Biografi KH. Mochammad Nawawi

KH Mochammad Nawawi merupakan salah satu kyai terkenal di Mojokerto. Banyak masyarakat memanggil beliau dengan sebutan “Mbah Nawawi Jagalan” karena beliau tinggal di daerah Jagalan, Kota Mojokerto. Gelar kyai yang diberikan awalnya merupakan pemberian dari masyarakat sekitar karena beliau dianggap memiliki kelebihan ilmu agama dan pengetahuan yang luas.

Oleh Firmanda Dwi Septiawan

KH Mochammad Nawawi lahir dari orang tua bernama Munadi dan Chalimah. Ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan, sedangkan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga. Semasa kecil Nawawi merupakan sosok yang berbakti kepada orang tua. Masyarakat sekitar mengenalnya sebagai anak yang gagah dan berkulit bersih. Kemudian ketika memasuki usia sekitar tujuh tahun, KH. Mochammad Nawawi disekolahkan di HIS-P (Hollands Inlandsche School Partikelir atau setara Sekolah Dasar). 

Pendidikan 

Sejak usia remaja, KH. Mochammad Nawawi telah menunjukkan tanda-tanda akan menjadi seseorang yang mempunyai prinsip dalam hidupnya. Setelah lulus dari HIS-P, KH. Mochammad Nawawi diantar oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang untuk nyantri dan berguru kepada K.H. Hasyim Asy’ari. Ketika KH. Mochammad Nawawi melangkah dan memasuki pintu gerbang pondok pesantren Tebuireng Jombang, ayahnya Munadi memberikan sebuah pesan atau amanah untuk KH. Mochammad Nawawi yaitu “Jadikan hidupmu berguna bagi agama dan bangsa.” Pesan tersebut membekas di hati KH. Mochammad Nawawi hingga dewasa. Selama menjadi santri di pondok pesantren Tebu Ireng Jombang, KH. Mochammad Nawawi dikenal sebagai santri yang tekun dalam belajar. Kala itu beliau seperguruan dengan KH. Munasir Ali (Komandan Laskar Condromowo) yang berasal dari Mojokerto (Khotib, 1996; 18).

Ketika menjelang bulan Ramadhan,  kegiatan belajar di pondok pesantren Tebuireng biasanya libur karena banyak para santri yang pulang kampung untuk bertemu dengan keluarganya. Namun KH. Mochammad Nawawi tetap tinggal di pondok pesantren Tebuireng untuk mengikuti diskusi Ramadhan dan mengikuti kegiatan pengajian kitab yang biasanya diadakan oleh pengurus pondok pesantren selama bulan Ramadhan. Diskusi ini diadakan dengan tujuan untuk memperdalam pelajaran yang sudah diberikan oleh para ustadz. Selain itu, para ustadz dan kyai juga memberikan informasi tentang kondisi kehidupan yang meliputi keagamaan, masyarakat, pendidikan, sosial dan ekonomi Indonesia  yang pada waktu itu di bawah penindasan pemerintahan Hindia Belanda. Tujuan dari diskusi Ramadhan ini untuk melatih para santri dalam berpikir dan melatih para santri dalam kepekaan sosial (Khotib, 1996; 6).

Setelah selesai berguru di pondok pesantren Tebuireng Jombang, beberapa tahun kemudian KH. Mochammad Nawawi berkeinginan untuk menambah dan memperdalam ilmu agama kepada kiai-kiai lainnya. Kemudian KH. Mochammad Nawawi berguru di pondok pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Setelah itu KH. Mochammad Nawawi juga berguru kepada kyai Sholeh Panarip, Mojokerto. Di Nganjuk KH. Mochammad Nawawi juga berguru di Kiai Zainuddin dan terakhir KH. Mochammad Nawawi berguru pada Kiai Kholil di Kademangan, Bangkalan, Madura. Berdasarkan ulasan yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa KH. Mochammad Nawawi telah menghabiskan waktu sekitar 18 tahun lamanya untuk berguru ilmu di pondok pesantren (Abdullah Masrur Khotib, Nasionalisme Dua Kiai, hlm 17). Di balik wajahnya yang berseri-seri, beliau juga memiliki sikap yang tegas. Pakaian sehari-hari biasanya menggunakan warna putih, memakai sarung khas Samarinda dan saling menyapa terhadap masyarakat sekitar (Nasionalisme Dua Orang Kiai, 1996). Sifat kepemimpinan KH Mochammad Nawawi sudah terlihat sejak remaja, terutama saat berada di lingkungan pondok pesantren. 

Karier

Perjalanan karier KH. Mochammad Nawawi selepas menempuh pendidikan di Pesantren, beliau mendirikan sebuah usaha penjahitan. Kemudian setelah menikah dengan Nyai Nafisah putri dari kyai Syafi’i pada tahun 1914, KH. Mochammad Nawawi menyewa sebuah rumah di tengah-tengah kota Mojokerto tepatnya di Dukuh Mangunrejo, Jagalan dengan tujuan untuk dijadikan sebagai tempat usaha penjahitan. Rumah yang disewa berada ditengah-tengah kota Mojokerto ini terletak diujung timur jalan kampung Sidomulyo Gg II, menghadap Jalan Mojopahit (Abdullah Masrur Khotib, Nasionalisme Dua Kiai, hlm 17). KH. Mochammad Nawawi adalah seorang penjahit terkenal di Mojokerto. Pada waktu itu hanya ada tiga orang penjahit saja yang terkenal di Mojokerto yaitu KH. Mochammad Nawawi, penjahit berkebangsaan Jawa, dan penjahit berkebangsaan Tionghoa. Banyak masyarakat Mojokerto memanggilnya dengan sebutan penjahit Tiong Hien. Jahitan KH. Mochammad Nawawi paling banyak disukai oleh masyarakat sekitar. Karena jahitannya tersebut rapi dan ongkosnya juga relatif murah. Bahkan, banyak orang-orang Belanda pada waktu itu memesan pakaian kepada KH. Mochammad Nawawi (Abdullah Masrur Khotib, Jejak Langkah KH. Nawawi,hlm 12). KH. Mochammad Nawawi biasanya memberikan dakwah kepada orang-orang yang biasanya menjahitkan pakaian kepadanya.

Ketika menjelang hari raya Idul Fitri, banyak orang mempersiapkan pakaian di hari raya Idul Fitri. Begitu pula dengan para tetangga KH. Mochammad Nawawi. Mereka biasanya berbondong-bondong ke rumah KH. Mochammad Nawawi untuk memesan baju dari jahitannya. Dari beberapa tetangga KH. Mochammad Nawawi tersebut, terdapat beberapa tetangga yang kurang mampu untuk membayar. Kemudian KH. Mochammad Nawawi tidak memperbolehkan mereka untuk membayar ongkos tersebut.

Baca Juga :   Sejarah Kota Terkecil di Indonesia “Kota Mojokerto 1918-1942”

Beberapa bulan kemudian KH. Mochammad Nawawi merasa kewalahan dalam melayani banyak orang untuk menjahit pakaian kepadanya. Kemudian KH. Mochammad Nawawi berinisiatif untuk mengangkat beberapa orang pembantu untuk menjahit pakaian. Setelah mendapatkan para pembantu dalam menjahit, KH Mochammad Nawawi hanya membuat pola pembuatan pakaian saja, sedangkan untuk proses pemotongan pakaian sudah dikerjakan oleh pembantunya yaitu Sanusi dan Sujak yang menjahit pakaian. 

Sebagai seorang pemilik usaha penjahitan, KH. Mochammad Nawawi biasanya memberikan petunjuk cara menjahit dengan benar dan mengawasi para pembantu-pembantunya dalam bekerja. Usaha penjahitan tersebut semakin hari semakin lancar sehingga KH. Mochammad Nawawi dapat membeli sebuah tanah pekarangan untuk dijadikan sebagai musala. Pekarangan tersebut cukup strategis karena menghadap jalan raya yang besar.

Selain berprofesi sebagai penjahit, KH. Mochammad Nawawi juga berprofesi sebagai seorang guru ngaji di beberapa musala-musala. Terkadang KH. Mochammad Nawawi juga mendatangkan pendakwah dari teman-teman seperjuangannya sendiri seperti KH. Naser dari Damean, Gresik untuk memberikan pengajian umum di halaman musala. Meskipun rumah KH. Mochammad Nawawi sederhana, banyak para tamu yang berkunjung. Biasanya para tamu tersebut berasal dari beberapa lapisan yaitu berasal dari kalangan biasa, kalangan menengah hingga kalangan ke atas. Bahkan para pejabat-pejabat di daerah Mojokerto biasanya berkunjung seperti Dr. Sukandar dan Bupati Mojokerto untuk menimba ilmu agama kepada KH. Mochammad Nawawi (Abdullah Masrur Khotib, Jejak Langkah KH. Nawawi, hlm 19).

Ketika KH. Mochammad Nawawi mengajar ngaji biasanya beliau memberikan pelajaran kepada para santrinya dengan mengutip beberapa ayat al-Qur’an dan hadist, selain itu beliau juga menyelipkan beberapa kidungan (Nyanyian lagu syair yang dinyanyikan dengan menggunakan bahasa Jawa), agar para santrinya lebih mengerti materi yang disampaikan.

Mendirikan Lembaga Pendidikan Pesantren

Pada tahun 1935, KH Mochammad Nawawi mengikuti Muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin, pada waktu itu beliau memperoleh ilmu pengetahuan dan pengalaman baru yang menyangkut tanggung jawab ulama dalam kehidupan bermasyarakat. Pengalaman yang beliau peroleh dalam mengajar ngaji dan mengelola organisasi Nahdlatul Ulama cabang Mojokerto ini membuat KH. Mochammad Nawawi berpikir dan berinisiatif untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam tingkat dasar di Mojokerto. Kemudian usulan beliau untuk mendirikan lembaga pendidikan tersebut didukung sepenuhnya oleh pengurus Nahdlatul Ulama cabang Mojokerto.

Tujuan utama didirikan lembaga pendidikan tersebut untuk mengimbangi lembaga pendidikan yang dibuat oleh Belanda. Pendiri lembaga pendidikan Islam ini  tidak hanya KH. Mochammad Nawawi saja melainkan juga para pengurus Nahdlatul Ulama Mojokerto lainnya seperti KH. Zainal Alim. Lembaga  pendidikan Islam ini pertama dibentuk pada tahun 1935 dan diberi nama “Madrasah Ibtidaiyah NU”(Abdullah Masrur Khotib, Nasionalisme Dua Orang Kiai, hlm 14).

Awalnya madrasah ini ditempatkan di teras mushola KH. Zainal Alim yang terletak di sebelah selatan Pasar Pahing. Pada saat itu diatas tanah tersebut ditempati sebagai pasar yang bernama Pasar Pahing. Kemudian tempat tersebut dijadikan sebagai mushola dan rumah KH. Zalim Alim dijadikan sebagai rumah dinas Walikota Mojokerto. Di dalam pendirian madrasah tersebut, KH. Mochammad Nawawi juga menjadi seorang guru. Pada waktu itu beliau mengajarkan para siswa dan siswinya untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan memakai bahasa Arab dengan tujuan agar para penguasa Belanda tidak melarang. Notasi lagu Indonesia Raya tersebut sama seperti aslinya, tidak berubah. Selain itu terdapat beberapa kiai juga ikut mengajar di Madrasah ibtidaiyah NU, diantaranya yaitu KH. Khozim dari Siwalan Panji, Sidoarjo dan KH. Muhammad dari Japanan, Porong.

Mengikuti organisasi PETA

Pada masa hidupnya KH. Mochammad Nawawi juga pernah terlibat dalam pembentukan PETA di Mojokerto. Pada 3 oktober 1943, panglima Jepang Letnan Jenderal Kumakici Harada menerima dan mengeluarkan peraturan yang disebut dengan Osanu Seirei no. 43 (Sumber: Arsip Perjuangan Laskar Hizbullah Karesidenan Surabaya Dalam Menghadapi Tentara Sekutu Dan Jepang). Keputusan yang ditandatangani oleh Letnan Jenderal Kumakici Harada itu kemudian dilanjutkan oleh pemerintah daerah. Kemudian bupati mengeluarkan maklumat tentang penerimaan opsir PETA (pembela tanah air). Isi maklumat tersebut berisi sebagai berikut:

Barangsiapa ingin menjadi opsir pada Tentara Pembela Tanah Air, hendaklah menyampaikan surat permohonan kepada Ketyoo Sontyoo dan Guntyoo. Kemudian permohonan tersebut akan diteruskan kepada Syuutyookan. Permohonan itu perlu diterangkan hal-hal berikut ini: 

a. Nama lengkap, umur dan alamat.  

b. Tamatan sekolah apa dan pekerjaan. 

Baca Juga :   Pemikiran Eduard Douwes Dekker Tentang Kolonialisme

c. Agama dan nama partai atau nama perkumpulan yang diikuti. 

d. Keadaaan keluarga. 

e. Keadaan penghidupan (cukup atau kurang).

 f. Keadaan kesehatan. 

g. Keturunan atau Sanad keluarga 

h. Keterangan lain-lain meliputi kepandaian berbahasa Nippon atau bahasa asing dan sebagainya yang dijadikan pertimbangkan.

Tenaga Pembela Tanah Air (PETA) ini direkrut dari berbagai daerah di Jawa, Madura dan Bali. Para pemuda diberi kesempatan untuk mendaftarkan diri sebagai panitia yang akan dibentuk di tiap-tiap kabupaten. Para pendaftar kemudian diseleksi secara fisik dan mental sebelum dikirimkan ke dalam pelatihan militer. Para anggota PETA juga dilatih kemiliteran dengan baik agar para anggota PETA tersebut bisa ditempatkan di garis pertahanan. 

Awalnya tujuan PETA hanya untuk menunjang Jepang dan Indonesia. Namun pada bulan oktober 1943, panitia PETA dibentuk di Mojokerto. Dalam pembentukkan panitia tersebut diadakan rapat di Gedung Baitol Mal, Jl. Jagalan no 15 Mojokerto. Gedung Baitol Mal tersebut terletak berseberangan dengan rumah tahanan yang dijadikan sebagai pusat Masyumi di Mojokerto (Catatan Arsip Ayuhanafiq, 2019).

KH.Mochammad Nawawi tidak hanya mendirikan NU di Mojokerto dan mendirikan madrasah ibtidaiyah al-Muksinun saja melainkan beliau juga terlibat dalam pembentukan pasukan sukarela yang diberi nama Pembela Tanah Air (PETA) di Mojokerto. Ketua dalam kepanitiaan PETA tersebut adalah Mas Ngabehi Rediono.

Pada saat itu, KH. Mochammad Nawawi menjabat sebagai pembantu atau anggota dalam kepanitiaan PETA. Pada akhir bulan oktober 1943, pengrekrutan panitia PETA yang ada di Mojokerto mencapai sebanyak 127 pemuda yang berasal dari Mojokerto. Keterlibatan KH. Mochammad Nawawi dalam panitia PETA tidak lepas dari jabatan yang dimilikinya. Pertengahan bulan November 1943, panitia mengadakan kegiatan Pekan Pembelaan Tanah Air. Kegiatan tersebut diadakan dengan tujuan untuk mengadakan event pengumpulan dana agar dapat menyokong keberadaan PETA yang ada di Mojokerto. 

Beberapa pemateri memberikan materi kepada para panitia PETA (pembela tanah air) untuk mengobarkan, memberikan semangat berjuang dan berkorban dalam melawan Sekutu di perang Asia Timur Raya. (Catatan Arsip Ayuhanafiq, 2019). Pada saat acara tersebut dimulai, KH. Mochammad Nawawi juga sebagai salah satu pemateri pada rapat tersebut. Acara event pengumpulan dana tersebut diadakan pada hari minggu pagi. KH. Mochammad Nawawi berpidato dihadapan para anggota panitia dan para pemuda Mojokerto, inti dari pidato beliau adalah bahwa kita semua berkewajiban membela tanah air.

Pada tanggal 22 Agustus 1946 KH. Mochammad Nawawi wafat ketika mengikuti pertempuran Hizbullah di Sidoarjo. Beliau sebagai komandan barisan Sabilillah Kares. Surabaya. Perjuangan KH. Mochammad Nawawi dalam pertempuran Hizbullah mendapatkan tanda penghargaan sebagai berikut:

Gambar 1. Tanda Penghargaan “Pemancangan Bambu Runcing Di Pusarnya”

(Sumber : Arsip Surat Tanda Penghargaan)

1.) Dianugerahi sebagai “Pemancangan Bambu Runcing Di Pusarnya“ yang diberikan oleh Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Jawa Timur pada tahun 1995. Tanda penghargaan tersebut disimpan oleh anggota keluarganya.

Kiai Nawawi, Syuhada Sejati yang Gugur Pertahankan Kemerdekaan RI

Gambar 2. Makam KH. Mochammad Nawawi berada di TPU Dusun Mangunrejo, Desa Sidoharjo, Kec. Gedeg, Mojokerto.

(Sumber : Detik.com)

2.) Mendapatkan gelar “mati syahid” yang tertulis pada nisan beliau.

Gambar 3. Acara napak tilas diadakan di depan kantor pemerintahan kota Mojokerto

3.) Setiap satu tahun sekali terdapat tradisi napak tilas yang dilaksanakan di lokasi beliau gugur di medan perang yaitu di Dusun Pelembungan, Desa Sumantoro, Kec. Sukodono, Kab. Sidoarjo sampai di pondok pesantren an-Nawawi di kota Mojokerto.

Gambar 4. Jalan KH. Nawawi yang berada di kota Mojokerto sejak tahun 1967

4.) Nama KH. Mochammad Nawawi juga dijadikan sebagai nama jalan di Mojokerto yaitu “Jalan KH. Nawawi”.

Sumber Referensi :

Ayuhanafiq, Garis Depan Pertempuran Laskar Hizbullah 1945-1950. Yogyakarta: Azzagrafika, 2013.

Abdullah Masrur Khotib. Jejak Langkah KH. Nawawi Titik Akhir Di Sumantoro. Mojokerto: YPLP Sutasoma, 2013

Abdullah Masrur Khotib. Nasionalisme Dua Orang Kiai. Bogor: PT Marusindo Aji Mandiri, 1996.

Buku perjuangan Laskar Hizbullah Karesidenan Surabaya dalam menghadapi tentara Sekutu dan Jepang.

Buku sejarah singkat Batalyon 39 CONDROMOWO pada tahun 1995 

Catatan Arsip Ayuhanafiq, 2019

El-Kayyis, Isno. Perjuangan Laskar Hizbullah di Jawa Timur. Jombang: Tebuireng, 2015.

Faisol, Moch. Jejak Laskar Hizbullah Jombang. Jombang: Pustaka Tebuireng, 2018

Mumazziq Z, Rijal. Surabaya: Kota Pahlawan Santri. Surabaya: LTN NU Surabaya, 2017.

Notosusanto, Nugroho. Pertempuran Surabaya. Jakarta: PT Mustika Sumber Widya, 1985.

Rifai, Muhammad. K.H. Hasyim Asy’ari Biografi Singkat 1871-1947. Jogjakarta: Garasi, 2018.

Sukamto. Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren. Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1999.

Surat persaksian adanya pemakaman pejuang 45 pada tahun 1995

Surat tanda penghargaan yang dikeluarkan oleh dewan harian daerah angkatan 45 provinsi 

Jawa Timur dengan No. 01/DHD-45/MR/VIII/1995 pada tahun 1995.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts