Yogyakarta: BIDANG AKADEMIK, 2008.

Ningsih, Rahmah. “Kedatangan Dan Perkembangan Islam Ke Indonesia.” Forum Ilmiah 18, no. 2 (2021): 212–27. https://doi.org/10.32923/maw.v11i1.995.

Putri, Sagnofa Nabila Ainiya, and Muhammad Endy Fadlullah. “WASATHIYAH (Moderasi Beragama) Dalam Perspektif Quraish Shihab.” INCARE 03, no. 01 (2022): 66–80.

Rohmadi. “Deradikalisasi Paham Keagamaan Melalui Moderasi Beragama Pada Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang.” TADRIB 7, no. 2 (2021): 211–26.

Syafrizal, Achmad. SEJARAH ISLAM NUSANTARA. Islamuna: Jurnal Studi Islam. Vol. 2, 2015. http://www.ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/islamuna/article/view/664/617.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts