Minangkabau

Bagaimana Sistem Matrilineal di Minangkabau Tetap Bertahan?

Minangkabau merupakan salah satu suku terbesar di Nusantara, Minangkabau seringkali diidentikan dengan Sumatera Barat dan lebih dikenal lagi sebagai orang Padang. Minangkabau sebenarnya lebih luas dan tidak kaku secara administratif. Matrilineal menekankan garis kekerabatan berdasarkan keturunan ibu bahkan tentang warisan. Matrilineal Minangkabau merupakan anti-tesis terhadap budaya patriarki.

Oleh Raka Putra Pratama

Artikel yang saya tulis ini bertolak dari artikel akademisi Universitas Malaysia Kelantan yaitu Alexander Stark. Artikel ilmiahnya berjudul The Matrilineal System of the Minangkabau and its Persistence Throughout History: A Structural Perspective di jurnal internasional yaitu Southeast Asia: A Multidisciplinary Journal. Artikel yang ditulis oleh Alexander Stark kurang memuaskan dan membuat saya greget, walau Alexander membahas dengan analisa yang tajam. Stark mengkaji secara struktural, hal ini membuatnya hanya melihat secara makro alhasil penjelasannya kabur tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi di bawah.

Sumber gambar: Tambo Minangkabau

Baiklah, hentikan soal Stark mari kita bahas “Bagaimana Sistem Matrilineal di Minangkabau Tetap Bertahan ?” Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Jawaban hanya bersifat sementara, bukan jawaban mutlak. Terlalu kompleks untuk hal itu.

Minangkabau merupakan salah satu suku terbesar di Nusantara, Minangkabau seringkali diidentikan dengan Sumatera Barat dan lebih dikenal lagi sebagai orang Padang. Minangkabau sebenarnya lebih luas dan tidak kaku secara administratif. Tradisi lisan mengatakan Minangkabau berasal dari kata kerbau yang menang, hal ini berasal dari cerita adu kerbau masyarakat lokal dengan kerbau dari masyarakat luar. Minangkabau terkenal dengan sistem matrilineal, matrilineal di Minangkabau menjadi yang terbesar di dunia. Matrilineal merupakan sistem dari budaya masyarakat Minangkabau yang memberikan privilege kepada wanita.

Matrilineal menekankan garis kekerabatan berdasarkan keturunan ibu bahkan tentang warisan. Sistem ini merupakan bentuk matriarki Minangkabau yang menjadi ciri khas, matrilineal Minangkabau merupakan anti-tesis terhadap budaya patriarki. Sistem matrilineal (elemen lama) masih bertahan hingga saat ini -walau sudah mulai memudar- di sisi lain agama Islam (basis) sangat melekat di sana, yang mana seperti diketahui agama Islam bersifat patriarkis, hal ini tentunya paradoksal.

Dalam artikel ini saya akan menggunakan pendekatan teori strukturasi Giddens yang menekankan agen dan agensi tetapi juga tidak mengaburkan struktur. Penduduk Minang utamanya kelompok adat dan Padri akan saya lebih tonjolkan perannya (agensi) dan saya juga akan melihat struktur, maka kita bisa menganalisa secara mikro-makro. Di bawah saya akan menjelaskan sedikit tentang strukturasi.

Giddens, sang pencetus teori strukturasi (struktur-agensi) mengupayakan agar penelitian ilmu sosial dan sejarah melihat relasi antara agensi-struktur. Intinya teori strukturasi menekankan praktik sosial dari si agen yang dilakukan terus menerus tanpa batas ruang/waktu. Di mana dia menyatakan agen/aktor berpengaruh terhadap struktur dan juga sebaliknya. Agen menurutnya dapat mereproduksi, mengubah, mempertahankan struktur beserta bagian-bagiannya. Di sisi lain struktur dapat mempengaruhi agen. Menurutnya terdapat dualitas antara agensi dan struktur dalam kehidupan sosial.

Kembali kepada Minangkabau, secara historis mari kita tarik ke masa-masa sebelum Perang Padri dan Perang Padri ketika Islam neo-Wahabi mulai mendominasi- walau Padri dapat dikalahkan dalam perang- tanah Minang. Di awal abad-19 kaum Padri mulai melebarkan hegemoni dogma agama yang dibawanya dari Mekah atas nama “Ilahi” ke tanah Minang. Mereka mulai terlibat perselisihan-perselishan kecil dengan kelompok adat.

Kaum Padri mulai membakukan hukum Islam dengan keadaan masyarakat Minang yang masih kental adat, mereka menerapkan fatwa tentang masalah keluarga, seks, dan perilaku masyarakat Minang yang mereka anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Seorang Syekh Ahmad mengutuk keras sistem matrilineal di Minangkabau yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran Islam. Perselisihan seperti itu terus melembaga di tanah Minang saat masa pra-Perang Padri hingga puncaknya (Perang Padri).

Salah seorang haji bernama Tuanku Renceh yang fanatik terhadap agama membunuh bibi dari pihak ibunya yang menganut sistem adat. Para pengikutnya kemudian membakar rumah-rumah adat, membunuh para penghulu yang dianggap menyimpang dari ajaran agama, hal ini menjadi titik awal konflik horizontal berskala besar dalam masyarakat Minang. Ketika Perang Padri dimulai konflik fisik semakin memuncak antara kelompok adat dan kaum Padri, Belanda mulai melakukan intervensi — saya tidak akan membahas jauh Perang Padri — kaum adat mendapatkan bantuan kolonial dengan perjanjian. Alhasil kemenangan berada di kelompok adat, namun kekuasaan harus diserahkan kepada pemerintah kolonial.

Baca Juga :   Perhimpunan Indonesia: Peran dan Kontribusinya Pada  Masa Awal Pergerakan Nasional (1923-1928)

Pemimpin kaum Padri tewas, Imam Bonjol dibuang. Walaupun kaum Padri kalah, namun dominasi ajaran agama Islam di tanah Minang tetap kuat. Sebaliknya juga kaum adat selama berabad-abad mempertahankan sistem matrilineal walaupun kaum agama teguh melancarkan kritik terhadap mereka. Kita melihat bagaimana kelompok Padri (agen) ingin mengubah struktur masyarakat adat dan elemennya termasuk sistem matrilineal. Sebaliknya, kelompok adat (agen) ingin tetap mempertahankan struktur masyarakat adat termasuk matrilineal atas dasar nilai-nilai tradisional. Dalam hal ini kita melihat agen berpengaruh kuat untuk mengubah atau mempertahankan struktur.

Di masa pemerintah kolonial berkuasa setelah Perang Padri, sistem pendidikan Eropa sebagai elemen dari struktur baru di Minangkabau mulai berdiri di tanah Minang. Akan tetapi kelompok tradisionalis/adat tetap konservatif dengan memegang teguh dan memproteksi budayanya agar tidak terganggu oleh elemen dari luar yang masuk ke tanah Minang. Seorang bernama Muhammad Radjab anak ulama-tradisionalis menjadi saksi tanggapan masyarakat di daerahnya terhadap pendidikan Eropa di awal abad-20. Di daerah Radjab, kebanyakan masyarakat menganggap pendidikan Eropa bertentangan dengan budaya matrilineal Minangkabau, ditambah lagi ada takhayul yang beredar. Kebanyakan orang tua anak-anak di daerahnya menganggap pendidikan modern Eropa di Minangkabau dapat merubah karakteristik anak perempuannya.

Mereka juga menganggap pendidikan Eropa yang masuk dapat merusak “sistem perkawinan matrilineal” dengan cara mempengaruhi pikiran anak-anak Minang. Maka di daerah tersebut sedikit sekali anak-anak yang berpartisipasi dalam pendidikan Eropa, dikarenakan kebijakan dari orang tuanya yang bersifat konservatif. Pola-pola tradisional untuk mempertahankan kebudayaan masih sangat kental. Tindakan sosial rasional-nilai semacam ini memperlihatkan bagaimana kelompok adat yang ingin “mempertahankan” struktur dan elemen lama kelompok adat.

Tindakan kelompok adat untuk “tetap berusaha” mempertahankan matrilineal terlihat juga dengan konsensusnya dengan kaum agama/Islam reformis tentang sistem pewarisan. Jauh sebelumnya, pewarisan dalam sistem matrilineal sangat memberikan privilege kepada wanita. Namun ketika Islam datang hak pewarisan berdasarkan sistem matrilineal tersebut mulai berubah. Hal ini terlihat dari perjanjian Mei 1952 di Bukittinggi.

Pada saat itu terjadi konsensus tentang hak waris antara kelompok adat dan kaum agama sebagai Islam reformis. Dimana harta pusaka dibagi menjadi dua bagian. Pertama harta pusaka tinggi, hak atas harta pusaka tinggi ini diwariskan secara hukum adat. Sedangkan harta pusaka rendah atau pencaharian diatur berdasarkan tuntunan agama/hukum Islam. Kelompok adat berusaha untuk mempertahankan sistem matrilineal dalam bagian pewarisan walau harus sedikit tereduksi oleh Islam reformis yang menuntut pembenaran hak waris agar sesuai kaidah mereka (hukum Islam). Dalam perjanjian tersebut tidak ada yang paling diuntungkan, kini keduanya berada di posisi sama dalam sistem hak waris.

Sumber: BPKHM UNP

Tindakan-tindakan untuk mempertahankan sistem matrilineal sebagai elemen adat juga terlihat dari perempuan itu sendiri. Pada 1924, ada delapan orang perempuan dari Kota Gadang yang berusaha menuntut dewan adat di nagari-nya agar memperluas hak perempuan dalam perkawinan eksogami. Perempuan tersebut tentu saja progresif dengan menguntut hak yang lebih dalam eksogami sebagai bagian dari matrilineal. Walaupun mereka menenuntut secara demonstratif, tuntutnya tersebut ditolak oleh dewan adat .

Tindakan-tindakan untuk mempertahankan elemen adat ini tidak hanya dilakukan oleh agen (kelompok adat sendiri), namun juga didukung oleh pemerintah kolonial sehingga sistem matrilineal masyarakat Minangkabau ini dapat bertahan secara terstruktur. Di sisi lain seperti yang diuraikan di atas, kelompok adat Minang melakukan berbagai tindakan untuk mempertahankan sistem matrilineal sebagai elemen lama. Sejarawan Taufik Abdullah mencatat dalam Adat and Islam : An Examination of Conflict in Minangkabau bahwa, pemerintah kolonial berusaha menekan dominasi kaum agama di tanah Minang dengan menekan guru-guru agama dan para haji dari Mekah agar tidak melebarkan pengaruhnya ke tanah Minang.

Pemerintah kolonial memberikan otoritas politis yang lebih kuat kepada penghulu atas nagari di tanah Minang sebagai wakil pemerintah kolonial di ranah yang lebih kecil. Tentu saja mereka dengan mudah secara instrumental memperkuat elemen-elemen adat utamanya matrilineal, otoritas tradisional penghulu kini menjadi otoritas legal-rasional. Mereka (kelompok adat) diberi otoritas lebih oleh pemerintah kolonial, di sisi lain pemerintah kolonial mereduksi dominasi kaum agama di tanah Minang.

Baca Juga :   Politik Etis: Pendidikan yang Begitu Menyedihkan

Hipotesis

Dari apa yang saya telah diuraikan diatas dan juga apa yang paparkan, kita dapat menarik jawaban sementara tentang pertanyaan bagaimana matrilineal di Minangkabau tetap bertahan? Matrilineal sebagai sistem yang masih bertahan sampai saat ini -walau mulai pudar- dapat bertahan karena beberapa hal.

Pertama, agen (kelompok adat) berusaha mereproduksi dan mempertahankan elemen kuat (matrilineal) dari struktur lama. Hal ini seperti yang saya uraikan diatas, dimulai dari konflik pra-Perang Padri hingga Perang Padri antara kelompok adat dan kaum agama. Kemudian agen juga mempertahankan matrilineal dari elemen luar yang masuk salah satunya pendidikan Eropa yang mereka anggap dapat mengacaukan hal tersebut.

Dapat dilihat juga ketika perempuan Minang itu sendiri menuntut perluasan eksogami sesuai yang tertuang dalam sistem matrilineal, hal ini merupakan upaya untuk mereproduksi dan memperkuat sistem tersebut. Bahkan pada abad-20 kelompok adat tetap berupaya mempertahankan matrilineal –dalam hak waris- ketika Islam benar-benar mendominasi dengan cara berkonsensus dengan mereka. Walau mereka harus duduk sama rata dalam hal tersebut.

Kedua, di sisi lain struktur mempengaruhi si agen, dan memperkuat apa yang agen ingin pertahankan. Pemerintah kolonial memberikan otoritas politis lebih kepada para penghulu di setiap nagari. Secara struktural dan instrumental tentunya kelompok adat dapat dengan mudah menjalankan apa yang mereka inginkan yaitu mempertahankan matrilineal sebagai elemen lama. Walau dalam beberapa kasus mereka kesulitan dikarenakan banyaknya konfik dengan kaum agama/Islam reformis.

Ketiga, Matrilineal sebagai elemen kelompok adat yang masih bertahan sampai saat ini tentunya berbeda dengan elemen kelompok adat yang lain. Matrilineal dikatakan elemen kuat yang dapat bertahan karena alasan yang cukup adaptif. Matrilineal masih cocok dan dapat disesuaikan dengan Islam reformis walau matrilineal banyak ditentang oleh kelompok tersebut, karena Islam sebagai agama bersifat patriarkis. Akan tetapi elemen lama lain dari masyarakat adat yang tersisihkan seperti judi, mabuk, kekerasan, dll sangat jelas “tidak dapat” disesuaikan dengan kaum Islam reformis di sana. Buktinya hal tersebut kini tidak membudaya dalam masyarakat Minang walau tidak menutup kemungkinan.

Secara perspektif strukturasi (struktur-agensi) kita dapat melihat secara mikro-makro. Agen (kelompok adat) bersikukuh mereproduksi dan mempertahankan elemen inti (matrilineal) dari struktur lama, dengan dalil mempertahankan nilai-nilai tradisional yang seolah mereka anggap sakral. Di sisi lain struktur mempengaruhi dan mempermudah si agen secara struktural untuk mereproduksi dan mempertahankan elemen lama dengan memberikan otoritas politis kepada kelompok adat dan mereduksi musuh mereka. Dari hal tersebut kita melihat ada relasi antara agen dan struktur di masyarakat Minangkabau.

Matrilineal juga merupakan elemen kuat dari kelompok adat yang masih dapat terintegrasikan, disesuaikan, dan cukup ditoleransi oleh struktur Minangkabau saat ini –walau banyak ditentang- di mana agama Islam menjadi basis yang kuat di sana. Jawaban ini hanyalah jawaban sementara, perlu waktu lama bagi saya untuk menjawab lebih kuat dan komprehensif, berdasarkan fakta empiris dan kerangka analitis yang lebih kuat. Akan tetapi setidaknya dari hal ini kita dapat menarik sedikit jawaban. Suatu saat saya akan melengkapi jawaban ini, dan berusaha mencoba menjawab pertanyaan “Mengapa sistem matrilineal begitu melekat di masyarakat Minang ?“

Sumber Referensi

Artikel jurnal

Abdullah, Taufik. Adat and Islam : An Examination of Confict in Minangkabau. Cornell University Southeast Asia Program : Vol. 2, Oktober 1966.

Darmayanti Putri. Pewarisan Menurut Hukum Waris Islam Terhadap Sistem Kekerabatan Matrilineal Minangkabau. Notaire : Vol. 2 №2, Juni 2019.

Stark, Alexander. The Matrilineal System of the Minangkabau and its Persistence Throughout History: A Structural Perspective. Southeast Asia: A Multidisciplinary Journal, Vol 13, 2013.

Buku

Hadler, Jefrey. 2010. Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau. Jakarta : Freedom Institute.

Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts