Barisan Tani Indonesia (BTI) Mengganyang Lintah Darat

Petani yang tergabung dalam organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) mengklasifikasi kelompok orang penyedia pinjaman uang dengan bunga tinggi sebagai musuh. BTI menganalisis golongan tersebut sebagai penghisap dan penghalang kemajuan kaum tani.

Oleh Rifaldi Apinino

Pada era 1950 dan 1960-an, ekonomi Indonesia bergantung pada sektor agraris. Setidaknya lebih dari 80% penduduk hidup dan berkecimpung di dunia pertanian. Separuh hasil dari pertanian tiap tahunnya dijual dan masuk pasar ekspor luar negeri untuk memperoleh devisa atau valuta asing. Tujuannya agar Indonesia dapat mengimpor berbagai barang baku dan konsumsi yang belum dapat diproduksi sendiri.  

Di sisi lain, modal asing tetap menjalankan dominasi mereka di Indonesia di sektor perkebunan maupun manufaktur dan pertambangan pada awal 1950-an. Meski tingkat operasionalnya lebih rendah ketimbang sebelum masa perang, para investor asing ini tetap mengeksploitasi ekonomi secara besar. Kondisi ini didukung pula oleh kebijakan pemerintah untuk mendisiplinkan gerakan buruh guna menjamin tingkat produksi melalui peraturan larangan mogok kerja pada awal tahun 1951 berdasar pada Undang-undang Darurat perang (Achdian, 1996). Selain itu,  pengaturan tingkat upah yang rendah pada seluruh sektor semakin mendukung dominasi asing dalam negeri. Tahun 1958 tingkat upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah berkisar 5,30 rupiah pada sektor perkebunan dan pertanian.  Meski telah ditetapkan, masih ada saja usaha untuk terus menekan tingkat upah minimum yang jumlahnya minim tersebut. 

Minimnya upah para pekerja sektor pertanian semakin menyiksa ditambah dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Misalnya saja yang terjadi pada tahun 1953-1954, upah minimum yang diterima oleh buruh perkebunan dan industri kretek mencapai 3,50 rupiah per hari dan kenaikan upah di perkebunan pada 1963 di Jawa hanya mencapai 10 rupiah. Di saat yang bersamaan indeks harga kebutuhan pokok mengalami peningkatan sebesar 23 kali (Achdian, 1996: 40). Situasi ini menunjukkan kemerosotan upah real sepanjang periode tersebut.

Iklim yang demikian menjadi habitat tumbuh suburnya para lintah darat. Ketika para buruh perkebunan atau pertanian sedang dilanda kesulitan ekonomi, sekelompok orang yang diuntungkan oleh struktur sosial yang menempatkan mereka pada posisi yang berlebih dari segi harta mulai meraup keuntungan. Berdalih menolong dan kedermawanan, mereka memberikan pinjaman uang kepada para buruh maupun petani yang sedang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pertolongan tersebut tentu tidak diberikan dengan cuma-cuma, para peminjam uang akan dibebani biaya berupa bunga pinjam yang kelak akan menjadi semacam tali, melilit para buruh tani dan petani dari jerat hutang. 

BTI dan Gerakan Koperasi

Barisan Tani Indonesia (BTI) telah terbentuk sejak awal kemerdekaan, tepatnya pada 25 November 1945. Keanggotaan mereka berasal dari golongan buruh tani maupun petani miskin yang berbasis di pedesaan. Karenanya, BTI telah khatam soal masalah yang menimpa kaum tani khususnya pada persoalan ekonomi. 

BTI menyadari banyak anggotanya yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga terpaksa bergantung pada penyedia pinjaman uang berbunga atau biasa disebut rentenir. Praktik demikian telah membawa para petani miskin secara perlahan tidak lagi bisa membiayai usaha pertaniannya dengan baik akibat terlilit hutang. Untuk para buruh tani mereka tidak dapat hidup dengan layak. Oleh karena itu, BTI merumuskan program untuk mengatasi masalah yang dialami para kaum tani. 

Salah satu program yang disusun adalah tuntutan agar para penyedia pinjaman uang menurunkan bunga pinjam. Program tersebut dimuat pada Konferensi Nasional Tani ke II tahun 1961. Asmoe—salah seorang anggota yang kelak menjadi ketua umum BTI pada kongres ke VI—menyampaikan bahwa berkembangnya aksi-aksi turun bunga perlu terus digiatkan melalui Gerakan 6 Baik yaitu turun sewa, turun bunga, naik upah, naik produksi, naik kebudayaan, dan naik politik (Konfernas Tani ke- II PKI, 1962: 18). Tuntutan turun bunga diarahkan pada penyedia pinjaman uang yang berasal dari lembaga maupun perorangan. Langkah ini dinilai realistis agar para petani yang telah kadung terjerembab, perlahan dapat keluar dari lingkaran hutang berbunga.

Baca Juga :   Kisah Perjalanan Trem di Surabaya: Dari Kolonial Hingga Pasca Kemerdekaan

Ikhtiar lain BTI adalah dengan mengorganisasikan para petani dalam koperasi. Sebenarnya, sejak awal berdiri, BTI telah aktif berkontribusi dalam gerakan koperasi. Mereka terlibat pada pelaksanaan kongres koperasi yang pertama di Tasikmalaya pada bulan Juli 1947. Seiring perkembangan zaman dan pengalaman yang mereka lalui, pada tahun 1960 BTI memandang gerakan koperasi selama ini hanya menguntungkan para pemilik modal. Pernyataan Moh. Hatta bahwa koperasi merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai kemakmuran bangsa juga dinilai tidak tepat, sebab koperasi semacam itu memberikan celah yang hanya menguntungkan bagi kelompok kapitalis saja (Suara Tani, Agustus 1960). 

Akhirnya BTI merumuskan koperasi yang mereka nilai berbeda dengan konsep koperasi ala Hatta. Koperasi tersebut dinamakan “Tiga Bendera Koperasi Rakyat Pekerja” yang terdiri dari koperasi kredit (simpan-pinjam), koperasi jual-beli, dan terakhir koperasi produksi. Koperasi kredit yang diadakan BTI bertujuan agar para petani lebih mudah mendapat modal pertanian dan tidak lagi berurusan dengan para lintah darat. Di samping itu, para petani juga dapat membeli kebutuhan dengan harga yang layak sekaligus menjual barang dengan harga yang layak pula. Sedangkan koperasi produksi membantu petani para petani untuk  secara gotong royong mengembangkan pertanian mereka agar dapat menaikkan hasil produksi melalui koperasi produksi ini (Suara Tani, Juli 1961). 

Konsep “Tiga Bendera Koperasi Rakyat Pekerja” diajarkan oleh BTI melalui pendidikan yang mereka adakan. Pendidikan ini dinamakan Sekolah Koperasi Tani, berada di bawah lembaga Yayasan Balai Pendidikan Tani (YBPT) milik BTI. Sekolah Koperasi Tani pertama kali diresmikan pada tanggal 1 Maret 1961 di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Pendirian lembaga ini disambut baik oleh pemerintah. Lewat Wakil Pembantu Menteri Bagian Koperasi Transkopemada (Transmigrasi, Koperasi, dan Pembangunan Masyarakat Desa), pemerintah mengatakan siap memberikan bantuan guru pengajar jika diperlukan (Suara Tani, Oktober 1960). 

Di Sekolah Koperasi Tani para peserta ditekankan untuk melaksanakan prinsip-prinsip utama dalam berkoperasi. Prinsip tersebut diantaranya adalah sukarela, terbuka, demokratis, dan harus menguntungkan anggota. Prinsip demokratis dalam koperasi diwujudkan dalam rapat-rapat anggota yang memiliki kekuasaan tertinggi untuk memilih dan memberhentikan pimpinan sekaligus menetapkan hal-hal lain. 

Para peserta yang telah selesai menjalani pendidikan sekolah koperasi kemudian diizinkan untuk membentuk koperasi sendiri yang terlepas secara struktural dari BTI. Syaratnya cukup dengan mengedepankan ciri pokok koperasi rakyat pekerja, yakni tidak mengizinkan masuknya seseorang yang berasal dari golongan penghisap menjadi anggota. Golongan penghisap tersebut tentu salah satunya adalah lintah darat, golongan lain seperti, tuan tanah, tengkulak, tukang ijon, dan kapitalis desa juga haram bergabung ke dalam koperasi ini (Laporan Konstitusi BTI, 1962: 17).

Melalui gerakan koperasi yang dimulai sejak 1961, BTI perlahan mengangkat para petani dari kubangan hutang berbunga dan melakukan pengganyangan terhadap para lintah darat secara tidak langsung. Belakangan, setelah Aidit dan para kader PKI melakukan penelitian terkait pembagian kelas di desa-desa, lintah darat termasuk dalam golongan yang patut dimusuhi. Menurut Aidit, pinjaman secara renten (riba) akan langsung merusak daya produksi kaum tani dan menjerumuskan mereka ke dalam tumpukan hutang yang tak ada habis-habisnya (Aidit, 1964: 26). Analisis Aidit dan kawan-kawannya ini memperkuat landasan BTI untuk semakin gencar melawan para lintah darat, terlebih BTI dan PKI menjalin hubungan yang semakin erat sejak kongres ke-VI BTI pada tahun 1962.

Seiring berjalannya waktu, BTI mampu mencetak banyak kader koperasi. Ini terlihat dari melonjaknya jumlah koperasi secara umum. Pada tahun 1959 jumlah koperasi yang terdaftar sekitar 16.000 unit dan memasuki tahun 1965 jumlahnya membengkak mencapai 70.000 unit. Tidak diketahui nasib para lintah darat tersebut tetapi yang pasti, para petani tentu akan memilih untuk bergabung ke dalam koperasi. Di sana mereka banyak mendapat keuntungan seperti pinjaman uang tanpa bunga melalui koperasi simpan-pinjam ketimbang harus berurusan dengan lintah darat.

Baca Juga :   Kebijakan Liberal Hindia Belanda

Memasuki tahun 1965, tepatnya saat meletus peristiwa politik bulan September tanggal 30, BTI dianggap terlibat. Kedekatannya dengan PKI menjadi salah satu indikasi BTI turut menjadi biang peristiwa berdarah tersebut. Dampaknya, salah satu organisasi petani terbesar itu menjadi sasaran hingga akhirnya dibubarkan dan dilarang. Nasib yang sama juga menimpa koperasi-koperasi bentukan peserta Sekolah Koperasi Tani. Seketika jumlah koperasi merosot ke angka 14.700 unit (Zain, 2015: 162). Sejak saat itu, lintah darat kehilangan lawan besar yang terorganisasi rapi dengan klaim anggota tak kurang dari 8.500.000 orang pada 1965 dan terang-terangan menentang praktik riba. 

Daftar Pustaka

Suara Tani. Agustus 1960.

Suara Tani. Oktober 1960.

Suara Tani. Juli 1961.

Konfernas Tani ke-II PKI. (1962). Jakarta: Yayasan Pembaruan.

Laporan Konstitusi BTI. (1962). Dewan Pimpinan Pusat BTI.

Aidit, DN. (1964). Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa. Jakarta: Yayasan Pembaruan.

Zain, Adib. (2015). Politik Hukum Koperasi di Indonesia (Tinjauan Yuridis Historis Pengaturan Perkoperasian di Indonesia). Jurnal Penelitian Hukum, Volume 2 Nomor 3.

Achdian, Andi. (1996). “Tanah Bagi Yang Tak Bertanah” Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965. Skripsi Sarjana Universitas Indonesia.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts