Adu Domba VOC dalam Konflik Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji

Merespons kerusuhan di Wamena pada akhir Februari 2023, Wakil Presiden (wapres) Ma’ruf Amin mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia agar jangan sampai terjebak kabar bohong atau hoaks. Melansir pemberitaan Kompas, Ia berpesan bahwa hoaks dapat menjadi alat “untuk mengacaukan keadaan (dan) mengadu domba,” terutama oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Oleh Mohamad Miftah Arrafi & Putu Prima Cahyadi

Mengenai kekuatan kabar bohong dan adu domba, setidak-tidaknya terdapat beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia. Kasus pertama, melansir Pontianak Times, ada adu domba dalam bentuk meme yang disebarkan KA, seorang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Rutan Kelas IIB Sambas. KA mencoba mengadu domba Ida Dayak dan Ustaz Hatoli dengan mengatakan bahwa pengubatan Ida Dayak menggunakan minyak yang mengandung babi. KA berhasil mengadu domba warganet ke dalam dua kubu yang saling berseberangan, berkonflik satu sama lain.

Apabila kita melangkah sedikit ke belakang, ada polemik kasus penistaan agama yang dilakukan mantan gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Setelah menetapkan Ahok sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama, mengutip pemberitaan Tempo, Kapolri saat itu, Jenderal Tito Karnavian, mengimbau masyarakat agar waspada terhadap berbagai provokasi yang menciptakan adu domba. Terlebih, menurut Tito, terdapat cyber troops atau cyber army yang siap mengadu domba masyarakat melalui konten media sosial.

Berbagai kasus adu domba yang terjadi di Indonesia dewasa ini mengingatkan kita akan kisah perselisihan Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya, Sultan Haji, pada Kesultanan Banten abad ke-17. Bagaimana kisahnya?

Kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa

Kesultanan Banten didirikan oleh Syarif Hidayatullah (1448-1568) pada 1526. Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal Sunan Gunung Jati ditugaskan oleh penguasa Kerajaan Demak untuk menyebarkan Islam ke wilayah Jawa bagian barat dengan membangun sebuah kerajaan bercorak Islam di wilayah Banten. Wilayah Kesultanan Banten meliputi Jawa bagian Barat dan wilayah Lampung.

Sejak didirikan pada tahun 1529, Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692) sejak 1651 hingga 1682. Sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kesultanan, Sultan Ageng Tirtayasa mendorong Pelabuhan Banten untuk menjadi pelabuhan internasional. Diharapkan, roda ekonomi Kesultanan Banten berkembang dengan pesat. 

Pengembangan Pelabuhan Banten juga didukung oleh sumber daya alam Kesultanan Banten yang dikenal sebagai wilayah penghasil lada dari daerah Lampung. Hal ini menarik minat para saudagar dan kapal dagang dari wilayah Persia, India, semenanjung Arab, hingga Tiongkok untuk berdagang ataupun singgah di Pelabuhan Banten. 

Pengaruh Kesultanan Banten dalam bidang ekonomi di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa menjadi kabar buruk bagi VOC. Mereka yang sudah puluhan tahun bercokol di Indonesia berupaya untuk menaklukan Banten. Sayangnya, usaha mereka selalu berakhir dengan kegagalan. 

Namun, VOC tak kehabisan akal. Mereka merencanakan siasat untuk menaklukan Kesultanan Banten dengan politik adu domba. Untuk mewujudkan cita-cita mereka, sosok Sultan Haji menjadi poin utama VOC untuk menghadapi kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.

Konflik Ayah dan Anak

Pada tahun 1671, Sultan Ageng Tirtayasa mengirim putra mahkota kesultanan sekaligus anaknya, Sultan Kahar Abdul Nashar, untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Setelah kembali dari Makkah, Sultan Abdul Nasar Abdul Kahar yang sekarang dikenal sebagai Sultan Haji, diangkat menjadi pembantu ayahnya, mengurus urusan luar negeri. Urusan dalam negeri masih dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dibantu putranya yang lain yaitu Pangeran Arya Purbaya. 

Baca Juga :   N.V. Oliefabrieken van Dongen: Jejak Kejayaan Perusahaan Industri Minyak Nabati di Blitar pada Tahun 1915 - 1931

Pemisahan urusan pemerintahan tersebut dimanfaatkan VOC untuk mengadu domba Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji. VOC menghembuskan hasutan kepada Sultan Haji agar segera memutuskan untuk menjadi penguasa Kesultanan Banten. VOC membuat cerita palsu yang menyatakan bahwa ayahnya sengaja mengirim dirinya ke Makkah dengan tujuan untuk memberikan tonggak pemerintahan Pangeran Arya Purbaya. Hasutan VOC berhasil mempengaruhi Sultan Haji untuk membangkang dengan Sultan Ageng Tirtayasa, ayahnya sendiri. 

Perpecahan yang terjadi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh VOC. Sultan Haji dijanjikan tahta Kesultanan Banten, tetapi dengan berbagai syarat merugikan yang harus dipenuhi oleh Sultan Haji. Sebagai syarat pertama, Kesultanan Banten harus menyerahkan wilayah Cirebon kepada VOC. Kedua, VOC memiliki hak monopoli atas perdagangan lada di Banten dan mengusir para pedagang dari bangsa lain keluar Pelabuhan Banten. Ketiga, apabila Kesultanan Banten ingkar janji terhadap VOC. Sultan Haji diwajibkan untuk membayar denda sebesar 600.000 Ringgit kepada pihak VOC. Keempat dan terakhir, pasukan Kesultanan Banten yang menguasai daerah Priangan dan wilayah pesisir harus ditarik kembali. 

Perjanjian yang berat sebelah tersebut disetujui oleh Sultan Haji. Segera setelah disetujuinya perjanjian tersebut, VOC mendukung penuh Sultan Haji dalam perang saudara melawan Sultan Ageng Tirtayasa.

Perang Saudara

Pada 27 Februari 1682, Sultan Haji melancarkan kudeta kepada Sultan Ageng Tirtayasa dan menguasai Istana Surosowan. Dengan sigap, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa segera mengepung Istana Surosowan dan dapat menguasai kembali istana tersebut. 

Sebagai serangan balasan, Sultan Ageng Tirtayasa mengerahkan pasukannya menuju loji VOC untuk menghancurkan tempat tersebut. Akibat kepungan dan perlawanan tersebut, bantuan militer dari Batavia tidak dapat memasuki wilayah Kesultanan Banten. Bantuan dari Batavia berhasil masuk di bawah komando Tack De Saint Martin pada tanggal 7 April 1682. Dengan kekuatan besar-besaran akhirnya VOC dapat membebaskan loji dari kepungan Sultan Ageng Tirtayasa.

Berikutnya, pada Oktober 1682, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa menyerang beberapa pos penjagaan VOC di sepanjang Tangerang dan Angke. Sultan Ageng Tirtayasa bersama beberapa pejabat Kesultanan Banten yang loyal dengannya melanjutkan perang dengan cara gerilya. Basis kekuatan di wilayah hutan Kranggan dan Banten bagian selatan. 

Sayangnya, pada 14 Maret 1683, Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan keluar dari markas gerilyanya dan kembali ke Istana Surosowan setelah menerima surat dari Sultan Haji. Sultan Haji mengirim surat untuk ayahnya yang memohon agar Sultan Ageng Tirtayasa bersedia kembali ke Surosowan dengan jaminan kebebasan dan kemerdekaan. Sultan Ageng Tirtayasa percaya dengan ketulusan hati putranya dan bersedia menuruti permintaan tersebut.

Ketika Sultan Ageng Tirtayasa tiba ke Istana Surosowan, ia tidak menyadari bahwa permohonan tersebut adalah sebuah perangkap licik. Tak lama berselang, tentara VOC datang ke Istana Surosowan untuk Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji tidak bisa menolak tindakan tersebut lantaran ia sendiri tidak lebih dari boneka VOC. Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjara di Batavia sampai akhir hayatnya pada tahun 1692.

Kisah adu domba antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji yang dilakukan VOC setidak-tidaknya memberikan pesan kepada generasi Indonesia masa kini untuk menghindari tindakan adu domba. Mereka perlu menyadari bahwa mengadu domba satu individu dengan individu lainnya, atau kelompok dengan kelompok lainnya hanya akan menghasilkan konflik dan disintegrasi bangsa.

Daftar Pustaka

“Ahok Tersangka, Kapolri Waspadai Adu Domba Via Media Sosial”. https://nasional.tempo.co/read/820695/ahok-tersangka-kapolri-waspadai-adu-domba-via-media-sosial. Diakses pada 12 Oktober 2023.

Baca Juga :   ‘Indonesia Raya’ dalam Surat Kabar Tionghoa Sin Po 

“Napi Adu Domba Ida Dayak dan Ustaz Hatoli”. https://pontianak-times.co.id/napi-adu-domba-ida-dayak-dan-ustaz-hatoli/. Diakses pada 12 Oktober 2023.

“Wapres, Jangan sampai Haoks Jadi Alat Adu Domba KB”. https://nasional.kompas.com/read/2023/03/01/15292261/wapres-jangan-sampai-hoaks-jadi-alat-adu-domba-kkb. Diakses pada 12 Oktober 2023.

Asrul. 2015. “Intervensi VOC dalam Suksesi di Kesultanan Banten 1680-1684”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ekadjati, Edi S. dkk. 1982. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 

Hamka. 2017. Dari Perbendaharaan Lama: Menyikap Sejarah Islam di Nusantara. Jakarta: Gema Insani.

Istiani, Evi. 2022. “Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa Dalam Mempertahankan Kesultanan Banten dari Kolonialisme Belanda”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Sholehat, Ikot. 2019. “Perdagangan Internasional Kesultanan Banten Akhir Abad XVI-XVII”. Tesis. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts