Pekerja Perempuan di Deli

Kehidupan Pekerja Perempuan di Perkebunan Deli 1870-1930

Berbagai literatur menerangkan bahwa sekitar abad ke-15, Selat Malaka merupakan jalur perdagangan dan pelayaran yang ramai dan menghubungkan Asia-Eropa. Hal ini berimbas kepada daerah-daerah di sepanjang Pesisir Sumatera dan Semenanjung Malaya yang menjadi incaran para pengusaha Eropa untuk mengembangkan komoditas yang tengah laku keras di pasaran dunia (Rosidah, 2012: 2).

Oleh Alhidayath Parinduri

Wilayah Sumatera yang strategis menjadi dasar untuk pembukaan lahan swasta secara besar-besaran tepatnya di kawasan Pesisir Timur Sumatera yang ternyata sangat cocok bagi tanaman tembakau. Pembukaan lahan itu juga dikuatkan dengan dasar hukum Undang-Undang Agraria tahun 1870. Oleh karena itu, hutan-hutan belantara di Sumatera dibuka dan dijadikan daerah perkebunan.  Pembukaan perkebunan di Deli, Serdang diikuti oleh perluasan ke daerah Langkat, Simalungun, dan Asahan memicu pendirian berbagai perusahaan pendukung lainnya (Wie, 1977: 6). 

E:\scan\9.jpg
Peta Sumatera Timur (Sumber: Kartografi Indonesia Jilid 1, No Inventaris KG. 1, No.1312, ANRI)

Secara geografis Sumatera Timur terletak di antara garis Khatulistiwa dan garis Lintang Utara 40, berbatasan dengan Aceh di barat laut, dan Tanjung Cina di Selat Sunda bagian Selatan. Sumatera Timur mempunyai iklim pantai tropik yang sifat iklim mikronya dipengaruhi oleh topografi seperti daerah-daerah tanah tinggi “Tumor Batak”, diantaranya dataran tinggi Karo, pegunungan Simalungun, dan pegunungan Habisaran (Pelzer, 1985: 31).

Masuknya pengaruh investor asing dalam pengelolaan perkebunan di Sumatera Timur, ketika Jacobus Nienhuys pada tanggal 6 Juli 1863 kapal “Josephine” mendarat di Kuala Sungai Deli. Sesampainya di Deli dia bersama koleganya menemui Sultan Deli dan menyampaikan maksud kedatangannya. Tanpa berpikir panjang Sultan Deli menyetujui maksud Nienhuys dengan memberikan sejumlah tanah kepadanya. 

Dimulai sejak saat itu, Nienhuys bersama koleganya memulai budidaya tembakau. Puncaknya di tahun 1865 produksi dan penjualan mengalami peningkatan signifikan. Melihat hal tersebut kemudian Nienhuys berpikir untuk mendirikan sebuah perusahaan agar pengelolaan produksi dan penjualan lebih terstruktur. Tepat, pada 1 November 1869 Jacobus Nienhuys bersama C.G. Clemen mendirikan perusahaan Deli Maatschappij dengan mendapat izin kontrak sewa tanah seluas 25.000 ha (Rosidah, 2012: 3).

Demi kelancaran pengelolaan sebuah perusahaan pasti diperlukan ketersediaan tenaga kerja yang terampil dan terlatih. Pemenuhan tenaga kerja di perkebunan Deli pada mulanya dapat dipenuhi dengan tenaga kerja penduduk setempat. Namun, penduduk setempat banyak yang kurang tertarik bekerja di perkebunan. Mereka juga kurang terampil dalam penanaman tembakau. Oleh sebab itu pengusaha perkebunan terpaksa mencari tenaga kerja dari daerah lain, yaitu dari Semenanjung Malaka (pekerja Cina), Jawa, dan India (Keling). Perekrutan tenaga kerja tersebut sering dilakukan dengan cara penipuan, yaitu mengajak calon pekerja menonton pertunjukan wayang, atau menyebutkan Johor sebagai tempat tujuan namun pada kenyataannya mereka diseberangkan ke Deli secara diam-diam. 

Pengerahan tenaga kerja ditangani oleh beberapa biro pencari tenaga kerja. Biro Imigrasi bernama J. C. de Jongh di Batavia adalah milik seorang makelar bernama Herman A. Lefebre yang juga menawarkan tenaga kerja melalui iklan di surat kabar. Kantor Imigrasi J. C. de Jongh dalam iklannya menyediakan pekerja kontrak perempuan sebanyak 25 orang dan 15 orang laki-laki (Deli Courant, 1 April 1902). Selain itu, ada Biro Imigrasi tenaga kerja ESAS yang berkedudukan di Surabaya. Biro ini memasang iklan di surat kabar dan menawarkan tenaga kerja seperti menawarkan barang dagangan (Sumatera Pos, 7 Mei 1902). 

Baca Juga :   Babak terakhir Makassar vs Belanda

Terdapat juga biro atau agen pencari tenaga kerja bernama VEDA (Vrije Emigratie Deli Avros). Biro ini sangat berbeda dengan biro lainnya, dalam hal mendatangkan pekerja biro ini sangat memperhatikan kualitas kesehatan dari pekerja yang akan disalurkan. Oleh karena itu, biro ini sangat diminati oleh perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur. 

Ketika sektor pertanian tidak mampu lagi menampung tenaga kerja perempuan, mereka mempunyai andil yang cukup besar dalam penyediaan tenaga kerja. Pengadaan tenaga kerja perempuan ini sengaja dilakukan untuk memikat para pekerja laki-laki agar betah di perkebunan hingga kontrak mereka selesai. Pencarian terhadap pekerja perempuan dilakukan dengan cara memasuki desa-desa kemudian para perempuan tersebut diberi iming-iming dan dibujuk dengan cara menikahinya. Akan tetapi, setelah perempuan tersebut setuju mereka malah diberikan kepada agen pencari kerja untuk dijual.

Para pekerja perempuan sedang meyortir tembakau (Sumber: Koleksi foto ANRI, Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) 290/46)

Di kalangan pekerja, kaum perempuan merupakan minoritas. Pada awal kedatangannya jumlah pekerja perempuan hanya sebagian kecil dibandingkan dengan jumlah pekerja laki-laki yaitu 4:1, atau hanya 8%. Pendataan dilakukan awal tahun 1900 dari seluruh pekerja di perkebunan Deli yang berjumlah 62.000 orang, pekerja perempuan hanya berjumlah 5.000 orang dan semuanya orang Jawa. Peningkatan jumlah pekerja perempuan disebabkan karena adanya anjuran pemerintah kolonial yang mendorong untuk mendatangkan pekerja perempuan.

Para pekerja perempuan yang didatangkan biasanya relatif berusia muda, seperti umur 10-14 tahun. Oleh karena itu, masuknya tenaga kerja perempuan ke dalam proses kerja dibatasi oleh persyaratan yang tertera dalam ordonansi kuli. Mereka hanya boleh mengerjakan pekerjaan ringan, seperti memilah dan mengikat daun tembakau di dalam lumbung, menyiangi persemaian di ladang, menyapu jalan, dan pekerjaan lain yang memerlukan kesabaran tetapi tidak menguras tenaga. Namun, sangat disayangkan dalam pemenuhan kebutuhan pekerja perempuan ini tidak dibarengi dengan pemberian hak yang layak. Mereka mendapatkan diskriminasi, upah rendah, dan juga dieksploitasi oleh pengusaha kebun maupun para pekerja laki-laki. 

Pekerja perempuan menerima upah yang bahkan lebih rendah dari upah pekerja laki-laki. Apabila pekerja laki-laki menerima upah 6 dollar per bulan, maka pekerja perempuan hanya menerima 3 dollar. Mereka hanya menerima 2,20 dollar per bulan untuk semua kebutuhan hidupnya, setelah dipotong uang panjar 0,50 dollar, dan harga cangkul 0,30 (Rosidah, 2012: 104). Mereka juga sangat rentan terhadap pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh pengusaha perkebunan, para pengawas bahkan para suami mereka sendiri. Oleh karena itu, pilihan lain mereka untuk memenuhi kebutuhannya dengan terpaksa melacurkan diri. 

Kegiatan ini biasanya dilakukan ketika memasuki masa gajian dari para mandor dan pekerja, karena mereka yang sering menggunakan jasa pekerja perempuan sebagai pemuas nafsu seksualnya. Di kalangan mandor dan pekerja kegiatan seperti itu dikenal dengan istilah malam gajian. Akan tetapi, kegiatan pelacuran tersebut bukan suatu pelanggaran karena telah diatur oleh pihak perkebunan dengan mengeksploitasi sumber daya pekerja perempuan. Kembali lagi kondisi ini sengaja diciptakan agar perempuan tetap tersedia dan dapat memberikan pelayanan seksual (Stoler, 1995: 50). Tujuan lainnya adalah agar para pekerja laki-laki dapat tetap tinggal di perkebunan sampai masa kontraknya habis. Akibat adanya pelacuran ini menjadikan para pekerja perempuan banyak yang terkena penyakit kelamin, seperti sipilis. 

Seorang manajer di sebuah perkebunan mengeluh bahwa dari 60 orang pekerja perempuan, sebanyak 35 orang dimasukkan ke rumah sakit karena sipilis. Tidak hanya itu berdasarkan data dari Verslag van den Dienst der Arbeidsinspectie in Nederlandsch-Indie over het jaar 1917-1924 tercatat 159 orang terkena penyakit sipilis dan 38 orang melahirkan dari hasil pelacuran. Selain itu, dikarenakan tidak sehatnya lingkungan permukiman banyak pekerja yang terkena penyakit seperti malaria, influenza, dan lain sebagainya. Selain itu, dampak psikis juga rasakan dimana banyak pekerja perempuan yang mengalami kegilaan dan memilih bunuh diri sebagai jalan untuk mengakhiri kehidupannya. Berdasarkan sumber Verslag van den Dienst der Arbeidsinspectie in Nederlandsch-Indie over het jaar 1917-1924 tercatat antara tahun 1923-1924 sebanyak 50 orang bunuh diri. Data tersebut belum termasuk dari beberapa tahun sebelumnya, dikarenakan sebelum tahun itu diinformasikan banyak juga pekerja perempuan yang bunuh diri.

Baca Juga :   Munculnya Partai-Partai Islam Pasca Orde Baru

Daftar Pustaka

Ann Laura Stoler. 1995. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Yogyakarta: Karsa.

Deli Courant, 1902

Iyos Rosidah. 2012. Eksploitasi pekerja perempuan di Perkebunan Deli Sumatera Timur 1870-1930. Tesis S-2. Semarang: Universitas Diponegoro.

Jan Breman. 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik, Kolonia, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatra Timur Pada Awal Abad ke-20. Jakarta: Pusaka Utama Grafiti.

Karl J. Pelzer. 1985. Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur, 1863-1947. Jakarta: Sinar Harapan.

Kartografi Indonesia Jilid 1, No Inventaris KG. 1, No.1312, ANRI

Koleksi foto ANRI, KIT 290/46

Sumatera Post, 1902

Thee Kian Wie. 1977. Plantation Agriculture and Export Growth an Economic History of East Sumatra, 1863-1942. Jakarta: LEKNAS-LIPI.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts