Benang Kusut Pembantaian Dukun dan Kaum Nahdliyin di Banyuwangi Tahun 1998

Banyuwangi terkenal dengan Tari Gandrungnya yang sangat ikonis. Tarian ini sempat menjadi perbincangan setelah cerita KKN Desa di Penari banyak mendapat perhatian publik beberapa waktu lalu. Namun, Banyuwangi tidak hanya dikenal dengan Tari Gandrungnya saja tetapi juga stigma negatif tentang perdukunan yang membuat Banyuwangi bisa seterkenal sekarang. 

Oleh : Rossa Handini

Dilihat dari segi geografis, Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Timur Jawa. Banyuwangi dulunya adalah Kerajaan Blambangan, yang notabene bagian dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan yang dipimpin oleh Bhre Wirabhumi ini merupakan kerajaan Hindu terakhir yang ada di pulau Jawa. 

Selain itu, Banyuwangi berdiri di posisi yang strategis untuk dijadikan culture area. Akibatnya, sering ditemukan beberapa kebudayaan Banyuwangi yang memiliki kemiripan dengan kebudayaan Bali. Namun, kita tidak membicarakan tentang proses akulturasi budaya tersebut, melainkan interaksi sosial di sekitar perairan Banyuwangi yang menyebabkan masuknya agama Islam ke Banyuwangi. Secara perlahan, hadirnya agama Islam memberikan pengaruh pada praktek perdukunan.

Dalam perkembangannya, orang-orang Banyuwangi dikenal memiliki kekuatan magis dari para leluhurnya, terutama prajurit Blambangan. Mereka terkenal dengan kesaktiannya sehingga susah untuk dikalahkan bahkan ketika jantung mereka tertusuk. Cerita ini membuat banyak orang semakin yakin apabila penduduk yang ada di Banyuwangi memiliki kekuatan magis. Selain itu, dengan banyaknya dukun yang ada di wilayah tersebut semakin membuktikan jika kekuatan magis banyak menaungi Penduduk Banyuwangi. Dukun yang dimaksud tidak hanya dalam konteks negatif seperti dukun santet, tetapi juga ada sebagian yang berprofesi sebagai dukun pengobatan ataupun dukun beranak. Seiring berjalannya waktu, profesi para dukun ini menjadi sebuah tragedi berdarah yang tidak dapat dilupakan.

Kronologi dari peristiwa ini terjadi pada pertengahan Februari 1998. Banyuwangi dihebohkan ketika terjadi banyak pembunuhan dukun santet. Segera setelah itu, Bupati Banyuwangi memerintahkan para camatnya untuk mendata para dukun, tidak terkecuali dukun pengobatan dan beranak. Maksud dari perintah Bupati adalah untuk mengamankan para dukun tersebut dari ancaman pembunuhan. Setelah hampir semua terdata, tidak disangka ternyata data tersebut bocor. Kebocoran data ini mendatangkan malapetaka besar bagi para dukun. Setelah data tersebut bocor, datanglah sekumpulan orang yang memakai pakaian tertutup serba hitam seperti ninja dari Jepang membantai para dukun. Oleh karena itu pelaku dari peristiwa berdarah ini disebut ninja.

Hasil penyelidikan menyebutkan adanya keterlibatan aparat Kepolisian yang datang tanpa persetujuan ke tempat seorang camat dan menyampaikan bahwa camat tersebut untuk segera mendata para dukun. Dituturkan oleh camat tersebut bahwa perintah pendataan nama dukun datang dari atasan aparat Kepolisian yang datang. Mendapat jawaban tersebut, camat tersebut bergegas mendata para dukun. Mungkin terbersit di lubuk hati kita, siapa atasan yang yang dimaksud oleh aparat polisi itu? Apakah kepala Kepolisian? Atau dari Bupati? Atau mungkin juga perintah dari atasan rezim orde baru?

Ilusttrasi penyerangan dukun (Detik.com)

Peristiwa pembantaian tersebut tidak berhenti pada saat itu juga, tetapi muncul kembali peristiwa serupa yang terjadi pada kaum Nahdliyin. Kaum Nahdliyin  merupakan Pengurus NU (Nahdlatul Ulama), pengurus masjid, dan guru mengaji. Tidak banyak Sumber yang menggambarkan kronologi lengkap pembantaian terhadap Kaum Nahdliyin. Hanya beberapa informasi yang didapatkan. Dalam informasi tersebut dikatakan bahwa kejadian yang menimpa kaum Nahdliyin ini terjadi pada bulan Agustus 1998 pasca kudeta reformasi. Pembunuhan ini lagi-lagi dilakukan oleh oknum yang disebut sebagai ninja..

Baca Juga :   Willem Iskander dan Kweekschool Tano Bato: Sekolah Guru Pertama Di Mandailing

Kejadian pembunuhan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, apakah kasus tersebut telah diselesaikan? Bagaimana proses penyelesaian pembunuhan tersebut? Apa motif dari pembunuhan tersebut? Apakah ada hubungan antara tragedi pembantaian dukun santet dengan pembantaian tokoh agama? Sayangnya dalam pencarian informasi dari berbagai literatur tidak disebutkan secara lengkap dan gamblang. Selain itu, literatur yang membahas kasus tersebut sangat minim. Padahal kasus ini dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat melanggar HAMi. 

Merujuk dari literatur yang didapat, kasus pembunuhan ini timbul sebagai pengalihan isu atas reformasi yang terjadi. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa pembunuhan terhadap dukun santet dan para tokoh agama hanyalah sebuah kambing hitam untuk menutupi buruknya masa orde baru. Tidak hanya sebagai pengalihan isu dan kambing hitam, kemungkinan serentetan peristiwa berdarah tersebut sudah menjadi skenario rezim Soeharto sebelum terjadi reformasi. Serta apabila melihat runtutan waktu, pada era peralihan dari orde baru ke reformasi masih belum ada teknologi yang memadai untuk mendukung diangkatnya kembali  kasus ini.

Melihat minimnya data yang ada di lapangan, semua dikembalikan ke perspektif kita masing-masing. Sebagai insan yang berbudi pekerti kita tidak bisa menyudutkan satu pihak atas peristiwa yang terjadi. Sikap netral dan  bersikap bijak sesuai data dan fakta adalah sikap yang harus kita ambil. Namun ada sesuatu yang dapat diambil dari peristiwa pembunuhan ini yaitu kita tidak berhak menghakimi seseorang walaupun karena keburukan. Bercermin dari orang tersebut adalah langkah yang perlu dilakukan. Apakah kita sama buruknya atau tidak sehingga kita pantas untuk menghakimi? Sebagai generasi penerus bangsa, sikap saling menghormati perbedaan sudut pandang diperlukan untuk menyikapi berbagai peristiwa agar kita dapat mengambil makna dari berbagai sudut pandang. 

Referensi

Azisi, A. M., & Yusuf, M. (2021). Konversi Agama dari Hindu ke Islam pada Masyarakat Banyuwangi: Analisis Sejarah Kritis. Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam, 59-74.

Juang, R. P., Erviantono, T., & Azhar, M. A. (2016). HAM dan Politik Kriminal Pasca Orde Baru (Konstruksi Pelanggaran HAM pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Kabupaten Banyuwangi Tahun 1998). E-jurnal Politika, 1-8.

Kharisma, F. (2015). Kerajaan Blambangan Tahun 1736-1768 Sebagai Muatan Lokal Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Atas. Digital Repository Universitas Jember, 62-129.

Yusuf, A. (2020). Sejarah Singkat, Penyusunan Panitia, Sistematika Buku Kesatu Dan Dimasukkannya Delik “Santet” Dalam RUU KUHP. Jurnal Ilmiah POSTULATE, 1-17.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts