Terang Tuhan dalam Perjuangan Kemerdekaan

Sewaktu semangat nasionalisme dan pergerakan kebangsaan mulai bangkit sejak sekitar tahun 1900, secara umum umat kristen belum terkena pengaruhnya. Itu antara lain karena para zendeling, yang memahami diri mereka sebagai pengasuh umat kristen, hingga waktu itu tidak menolong mereka terlibat dalam urusan “duniawi”, termasuk politik. (Jan Sihar Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen Islam di Indonesia, hlm. 188)

Oleh Tom Jones Malau

Os Guinness dalam bukunya Renaisans Kekuatan Injil Meskipun dalam Masa Kegelapan, mengatakan “Lima ratus tahun hanyalah sekejap mata, dan semua yang berkuasa kini berjalan sendiri tanpa dikendalikan oleh pola pikir moral dunia barat. Pada persimpangan jalan ini, dunia barat telah memisahkan diri dari akar-akar bangsa Yahudi dan Kristen mereka, iman, pengajaran, etika, dan pola hidup mereka yang telah membuat mereka menjadi dunia barat.”

Bagaimanapun juga telah menjadi fakta sejarah bahwa bangsa barat melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Pemerintah kolonial melakukan apa yang dinamakan cultuurstelsel yang memberikan keuntungan tidak kurang 835 juta  gulden. Dalam keadaan seperti itu bagaimana agama (Kristen) yang datang (bukan berasal) dari bangsa barat melihat suasana penghisapan tersebut. 

Masyarakat kolonial terbagi atas dua golongan yang berbeda, yakni penjajah dan yang terjajah, dan sebagai dua kesatuan yang berlawanan kepentingannya menciptakan situasi konflik yang permanen di berbagai bidang kehidupan. Bagi golongan yang terjajah muncul apa yang dinamakan pergerakan nasional untuk mendorong ke arah realisasi kemerdekaan.

Bangkitnya nasionalisme Indonesia dapat dihubungkan dengan faktor dasar, yakni pengaruh internasional berupa kebangkitan bangsa- bangsa terjajah (khususnya asia) memperjuangkan kemerdekaan. Salah satu peristiwa penting yang menunjang perkembangan ini adalah kemenangan Jepang (Asia) atas Rusia (Eropa) dalam perang Eropa 1905. Faktor dasar lainnya adalah kebijakan kolonial yang baru, yakni politik etis pemerintah Belanda, dimana terjadi peningkatan pendidikan dan pembentukan Volksraad. Pendidikan pribumi bermakna terutama dalam ditingkatkannya jumlah dan jenjang pendidikan, yang pada gilirannya melahirkan kaum terpelajar Indonesia. Mereka inilah yang menjadi penggagas dan tulang punggung pergerakan nasional.

Nasionalisme yang diarahkan untuk melawan pemerintah kolonial dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya terhadap iman, dan gerakan politik dinyatakan sebagai perbuatan dosa karena melawan pemerintah.

Sikap lembaga-lembaga Kristen di Indonesia baik dalam kalangan Gereja Protestan maupun Zending, turut menentukan dalam membentuk sikap orang Kristen Indonesia terhadap pergerakan nasional Indonesia. Baru pada tahun 1920-an muncul dari kalangan Zending tokoh-tokoh yang lebih sadar pada aspirasi kaum pergerakan nasional  seperti B.M Schuurman (1899-1945), C.L. van Doorn (1896-1975), J.M.J Scheeper (1888-1967), dan Khususnya Hendrik Kraemer (1888-1965). 

Hendrick Kraemer dapat dianggap sebagai pembawa wawasan baru Zending terhadap nasionalisme Indonesia. Tugasnya ia pandang sebagai kewajiban untuk memperhadapkan penginjilan secara cerdas, mengarahkan penginjilan pada pemahaman yang lebih dalam terhadap masalah-masalah rohani, dimana benih Injil ditaburkan dan menampilkan keterlibatan Kristen dalam perjuangan melawan kekacauan rohani dan moral yang dialami bangsa-bangsa Timur sebagai dampak hubungannya dengan Barat. Terutama yang ditekankan Kraemer mengajak kalangan Zending untuk mendorong orang kristen Indonesia supaya terlibat secara aktif dalam perjuangan bangsanya di bidang sosial dan politik.

Berbagai Organisasi

Sarekat Ambon didirikan di Semarang pada tanggal 9 Mei 1920 oleh A.J. Patty, organisasi ini ditujukan kepada mereka yang memiliki jiwa progresif dan kritis terhadap kenyataan politik kolonial. Tujuannya untuk memajukan kepentingan jasmani dan rohani orang Ambon dan daerahnya. 

Baca Juga :   Kemunduran VOC pada Akhir Abad ke-18 (Studi Kasus di Jawa)
A.J Patty (Sumber: Archipelagosolidarity. Com)

Roekoen Minahasa yang dibentuk pada bulan Agustus 1912 di Semarang. Keanggotaannya meliputi semua orang yang berasal dari Minahasa dan atau keturunannya. Ketua nya J.H. Pangemanan, dalam anggaran dasarnya, yang disahkan oleh pemerintah pada tanggal 12 Desember 1912 tercantum tujuannya: memberikan bantuan untuk pengembangan ekonomi rakyat dan daerah Minahasa. Cara-cara yang ditempuh untuk mencapai maksud ini adalah: 

  1. melawan atau membatasi sebab-sebab kemunduran
  2. menumbuhkan kekuatan-kekuatan jasmani dan rohani, saling bantu dalam kebutuhan 
  3. menolong dalam kedukaan
  4. saling memperhatikan, khususnya pada mereka yang baru datang dari Minahasa untuk mencari pekerjaan 
  5. membantu pelajar yang membutuhkan uang
  6. mengembangkan pertanian dan perkebunan, peternakan dan industri g) cara-cara lain yang sah untuk menjamin keadaan rakyat yang pantas.

Di kupang dibentuk juga suatu organisasi lain bernama Perserikatan Timor, pada bulan Agustus 1924, di bawah pimpinan C. Frans. Statusnya, yang disahkan pemerintah (tanggal 27 Maret 19250, menyatakan bahwa organisasi ini bertujuan memperjuangkan kemandirian penduduk pribumi Timor dan sekitarnya di bidang ekonomi, rohani dan kebudayaan, dan politik dalam kerjasama dan tetap memperkokoh ikatan dengan Belanda. Pada pertengahan 1920-an ketika pihak komunis makin radikal, pengaruhnya juga masuk sampai Makasar yang merupakan gerakan militan melawan pemerintah setempat. 

Perserikatan Minahasa (Sumber: Wikipedia)

Selain Maluku, Minahasa, dan Timor terdapat juga para pemuda Batak bergabung dengan pemuda Minang dalam  Jong Sumatera Bond yang berdiri tahun 1917. Pada 1925 dibentuk Jong Bataks Bond (JBB) salah satu pemuda batak pada saat itu adalah T.S.G. Moelia. Perhatian terhadap masalah sosial dilakukan di Tanah Batak oleh suatu organisasi Kristen yang didirikan pada tahun 1917,  Hatopan Kristen Batak (HKB) walaupun bersifat organisasi rohani pemimpin-pemimpinnya yang berorientasi sosial sempat melakukan gerakan protes terhadap penguasaan tanah oleh pihak perkebunan swasta. 

Ratu Langie dan Gunung Mulia

Sam Ratu Langie (Sumber: Wikipedia)

Gerungan Saul Samuel Jacob Ratu Langie, lahir di Tondano, Sulawesi Utara, pada tanggal 5 November 1890. Ia memperoleh gelar doktor dalam bidang Matematika dan Fisika. Terpilih menjadi anggota Volksraad mewakili Minahasa sampai tahun 1936. Dalam Voolksraad Ratu Langie ikut menandatangani Petisi Soetardjo. Ratu Langie bersama dengan dua tokoh dari Minahasa ditunjuk menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan. Setelah Proklamasi Ratu Langie ditunjuk menjadi Gubernur Sulawesi di Makassar. 

Pada tanggal 5 April 1946, Ratu Langie ditangkap NICA, lalu diasingkan ke Serui sampai tahun 1948. Setelah dibebaskan dia bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta, lalu ditahan lagi bersama pemimpin-pemimpin lainnya pada aksi militer II Belanda. Kesehatan Ratu Langie memburuk dan dia meninggal pada tanggal 30 Juni 1949 di Jakarta. Pandangan politik Ratu Langie yang beberapa kali dikemukakannya adalah mengenai suatu Indonesia merdeka dalam bentuk federasi. Namun bukan federasi seperti van Mook.

Todung gelar Sutan Gunung Moelia mempunyai beberapa kesamaan dengan Ratu Langie: Sama-sama cendekiawan didikan Barat, aktif dalam pergerakan melalui organisasi sukunya melalui jalur coorperatie, wartawan dan anggota Volksraad. Moelia berasal dari suku Batak, dilahirkan di Padang Sidempuan, 21 Januari 1896. Lingkungan Kristennya menempatkan Moelia dalam arus politik Kristen pada zaman pergerakan. Moelia menjadi anggota Volksraad pada tahun 1922-1927 dan 1935-1942 mewakili orang (Kristen) Batak di bawah payung CEP/CSP. Memang Moelia tidak bisa digolongkan sebagai nasionalis progresif, tetapi pemikiran politiknya cukup kritis sebagaimana terungkap dalam tulisan-tulisan dalam majalah Zaman Baroe, yang dipimpinnya pada tahun 1928-1930. 

Gunung Moelia (Sumber: Wikipedia)

Moelia menyambut baik usaha pemerintah memperbesar jumlah orang Indonesia dalam Volksraad itu sebagai tanda kepercayaan dan keinginan kerjasama pemerintah dengan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan Indonesia. Mengenai agama dan pergerakan kemerdekaan nasional, Moelia dengan tegas menyatakan bahwa kekristenan tidak menjadikan orang Indonesia “perkakas” bangsa Eropa.

Baca Juga :   Gelanggang Buku: Arena “Konfrontasi Dua Kebudayaan”

Sumber

Jan Sihar Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2017.

Os Guinness, Renaisans Kekuatan Injil Meskipun dalam Masa Kegelapan. Malang: Literatur SAAT, 2017.

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts