Api Pemberontakan PRRI di Sumatra Tahun 1958

Selama tahun 1950-an pembangunan lebih dipusatkan di daerah Jawa terutama Jakarta dan untuk pembangunan luar jawa sangat rendah. Apabila dilihat dari tabel pemasukan Indonesia dari kegiatan ekspor pada tahun 1956, ekspor yang paling besar berasal dari pulau Sumatera yakni sekitar 21% sedangkan Jawa hanya sekitar 17% dan sisanya berasal kepulauan lainya. Akan tetapi dana tersebut hanya digunakan untuk kegiatan pembangunan Jawa secara besar-besaran, terlihat dari jalan dan gedung pemerintahan di wilayah Jakarta, sedangkan untuk wilayah sumatra pembangunan belum merata. Ketidakadilan pemerintah pusat dalam sektor pembangunan inilah yang membuat rakyat Sumatera mulai geram dengan sistem pemerintahan Indonesia.

Oleh Iqbal Al irfan

Akan tetapi, di awal tahun 1950 muncul suatu pandangan tentang desentralisasi dan otonomi daerah. pandangan ini diterima oleh banyak pihak, karena dinilai sesuai dengan konsep demokrasi Indonesia, ditambah lagi pemerintah sudah merumuskan undang-undangan tentang konsep desentralisasi pada tahun 1948. Adanya undang-undang ini membawa angin segar bagi wilayah-wilayah di luar pulau Jawa ditambah undang-undang ini diperkuat dengan disahkannya pembentukan provinsi-provinsi di Sumatera dan Jawa pada tahun 1950. Maka dari itu, dengan adanya undang-undang ini pemerintahan provinsi, kabupaten dan desa memiliki kekuasaan yang berarti dan dapat mengatur urusan rumah tangganya sendiri, termasuk dalam urusan kegiatan ekspor, pembangunan, dan pemanfaatan pemasukan daerah.

Dalam undang-undang Desentralisasi yang dibuat pada tahun 1948 dan diperbarui pada tahun 1950  menyatakan bahwa perwakilan daerah memilih calon-calon gubernur mereka. Dalam hal ini pemerintah pusat hanya berperan untuk memilih calon-calon yang telah diusulkan oleh badan pemerintah daerah. Akan tetapi pada realisasinya pemerintah tidak sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat. Pemerintah pusat justru menganggap remeh calon-calon tersebut dan membentuk badan-badan sementara yang menjadi perwakilan di daerah tersebut, yang didalamnya mayoritas terdiri dari pejabat-pejabat Jawa. Hal ini tentu membuat para rakyat Sumatra menjadi marah terhadap keputusan pemerintah pusat yang tidak sesuai dengan UU Desentralisasi yang telah mereka buat dan disepakati.

Undang-undang Desentralisasi 1948 bukan hanya membahas mengenai masalah desentralisasi saja, melainkan juga membahas mengenai otonomi daerah. Dalam UU tersebut menjelaskan bahwa secara keseluruhan wilayah Indonesia dibagi menjadi 10 provinsi dan tiga diantaranya yaitu Sumatera Utara, Sumatra Tengah, dan Sumatera Selatan. pembagian ini juga menimbulkan konflik, khususnya wilayah Sumatera Utara yaitu penggabungan antara provinsi Aceh dengan Tapanuli. Masyarakat Aceh menolak penggabungan ini pasalnya Aceh dikenal sebagai wilayah yang memiliki keunikan dan kesetian terhadap republik Indonesia pada masa revolusi dan sudah dimaklumatkan oleh wakil perdana menteri Syarifuddin Prawiranegara pada tahun 1949. Berdasarkan maklumat tersebut Aceh diperbolehkan mendirikan provinsi sendiri yang terpisah dibawah pemerintah yang dipimpin oleh ketua persatuan ulama seluruh Aceh (PUSA), yakni Teungku Daud Beureueh. Penggabungan wilayah ini menimbulkan kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat.

Ketidakadilan dan monopoli kekuasaan yang diterapkan oleh pemerintah pusat membuat masyarakat Sumatera: Sumatera Utara, Sumatra Tengah, dan Sumatera Selatan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat yang berada di wilayah Jakarta. Pemberontakan pertama dilakukan oleh masyarakat Aceh pada 19 desember 1953. Kekecewaan bukan hanya dirasakan oleh masyarakat saja melainkan para militer juga mengalami hal serupa. Pasalnya Ahmad Husein seorang komandan Brigade Benteng Yang kemudian bergabung dengan Resimen IV Sumatera telah berkali-kali menyampaikan keluhan kepada pemerintah pusat mengenai keadaan dan kondisi prajurit Sumatera Barat yang buruk. Akan tetapi tidak ada kebijakan dari pemerintahan pusat terkait hal ini. Melihat kekecewaan ini akhirnya dibentuklah suatu dewan-dewan daerah yang ingin melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan pusat. Dari dewan-dewan daerah tersebut muncul suatu gerakan bernama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1948 yang diketuai oleh letkol Ahmad Husein.

  1. Proses terjadinya pemberontakan PRRI
Baca Juga :   Dinamika Para Pekerja Perkebunan Tembakau Deli Akhir Abad 19

Gerakan PRRI pertama kali muncul di Sumatra Barat kemudian mulai merambah ke Sumatra Tengah dan Timur. gerakan ini dimotori oleh para kalangan militer. Sebelum mengultimatum terbentuknya PRRI, beberapa kalangan militer seperti Ahmad Husein melakukan pertemuan guna untuk mengumpulkan perwira-perwira divisi banteng yang ada di Sumatera. Pertemuan tersebut juga termasuk bentuk silaturahmi antar sesama teman seperjuangan pada masa revolusi yang terpisah satu dengan yang lainya. Pertemuan tersebut bukan hanya pertemuan silaturahmi saja melainkan juga pertemuan tuntutan para militer terhadap ketidakadilan pemerintah pusat. Pertemuan para militer tersebut menghasilkan sebuah tuntutan yang dinamakan sebagai Piagam Banteng. Isi dari tuntutan tersebut adalah:

  • Pemerintah pusat harus segera melakukan perbaikan secara cepat di semua bidang, terutama hal kepemimpinan Angkatan Darat.
  • Menuntut pemberian otonomi seluas-luasnya yang bertujuan untuk pembangunan daerah serta adanya pertimbangan dalam penempatan pejabat di daerah.
  • Menuntut adanya desentralisasi militer yaitu pembentukan suatu komandan pertahanan, dan juga menuntut dikembalikannya divisi banteng beserta pasukan-pasukannya
  • Menuntut menghapus sistem sentralisasi yang pada kenyataannya hanya menimbulkan pemerintahan yang kurang sehat.

Akan tetapi tuntutan tersebut dipandang remeh oleh pemerintah pusat. Akhirnya dewan banteng mengadakan pertemuan dengan pejabat militer dan pejabat lainya pada tanggal 20 desember 1956. Dalam pertemuan ini gubernur Roeslan Muljohardjo secara resmi menyerahkan kekuasaannya sebagai gubernur Sumatera Tengah kepada Letkol Husein. Kemudian selang enam bulan divisi banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein menghambat pemasukan keuangan dari wilayah Sumatera ke pemerintah pusat. Uang hasil penghambatan pemasukan tersebut oleh Letkol Ahmad Husein digunakan untuk pembangunan daerah seperti pembangunan rumah sakit, jembatan, jalan raya, sekolah dll.

Keberhasilan sistem desentralisasi yang diterapkan oleh dewan banteng membuat oposisi dari dewan banteng mulai bertindak. Oposisi dewan banteng seperti PKI mulai bertindak menyebarkan isu-isu yang tidak benar terkait dewan banteng. Begitu juga oposisi dari Riau dan Jambi yang tidak senang dengan dewan banteng. Mendengar hal tersebut dewan benteng membuat kebijakan yakni menjadikan Riau dan Jambi sebagai daerah otonom setingkat dengan provinsi. Ahmad husein juga melantik gubernur Riau pada tanggal 15 oktober 1957.

Pada bulan April, di pemerintah pusat terjadi pergantian dari kabinet Ali Sastroamidjojo digantikan oleh kabinet Djuanda Kartawijaya (Kabinet Djuanda). Melihat peristiwa PRRI di Sumatera, kabinet Djuanda langsung mendatangi markas dewan banteng. Kabinet Djuanda menyatakan akan merealisasikan sistem desentralisasi di daerah. hal ini kemudian diterima dengan baik oleh dewan banteng. Melihat hal ini kemungkinan besar akan terjadi perjanjian damai antara pemerintahan pusat dengan dewan banteng. Akan tetapi PKI sebagai oposisi ingin mengacaukan proses perdamain tersebut dengan menyebarkan isu bahwa dewan banteng bekerja sama dengan pemberontak dari Jawa Barat. PKI selalu hadir sebagai pengacau dalam terwujudnya pemerintahan Indonesia yang bersih. PKI masih menyimpan dendam dengan pemerintah pusat karena mereka telah dicap sebagai radikal pasca pemberontakan PKI Madiun. Begitu juga PKI yang membenci dewan banteng karena mendapatkan dukungan penuh dari Masyumi dan PSI.

Suasana menjadi panas kembali antara pemerintah pusat dengan dewan banteng. Seorang anggota dewan banteng bernama Sumitro meminta bantuan terhadap negara Amerika Serikat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat. Hal ini justru membuat situasi menjadi semakin rusuh. Puncaknya pemerintah PRRI kemudian melakukan gerakan perlawanan dengan merumuskan Piagam Palembang yang disepakati oleh petinggi dewan banteng. Begitu pula desas-desus terbentuknya negara Sumatera sampai ke pemerintah pusat di Jakarta. Akan tetapi Ahmad Husein menolak tuduhan tentang terbentuknya negara Sumatera. Ahmad Husein juga mengirim ultimatum mengenai pengembalian mandat kabinet Djuanda  dan menuntut penunjukan Moh Hatta dan Sultan Yogyakarta sebagai kabinet baru yang akan dibentuk. Ultimatum ini langsung ditolak dengan tegas oleh kabinet Duanda. Kabinet Djuanda langsung memerintahkan untuk melakukan penangkapan terhadap dewan banteng dan pemberhentian secara tidak hormat dari militer. Ditolaknya ultimatum Ahmad Husein oleh pemerintah pusat membuat Ahmad Husein memproklamasikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 10 februari 1958. Ahmad Husein juga menyatakan bahwa Sumatera melepaskan diri dari  dari Indonesia. Aksi ini diterima dengan baik oleh Indonesia bagian timur. Setelah itu, pemerintah pusat melancarkan operasi-operasi penumpasan pemberontakan PRRI.

  1. Operasi penumpasan pemberontakan PRRI
Baca Juga :   Sekolah Sumatera Thawalib: Pencetus Pendidikan Islam Modern Di Nusantara

Setelah ultimatum yang dikeluarkan oleh Ahmad Husein tentang terbentuknya PRRI maka pemerintah pusat langsung melancarkan operasi-operasi penumpasan. Pemerintah pusat melancarkan berbagai operasi seperti Operasi Tegas, Operasi Saptamarga, Operasi Sadar, dan Operasi 17 Agustus. Operasi-operasi ini tidak hanya dilancarkan wilayah Sumatera, tetapi  juga di wilayah-wilayah lain di Indonesia seperti di Sulawesi Utara dan Tengah. Pada saat melakukan operasi penumpasan di Sumatera, pasukan TNI mengalami kesulitan dikarenakan pasukan PRRI memiliki persenjataan lengkap dari Amerika serikat.

Pasukan PRRI memang unggul dari darat akan tetapi tidak unggul dari udara dan laut. Dalam operasi ini pasukan Indonesia pertama kali mengepung Riau, hal ini bertujuan untuk menutup akses darat pasukan PRRI. Pemerintah pusat juga mengirim pasukan Diponegoro dan Brawijaya untuk melumpuhkan pasukan PRRI. Peperangan antara pasukan Indonesia dan pasukan PRRI berlangsung selama tiga tahun dari tahun 1958 hingga tahun 1961. Pada Juli 1960, pasukan-pasukan PRRI sudah banyak dikalahkan oleh pasukan Indonesia termasuk petinggi-petinggi PRRI. Gerakan perlawanan PRRI benar-benar terhenti ketika Nasution sebagai komandan tertinggi pasukan Indonesia melancarkan Operasi Pemanggilan Kembali pada akhir tahun 1960. Operasi ini bertujuan untuk merangkul kembali para perwira PRRI untuk bergabung bersama Pemerintah pusat. Melalui operasi ini pemerintah pusat mengirim utusan untuk melakukan negosiasi dengan PRRI. Akhirnya pada tanggal 21 juni 1961, pimpinan PRRI, Ahmad Husein resmi menyerahkan diri kepada pemerintah pusat.

DAFTAR PUSTAKA

Audrey Kahin. 2008.  Dari Pemberontakan Ke Integrasi: Sumatera Barat Dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor

Diki Tri Apriansyah dan Firda R. 2020. Pemberontakan PRRI Sumatera Selatan Tanpa Dean Garuda. Sejarah dan Budaya. Vol. 14, No. 2 

Faishal Hilmy Maulida. 2018. Hitam Putih PRRI-Permesta: Konvergensi Kepentingan Berbeda 1956-1961. Jurnal Kajian Budaya. Vol. 8, No. 2

Mestika Zed. 2014. Sentralisme Dan Perlawanan Daerah: Dialektika Perjalanan Sejarah Bangsa Pasca Kolonial (1945-2005). Tingkap. Vol. X, No. 2

Rizal. 2021.  Peran Jenderal Sudirman Dalam Perang Gerilya ( Studi Historis Masa Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949). Danadyaksa Historica. Vol. 1, No. 1

Takdir Alisjahbana, Sutan. 1957.  Perjuangan  Untuk Autonomi Dan Kedudukan Adat Di Dalamnya, Jakarta: Pustaka Rakyat 

Van Der Kroef, Justus M. 1958.  Disnuted Indonesia. In This Issue, Vol.. XXVII, No. 4

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts