Asal-usul Tradisi Napak Tanggal di Dukuh Mojo

Indonesia memiliki banyak kearifan lokal yang menarik dan masih dilestarikan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Kearifan lokal merupakan identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang membuat suatu bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengelola kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sehari-hari. Secara etimologi kearifan lokal terdiri atas dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kearifan berarti kebijaksanaan sedangkan lokal bermakna setempat sehingga kearifan lokal dapat diartikan sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat setempat.

Oleh Rika Marfuah dan Shindid Gunagraha

Yunus Rasyid dalam tulisannya mengungkapkan kearifan lokal sebagai budaya yang dimiliki oleh masyarakat di tempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam menghadapi arus globalisasi karena kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai sarana membangun karakter bangsa. Menurut Suhartini, kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan dalam kehidupan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat di suatu tempat atau daerah yang merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Fungsi kearifan lokal menurut Suhartini yaitu berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam, mengembangkan sumber daya manusia, melestarikan dan mengembangkan budaya, serta ilmu pengetahuan. 

Kearifan lokal memiliki kaitan yang erat dengan kebudayaan. Kearifan lokal banyak mengandung suatu pandangan ataupun aturan agar masyarakat lebih memiliki landasan dalam suatu tindakan seperti perilaku masyarakat sehari-hari. Kebudayaan merupakan cara hidup yang berkembang di masyarakat serta berkembang dari generasi ke generasi berikutnya. Secara etimologi budaya atau culture berasal dari bahasa latin yaitu colere yang berarti mengolah atau mengerjakan. Kata culture dalam bahasa Inggris diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai kebudayaan. Menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan merupakan perilaku manusia yang muncul karena adanya hasil alam serta kodrat masyarakat. Kebudayaan juga bentuk dari kejayaan masyarakat yang mampu mengatasi kesulitan serta menjadi awal dari munculnya tata tertib di masyarakat.

Kebudayaan yang muncul di masyarakat ini menjadi tradisi dan kebiasaan masyarakat yang terus dilestarikan hingga sekarang. Tradisi merupakan kebiasaan-kebiasaan yang bersifat sakral dari kehidupan suatu masyarakat asli. Tradisi meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan yang saling berkaitan yang kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan yang sudah diyakini serta mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan sosial.

Tradisi Mapak Tanggal di Dukuh Mojo

Di Mojo, masyarakat sangat melestarikan tradisi yang sudah lama berjalan puluhan tahun lalu. Seperti Mapak Tanggal, Gumbrekan, Sadranan, Sedekah Desa, dan masih banyak lagi. Mojo merupakan suatu desa yang berada di Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Desa Mojo lebih dikenal dengan nama Kacangan. Hal ini disebabkan karena ada sebuah pasar tradisional yang terletak di desa Kacangan meskipun secara administratif pasar Kacangan terletak di Desa Mojo. Desa mojo memiliki mayoritas penduduk beragama Islam. Masyarakat di Desa Mojo rata-rata bekerja sebagai petani, usaha rumahan, dan wirausaha. Di mojo terdapat tiga dukuh yaitu Ngelo, Mojo, dan Kliwonan serta memiliki sembilan RT. 

Dalam wawancara bersama Simbah KH. Sutardi Dukuh mojo terdapat tradisi yang masih dilaksanakan sampai saat ini oleh masyarakat dukuh Mojo yaitu Tradisi Mapak Tanggal. Mapak Tanggal adalah tradisi yang dilakukan oleh orang Jawa untuk penyambutan tahun baru Islam atau malam bulan Suro (Muharram). Selain sebagai penyambutan tahun baru Islam, tradisi ini juga dilakukan dalam rangka tolak bala. Tradisi ini dilaksanakan pada saat memasuki tanggal satu Muharram atau malam satu suro (dalam penanggalan Jawa). Mapak berasal dari kata “mapak” yang berarti penyambutan atau menyambut dan “tanggal” yang berarti tanggal 1 Muharram.

Baca Juga :   Jaranan: Seni Tari Peninggalan Leluhur yang Tidak Lekang Oleh Zaman

Masyarakat Mojo dalam pelaksanaanya mengadakan berbagai rangkaian acara. Kegiatan yang pertama dibuka dengan penyembelihan hewan berupa satu ekor kambing yang dilakukan oleh setiap RT yang ada di Dukuh Mojo. Dahulu, hanya satu ekor kambing yang disembelih untuk Dukuh Mojo lalu dibagikan kepada masyarakat Mojo. Setelah pergantian pemerintah dan ada usulan dari tetua, Penyembelihan kambing di lakukan per RT dan penyembelihan kambing dilakukan pada waktu siang hari ba’da dhuhur di perempatan jalan-jalan yang ada di setiap RT. Daging hasil dari sembelihan tersebut kemudian dibagikan kepada warga RT tersebut. 

Pada zaman dulu, bagian kaki dan kepala kambing tidak dibagikan ke warga tapi bagian tersebut dikubur di setiap pojokan dukuh atau di tugu-tugu yang ada di Dukuh Mojo. Beberapa tahun belakangan ini masyarakat mulai meninggalkan kebiasaan tersebut dan mulai memanfaatkan bagian-bagian kambing yang seharusnya dikubur menjadi bagian yang bisa diolah. Sekarang, bagian-bagian tersebut biasanya diberikan kepada yang menyembelih kambing atau kepada masyarakat yang mau bagian tersebut.

Selanjutnya, setelah daging dibagikan kepada masyarakat, acara dilanjutkan kegiatan pada malam hari yaitu ada doa bersama. Doa akhir tahun dan awal tahun, tahlilan, dan membuat shodakohan yang di dalamnya harus berisi daging.  

Tradisi ini masih dilakukan hingga sekarang. Tradisi Mapak Tanggal ini juga dibarengi dengan rangka tolak bala. Tolak bala merupakan tradisi, kebiasaan, atau ritual memanjatkan doa supaya terhindar dari bala bencana, segala macam penyakit, dan lain sebagainya.

Masyarakat Mojo sangat peduli akan tradisi-tradisi yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka dan sadar seberapa pentingnya memelihara tradisi tersebut. Walapun banyak budaya global yang masuk ke wilayah mereka, mereka tetap menjalankan tradisi tersebut. Alasan ini di tegaskan oleh Simbah KH. Sutardi dan mbah KH. Ladiman bahwa masyarakat Mojo sangat terbuka dan toleran dengan budaya lain maupun ajaran Islam. Mereka juga lebih terbuka tentang pemahaman-pemahaman baru mengenai ilmu agama dan mengaplikasikannya ke dalam tradisi tersebut. Seperti tradisi Mapak Tanggal tersebut yang dulu masih kental akan kepercayaan dalam mengubur bagian kaki dan kepala kambing yang ditujukan sebagai tumbal tolak bala, sekarang merubah tradisi tersebut menjadi lebih bermanfaat. Hal ini dijelaskan oleh mbah KH. Sutardi setelah memahami dan mengerti ilmu agama dan memberi pengertian kepada masyarakat.

Di Dukuh Mojo, agama dan budaya berjalan dengan dengan baik. Budaya dan agama saling berkaitan dengan erat, saling memengaruhi satu sama lain. Agama memengaruhi budaya, kelompok masyarakat, dan suku bangsa. Dalam perkembangnya budaya di Mojo, paham Islam kultural memiliki pengaruh yang kuat sehingga masyarakat masih melakukan budaya maupun tradisi tersebut. Meskipun banyak masyarakat Mojo yang memeluk agama Islam, keberlangsungan dan keaslian tradisi jawa masih dijunjung dan dijalankan dengan baik. Seperti penerapanya pada kegiatan napak tanggal di Mojo. Kegiatan pada malam hari yaitu doa-doa dan tahlilan merupakan bentuk pengaplikasian agama Islam dan budaya setempat. 

Dalam menjalankan dan mempertahankan tradisi-tradisi di Mojo masyarakat Mojo dan para tetua memiliki keyakinan bahwa niat jangan sampai salah. Berniat bahwa tradisi atau kegiatan tersebut ditunjukan kepada allah, bukan ke untuk hal-hal mistis. 

Referensi

Muh, Isnanto. Praktek Beragama dan Kearifan Lokal masyarakat Jawa: Study Kasus di Andong Boyolali. Jurnal Penangkaran: Penelitian Agama dan Masyarakat, Vol.6 No.1. (2022)

Mardi. Mengangkat Budaya dan Kearifan Lokal dalam Sistem Konservasi Tanah dan Air. Seminar Nasional XII pendidikan FKIP UNS (2015).

Baca Juga :   Kultur Pernikahan Jawa dalam Hitungan Weton dan Pandangan Generasi Z

Wawancara bersama simbah KH. sutardi selaku sesepuh dan tokoh agama di dukuh mojo

Wawancara bersama bapak KH. Ladiman selaku ketua RW 05 di dukuh mojo

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

(1) Komentar

  1. Siguha menulis:

    Terimakasih, sangat memberikan wawasan keIslaman yang berbasis kearifan lokal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts