Dampak dari Depresi Ekonomi 1930 Terhadap Perubahan Kebiasaan Makan Kaum Eropa dan Pribumi Hindia Belanda 

Depresi ekonomi global yang terjadi pada 29  September 1929 mengawali sejarah baru perekonomian dunia.  Puncaknya adalah ketika merosotnya nilai saham di Pasar Saham Amerika. Sebanyak 40% nilai saham hilang. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor yaitu adanya resesi ekonomi yang menjadikan banyak investor menanamkan dananya ke Amerika. Hal tersebut menyebabkan harga saham semakin melambung tinggi dan secara tiba-tiba jatuh. Arus dollar tertarik ke US dan terjadi penumpukan yang berlebihan atas dollar dan beresiko besar terjadi inflasi. Akibat dari peristiwa ini, dikeluarkanlah kebijakan dengan menaikkan suku bunga bank yang diharapkan dapat menstimulasi masyarakat untuk menabungkan uangnya, sehingga peredaran uang dapat ditekan di masyarakat dan inflasi dapat terhindarkan. Namun, kebijakan ini disinyalir sebagai awal dari kemerosotan ekonomi. Terjadinya depresi ekonomi global bukanlah semata-mata disebabkan oleh jatuhnya nilai bursa saham.  terdapat Kegemaran masyarakat  untuk  menginvestasikan uangnya di bursa saham untuk melakukan hoarding money (menimbun uang) menjadi salah satu faktor.

Oleh : Annisa M. Mulsy

Dampak yang terjadi dari merosot nya nilai saham di pasar saham Amerika berimbas juga di Hindia Belanda. Menurut Dietmar Rotehmund, negara-negara yang terlibat dalam perang masih belum memiliki kestabilan ekonomi negara yang baik. Berbagai dampak dituai akibat dari depresi ekonomi global ini. Padmo mengatakan, setidaknya bila dihumpun terdapat empat hal yang menjadi dampak utama dari depresi di Hindia Belanda. Dampak tersebut meliputi jatuhnya harga dan permintaan komoditas barang dagang internasional, masalah perkebunan, pabrik gula dan karet, krisis keuangan, hingga berujung pada masalah sosial ekonomis seperti berkurangnya secara tajam tingkat harapan kerja, pendapatan, dan juga daya beli masyarakat di seluruh penjuru Hindia Belanda. 

Hal yang disoroti dalam permasalahan ini adalah dampak dalam sosial budaya. Dalam kondisi sosial ekonomi yang sedang genting, terdapat suatu budaya yang bagi kaum Eropa dijadikan sebagai sebuah simbol identitas serta nilai moral untuk membuktikan status sosialnya sebagai bangsa penguasa. Budaya tersebut ialah persoalan makan. Terdapat sebuah budaya makan Barat yang biasa dikenal dengan Rijsttafel. Rijsttafel adalah hasil dari kebudayaan Indis (percampuran budaya Barat dan Timur). Dalam perjalanannya Rijsttafel sangat identik dengan nuansa kolonial. Pelaku kebudayaan ini adalah orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi yang larut dalam hingar-bingar kebudayaan Eropa. Hal Ini menjadikan persoalan makan bukalah hanya sekadar proses biologis, tetapi lebih dari pada itu  terdapat persoalan status sosial dan dikotomi budaya superior dan inferior yang merasuk. 

Rijsttafel yang digelar di Hotel der Nederlanden, Batavia pada 1931 (https://nationalgeographic.grid.id/)

Kebiasaan makan kaum pribumi yang sederhana dengan duduk dilantai, mengalasi makanan dengan daun pisang atau piring kayu, makan menggunakan jari tangan dengan mencuci tangan sebelum makan agar nasi mudah dikepal dan tidak lengket saat disuapkan ke mulut merupakan hal yang umum dilakukan dalam kebiasaan makan kaum pribumi. Mereka pun biasa memanfaatkan ikan hasil tangkapan untuk disantap bersama keluarga dengan digoreng dan memadukannya dengan nasi dan sambal-sambalan. Makan akan ditutup dengan meminum kopi hitam pekat, menghisap rokok nipah (dari daun jagung) dan mengunyah sirih. Umumnya sebagian besar orang Belanda memandang rendah budaya makan kaum Pribumi. Namun tanpa disadari mereka pun larut dalam kebiasaan makan kaum yang mereka rendahkan. Kebiasaan makan nasi tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari keluarga Belanda. Hal tersebut didukung oleh kesibukkan para perempuan Belanda untuk mendampingi para suami untuk berdinas serta kemewahan yang menjadikan para perempuan Belanda malas untuk turut campur dalam urusan dapur sehingga menyerahkannya kepada juru masak pribumi. Ketergantungan tersebut mempengaruhi pola makan serta hidangan yang biasa  dikonsumsi keluarga Belanda sehari-hari. Juru masak biasa memasukkan sajian nasi dan hidangan pribumi ke meja makan keluarga Belanda. Pada akhirnya kebiasaan ini berkembang dari generasi ke generasi serta menjadi selera makan mereka. Mereka menamakan kebiasaan makan nasi ini dengan ungkapan rijsttafel. Rijst yang berarti nasi dan tafel yang berarti “meja” kata kiasan dari hidangan. Menu hidangan rijsttafel umumnya terdiri dari nasi soto, nasi goreng, gado-gado, nasi rames, lumpia, dan sebagainya. Elemen lain yang semakin menunjukkan eksklusivitas rijsttafel bagi kaum Eropa adalah penggunaan piranti makan seperti piring, sendok, garpu, gelas, pisau yang berbahan perak, kristal ataupun emas. Penggunaan piranti makan ini menghadirkan kesan mewah dan elegan serta secara tidak langsung juga menunjukkan status sosial mereka. Sementara itu kehadiran pelayan dalam acara perjamuan dalam jumlah banyak juga semakin memberikan kesan pembeda status sosial antar kalangan Belanda dan Pribumi.

Baca Juga :   Angkringan dan Beragam Pangan

Problematika yang hadir akibat dari depresi ekonomi global (malaise) menjadikan adanya perubahan-perubahan dan dampak-dampak yang terjadi dalam tatanan pola makan baik bagi kaum Pribumi maupun Eropa. Sejak melandanya krisis malaise di Hindia Belanda eksistensi rijstaffel meredup, hal tersebut dibarengi dengan kemunculan produksi makanan kaleng. Namun kehadiran makanan kemasan tidak semata-mata menghilang jejak rijsttafel pada pandangan orang Eropa. Eksotika dan kemewahan rijsttafel menjadi daya tarik orang Eropa untuk tetap mempertahankan budaya makan tersebut. Berbeda bila pada masa sebelum krisis malaise orang-orang Eropa dapat menikmati sajian rijsttafel kapan saja, namun pada masa krisis orang-orang Eropa hanya dapat menyantap sajian tersebut pada hari Minggu saja. Pada hari-hari lainnya mereka lebih memilih menyantap masakan kemasan kaleng. Selain itu imbas dari krisis ini adalah menurunnya kesejahteraan fisik terlebih bagi masyarakat kecil di desa-desa. Kelaparan yang melanda menyebabkan mereka berhari-hari tidak memakan sesuap nasi dan akhirnya  mereka hanya memakan dedauan, ares pohon pisang, gaber atau gelang. Permasalahan ini semakin serius karena menyebabkan menurunnya kesehatan masyarakat kecil. Akibat dari ketidakmampuan masyarakat membeli makanan layak santap kebanyakan dari mereka terpaksa memakan tempe bongkrek, makanan yang terbuat dari kedelai dan ampas kelapa. Walaupun terkadang makanan ini beracun namun masyarakat kecil sangat menyukai makanan ini. 

Upaya-upaya alternatif dilakukan guna menyelesaikan permasalah ini. Salah satu tokoh yang memberikan perhatiannya kepada permasalahan ini adalah W.F Donath. Ia menyampaikan keresahannya pada pidato pengukuhan guru besar bidang kimia di De Geneeskundige Hogeschool Batavia. Ia mengkritisi cara masyarakat Indonesia yang hanya menjadikan beras sebagai makanan pokok padahal banyak bahan makanan yang dapat dijadikan sebagai panganan pokok. Bahan-bahan makanan yang ia sarankan menjadi bahan pokok adalah jagung, kedelai, ikan, ubi, dan singkong. Dalam penelitiannya ia mendudukan kacang kedelai diurutan pertama sebagai makanan yang paling sering dikonsumi oleh masyarakat pribumi. Donanth melihat terdapat banyak kandungan nutrisi dalam kedelai dan menjadi bahan paling bernutrisi jika dibandingkan dengan lainnya. Karena itulah ia menekankan urgensi untuk mengkonsumsi kedelai untuk masyarakat.

Penelitian lain dilakukan oleh Crince le Roy pada tahun 1930. Dimana dalam penelitiannya menunjukan bahwa kecenderungan terbesar makanan yang dikonsumsi masyarakat Jawa dan Madura per tahun tidak kurang dari 27 kg ubi, 119 kg singkong, dan 90 kg beras. Ketertarikan masyarakat pada ubi bukan tanpa alasan. Hal tersebut dilatar belakangi dari kelangkaan beras akibat gagal panen dan malaise. 

Berdasarkan alasan tersebut Departemen van Economische Zaken yang mengurusi persoalan ekonomi bersama dengan Dinas Pertanian dan Perikanan melakukan inisiasi dengan melakukan penelitian untuk mengkaji efek krisis malaise yang berimbas kepada persediaan makanan penduduk di berbagai wilayah. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 1934 dengan menjadikan Kutowinangun sebagai sampel dalam penelitian ini. Dari Kutowinangun para peneliti melihat terdapat 37 tanaman yang diolah sebagai menu makanan sehari-hari. Menu-menu tersebut didominasi oleh makanan berbahan nabati. Penelitian selanjutnya dilakukan di Gresik Jawa Timur. Penelitian selama kurun waktu dua tahun melibatkan 101 keluarga di sembilan wilayah. Dari investigasi tersebut dihasilkan bahwa terdapat tidak lebih dari 4% rerata konsumsi protein hewani yang didapat dari konsumsi daging di Gresik. Bila dibandingkan dengan kedua lokalitas tersebut, dapat disimpulkan konsumsi panganan di wilayah Gresik dengan wilayah pesisirnya lebih didominasi dengan protein ikan dan wilayah Kutowinangun masih mengandalkan potensi agrarisnya. Untuk segera mengentaskan permasalahan ini, para ahli menginisiasikan untuk mendirikan lembaga makanan rakyat. Kemudian didirikanlah Instituut voor Volksvoeding (lembaga makanan rakyat) dengan bantuan dana dari Nederlandsche Welvaartbijdrage berdirilah pada akhir April 1937. Lembaga ini bertujuan untuk meneliti bahan makanan dan juga mempublikasikan kepada masyarakat bahan-bahan makanan yang baik untuk kesehatan.

Baca Juga :   Wahid Hasyim: Pelopor Pendidikan Modern di Kalangan Pesantren

Selain itu Van Mol salah seorang Konsultan Pertanian untuk Urusan Pendidikan juga mengkrtisi cara makan orang Eropa yang tetap mempertahankan gaya makan mereka demi mempertahankan nilai sebagai bangsa penjajah. Hal tersebut dibuktikan dengan dirilisnya artikel yang berjudul “Desamenstellung van ons menu” dimuat dalam majalah Bandoengsche huisvrouw tahun 1941. Ia mengatakan bahwa orang-orang Eropa sudah seharusnya belajar menerima keadaan dengan tidak melulu berpegang teguh pada kemewahan Indische keuken, namun juga harus dapat menerima makanan murah demi kepentingan nasional. Van Noordt juga mengusulkan bahwa untuk dapat makan makanan mahal dan bernutrisi tinggi dapat disiasati dengan mengkonsumsi makanan berbahan nabati. Olahan makanan alternatif yang diusung van Noordt adalah kecap, tempe, susu, dan oncom.

Singkatnya dari prosesi makan telah terjadi garis pemisah antara bangsa terjajah dan bangsa penjajah, masalah semakin kompleks pada masa depresi ekonomi malaise dimana dalam keadaan yang genting dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Eropa tetep berusaha mempertahankan budaya makan mewah mereka demi eksistensinya di negara jajahan. 

DAFTAR PUSTAKA

Djoko Soekiman. 2014. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok: Komunitas Bambu. 

Fadly Rahman. 2016. Ristafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 

Fadly Rahman. 2016. Jejak Rasa Nusanatara: Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Laili Windyastika. 2015. Skripsi: “Menjadi “Eropa” di Meja Makan: Rijsttafel dan Gaya Hidup Elite Jawa di Vorstenlanden 1900-1942”. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta

Taufik Siswoyo, dkk. 2017. Pengaruh Malaise Terhadap Perkebunan Kolonial di hindia Belanda 1920-1940. https://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/index.php/PES/article/view/14 588. Diakses 1 Juli 2021 pukul 00.09.Sumber gambar: https://nationalgeographic.grid.id/read/132509353/rijsttafel-gaya-hidup-yang-menjadi-nilai-jual-pariwisata-kolonial?page=all

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts