Sepak Terjang Sriwijaya dalam Perdagangan dan Maritim

Sriwijaya mungkin sudah sering terdengar sebagai salah satu kerajaan yang mempunyai nama besar dan tersohor, terutama dalam aspek perdagangan dan maritim. Pada umumnya, masyarakat mengenal kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan yang memiliki wilayah yang luas, angkatan laut yang kuat serta kekuatan ekonomi yang bertumpu pada perdagangan bahkan pada taraf internasional dengan China dan India bahkan Arab, tercermin dari kegiatan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai Sumatra. 

Oleh Haidar Trisna Tanaya

Kemunculan kerajaan Sriwijaya sendiri juga tak lepas dari latar belakang ekonomi yang tumbuh pesat pada abad ke 7 masehi dan kemudian tetap berperan penting pada perdagangan Asia Tenggara selama kurang lebih 500 tahun lamanya. Kabar-kabar mengenai kemunculan Sriwijaya ini dapat ditelusuri lewat beberapa sumber seperti prasasti dan berita China. Prasasti yang ada seperti prasasti Kota Kapur, Telaga Batu, Karang Brahi, Kedukan Bukit, Talang Tuo, Palas Pasemah, dan fragmen-fragmen lainya dari bukit Seguntang. 

Berita China yang pertama dalam menceritakan adanya kerajaan Sriwijaya berasal dari tulisan seorang saudagar China yang bernama I-Tsing yang sempat singgah di Palembang. Secara historis, nama Sriwijaya pertama kali diajukan oleh Coedes, akan tetapi sebelumnya telah ada penelitian yang menyimpulkan telah adanya kerajaan di tepi sungai Musi dekat Palembang oleh Kern setelah menerjemahkan prasasti Kota Kapur dan kesimpulan dari Groeneveldt dan Beal. Pembuktian mengenai eksistensi Sriwijaya sebagai kerajaan maritim tak lepas dari sebuah surat dari Maharaja Sriwijaya kepada Kaisar Sung pada 1017 yang isinya menyebut dirinya sebagai raja atas lahan yang dikelilingi Samudra. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa catatan-catatan sejarah yang lengkap  baik yang ditulis penduduk lokal maupun pendatang asing mengenai keberadaan Sriwijaya masih belum ditemukan sehingga keberadaan Sriwijaya hanya berkisar pada perkiraan pada abad VII dan XIV. 

Maka dapat dimaknai bagaimana latar belakang Sriwijaya sehingga dapat mengembangkan bidang Perdagangan dan Maritim dan mempertahankanya kurang lebih selama 500 tahun? Lantas apakah ada bukti konkrit baik prasasti maupun laporan perjalanan China yang dapat membuktikan perihal Sriwijaya sebagai kerajaan berbasis perdagangan dan maritim? Serta bagaimana sebuah kerajaan Sriwijaya yang konon memiliki kekuatan maritim dan Perdagangan dapat runtuh pada abad ke XIV?

Sriwijaya dalam catatan sejarah dan cerita-cerita yang dituturkan selalu memuat akan kisah perdagangan dan kemaritiman. Bahkan sejak Sriwijaya berdiri pada abad ke VII masehi. Akan tetapi, apa yang melatarbelakangi Sriwijaya menjadi negara maritim dan perdagangan sedangkan kerajaan-kerajaan di Jawa yang sezaman lebih condong ke agraris. Bahkan secara lebih khusus adalah apa alasan dibalik Palembang sebagai wilayah berdirinya sekaligus menjadi ibukota Sriwijaya, sedangkan yang sering kita ketahui pada umumnya, jalur perdagangan sendiri berada di Selat Malaka, tapi justru Sriwijaya pertama kali muncul di Palembang bukan di Malaka. 

Bahkan justru diketahui bahwa, Malaka yang belakangan muncul pada abad XV.  Pada dasarnya, ada kaitan antara tren perdagangan yang terjadi di sekitar Abad ke III hingga abad ke IV masehi yang di kemudian hari akan mempengaruhi kemunculan Sriwijaya pada abad ke VII masehi. Tren yang dimaksud disini adalah mengenai dua hal, yaitu jalur perdagangan dan Komoditas perdagangan. Dua hal ini yang nantinya akan menentukan alasan Sriwijaya lahir di Sumatra lebih tepatnya di Kota Palembang. Lantas, mengapa perdagangan memiliki peran penting dalam kemunculan kerajaan Sriwijaya? Abd Rahman Hamid dalam bukunya berjudul Sejarah Maritim Indonesia menuliskan, “Peningkatan perdagangan laut berpengaruh pada peningkatan keuntungan yang diperoleh negeri-negeri yang memiliki pelabuhan di sepanjang jalur perdagangan itu.” Pernyatan Abd Rahman menjelaskan bagaimana peran perdagangan sangatlah krusial dalam pertumbuhan pelabuhan yang kelak semakin ramai pelabuhan maka semakin mendatangkan untung sehingga dari Pelabuhan-pelabuhan tersebut dapat menjadi negeri yang besar.  Hal senada juga diperjelas oleh O.W. Wolters dalam bukunya berjudul Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VIII, ia menuliskan, “ Pada zaman pertengahan, Sriwijaya merupakan pusat perdagangan yang sangat terkenal. Oleh karena itu, wajar bila diyakini terdapat latar belakang ekonomi di Asia Tenggara dan barangkali juga di tempat lain di Asia, yang selama berabad-abad telah memberi jalan bagi kejayaan Sriwijaya.” lewat keuntungan yang dipungut dari pelabuhan, penawaran barang dagangan dan pendirian komunitas perdagangan oleh para bangsawan, memberikan gambaran mengenai bagaimana kerajaan Sriwijaya dapat muncul. Kemudian, fakta-fakta di atas lah yang menjelaskan mengapa Sriwijaya muncul di Palembang. Hal ini karena Palembang sendiri sejak abad ke III telah menjadi pelabuhan penting di Sumatera Tenggara bahkan pengaruhnya dapat mengontrol pelabuhan di Malaka.  Palembang menjadi pelabuhan penting karena letak geografinya yang cocok untuk persinggahan dan bongkar muat barang sehingga memberikan banyak keuntungan. Semakin lama, perkembangan perdagangan dan kapal-kapal India dan China juga semakin berkembang sehingga mempengaruhi perkembangan pelabuhan di pesisir Sumatera termasuk Palembang.

Seperti yang sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya bahwa pelabuhan akan berperan penting dan tumbuh besar apabila menjadi tempat persinggahan dan bongkar muat barang, dan tentunya berkaitan dengan letak geografisnya yang secara tidak langsung berkaitan dengan jalur pelayaran yang umum digunakan waktu itu. Dalam hal ini, O.W.Wolters dalam bukunya berjudul Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII memberikan penjelasan mengenai jalur perdagangan yang umum digunakan. Dapat diketahui bahwa para pedagang China berangkat dari pusat perdaganganya di Kanton, China Selatan. Dari Kanton, mereka melewati Laut China Selatan melewati wilayah Lin Yi tetapi tidak singgah di wilayah Chen La, alih-alih singgah, justru terus ke arah Palembang dan Jambi. Dari Palembang dan Jambi kemudian menuju ke Lo-Yueh dan Kedah hingga kemudian menuju lautan India. 

Dari segi letak, pelayaran melewati Palembang merupakan pelayaran yang cepat, karena di Palembang terdapat angin yang muncul secara tiba-tiba yang dapat membawa mereka segera ke Khatulistiwa dan telah dibuktikan oleh I Tsing dalam pelayaranya. Kelebihan lain dari jalur Palembang adalah kapal dapat terus berlayar tanpa hambatan terutama oleh angin lokal dengan melewati Terusan Gugusan Pulau Lingga dan Bangka sehingga dapat mencapai Malaka pada akhir tahun. Selain itu, posisi Palembang juga strategis dimana letak Palembang tidaklah terlampau jauh dari Malaka dan dekat dengan jalur pelayaran utama China. Tentu saja, dengan fakta bahwa Palembang memiliki keuntungan letak, maka para pedagang akan lebih tertarik untuk melakukan kegiatan perdagangan. Dari sini dapat dilihat, mengapa Palembang menjadi pelabuhan yang penting, sering disinggahi, tempat bongkar muat sehingga lambat laun mendatangkan keuntungan yang berlimpah. 

Pada sejarah awal Sriwijaya, pelabuhan-pelabuhan penting seperti Palembang dan Jambi menjadi jalur komunikasi dan penghubung penting bagi perdagangan antara Nusantara dengan pasar di Asia.  Akibat dari Palembang yang menjadi kota pelabuhan penting, maka otomatis memberikan perkembangan lebih dalam hal kebudayaan yang nantinya berpengaruh pada masuknya budaya-budaya asing yang memberikan efek pada pendirian peradaban seperti Sriwijaya. Bahkan dapat dikatakan, perkembangan budaya di Palembang jauh lebih pesat daripada di Malaka atau pelabuhan-pelabuhan di dekatnya sehingga dapat meningkatkan prestise dari Palembang.

Baca Juga :   Kisah Kolonel Irfan, Perwira Bernasib sama dengan Ferdy Sambo

Faktor kedua adalah komoditas yang diperdagangkan. Pastinya, tidak mungkin para pedagang China tertarik untuk berdagang di Palembang atau nusantara bagian barat pada umumnya apabila tidak ada komoditas dagang yang bernilai, bermutu, dicari dan diminati. Hal pertama yang perlu diketahui adalah bagaimana China mengenal komoditas perdagangan dari Nusantara bagian barat. Kemungkinan, orang China mengenal komoditas barang dagangan Nusantara Bagian Barat sebagai barang substitusi yang mirip dengan barang yang ada di Asia Barat. Contoh dalam peristiwa ini tertera pada buku berjudul Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII  yang kurang lebih rangkumanya  adalah pada  perdagangan kayu gaharu atau pada waktu itu dikenal sebagai hsun-lu . Mulanya, China mendapatkan hsun-lu dari Persia dan India. Ketika perdagangan terjadi dan melibatkan para orang-orang Melayu, lambat laun orang Melayu ini mengetahui bahwa hsun-lu merupakan barang yang diminati, dan di wilayah mereka (Sumatra) terdapat barang yang serupa yang disebut Ju-tu. Maka timbulah perdagangan Ju-tu ke China meskipun pada awalnya secara diam-diam kemudian lambat laun karena fungsi dan manfaat dari Ju-tu sama dengan hsun-lu, hal ini dapat dibuktikan dengan salah satu tulisan dari fragmen Kuang Chih yang berbunyi “ Hai Yaoo. Wewangian ju t’ou. Saya lihat Kuang Chih menyatakan bahwa getah itu dihasilkan di laut selatan dan bahwa barang itu adalah (sejenis) getah gaharu Po-Ssu (Persia).”  maka perdagangan Ju-tu lambat laun menjadi perdagangan yang besar dan utama. Hal inilah yang mejadi dorongan bagi masyarakat Nusantara Bagian Barat untuk menawarkan barang dagangan, setelah melihat interaksi perdagangan dan barang yang diperdagangkan antara bangsa China dan Asia Barat. dengan melihat kesimpulan diatas bahwa, perdagangan yang terjadi di wilayah Nusantara Bagian Barat merupakan imbas dari perdagangan yang terjadi antara China dan Asia Barat. Ketika perdagangan tersebut melewati Nusantara Bagian Barat dan secara tidak langsung mengambil tempat persinggahan di pesisir Sumatera serta melibatkan pedagang lokal Melayu maka kabar mengenai bernilainya suatu barang yang diperdagangkan akan mempengaruhi spekulasi pedagang lokal, akibatnya komoditas lokal ikut diperdagangkan di China Selatan dan lambat laun menggantikan komoditas dari Asia Barat, terlebih dari faktor geografis tentulah barang dari Sumatra lebih dekat untuk didapat. 

Pembahasan selanjutnya adalah komoditas yang diperdagangkan. Tidaklah mungkin perdagangan menjadi marak apabila komoditas yang diperdagangkan tidak diminati di pasar internasional yang waktu itu berada di China Selatan. Maka pastilah Nusantara Bagian Barat khususnya Sumatera memiliki komoditas barang yang memiliki nilai sehingga diminati dan mampu bersaing di pasar China Selatan dengan barang lainya dari Asia Barat.  Barang yang diperdagangkan pada waktu itu selain Ju-tu yang telah disebutkan di atas seperti Kayu Cendana, Cengkih, Lada Panjang, Kapur Barus, Getah Gaharu, Kemenyan atau Getah Damar. Perdagangan seperti ini seperti yang telah disinggung di atas dapat mempengaruhi perkembangan dari pelabuhan dan wilayah. Misalnya pada abad ke III masehi, perdagangan antara India dan Nusantara Bagian Barat lambat laun berpegaruh pada proses indianisasi yang terjadi kemudian sehingga dapat meningkatkan prestise penguasa lokal. Akan tetapi, agaknya perdagangan yang terjadi dengan China sedikit berbeda. China adalah konsumen dari barang-barang hasil bumi dari Possu (Persia), barang-barang ini utamanya digunakan dalam proses pengobatan tradisional seperti yang tercantum dalam buku Kuang Chih atau Materia Medica. Ketika abad ke IV terjadi huru hara di China Utara sehingga terputusnya jalur darat antara Persia dan China maka perdagangan beralih ke arah selatan, maka mulailah pelayaran ke laut selatan guna berdagang dengan Persia. Ketika perdagangan tersebut terjadi, pedagang lokal nusantara mengetahui bahwa barang yang dibawa Persia sama dengan barang yang mereka miliki, sehingga secara diam-diam ikut diperdagangkan sebagai barang pengganti. Hingga lambat laun barang-barang Nusantara bagian barat menjadi dominan. Perdagangan dengan China yang intensif inilah yang membuat pelabuhan-pelabuhan yang menjadi tempat perdagangan meraup untung besar, sehingga mampu membina diri dan dikombinasikan dengan keinginan menjadi sederajat dengan bangsa India sebagai legitimasi dan prestise. Dengan demikian telah jelas bahwa latar belakang berdirinya Sriwijaya di Palembang adalah latar belakang ekonomi, Palembang menjadi pelabuhan yang ramai karena dilewati jalur pelayaran utama China serta Palembang dapat menyediakan komoditas yang diminati dan laku di pasaran China Selatan. Mengingat Sumatra memiliki hasil alam seperti Kayu Gaharu, Barus dan Damar yang melimpah.

Lantas apakah hanya dari sisi perdagangan saja yang menjadi latar belakang Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan perdagangan? Bagaimana dari aspek maritim? Tentu saja, aspek maritim juga menjadi latar belakang dari berdirinya Sriwijaya. Kemahiran pelaut Nusantara tercermin dari catatan Wang Gungwu yang menuliskan bahwa setiap tahunya bangsa Kun’Lun rutin berlayar dengan kapalnya untuk berdagang ke Kanton, selain itu dalam catatan perjalanan I-Tsing juga diceritakan menggunakan kapal-kapal Sriwijaya. Kekuatan maritim pelaut Nusantara juga dituliskan dalam catatan I Chi’eh Ching yi ni yang ditulis oleh Hui-Lin, di mana orang-orang Kun’Lun (nusantara) sangat berperan sebagai pelaut yang membantu dalam pengiriman barang orang-orang Asia Barat ke Kanton, diterangkan pula dalam catatan tersebut mengenai kapal-kapal Kun’Lun yang disewa oleh pedagang dari Funan. Sementara itu dalam catatan I-Tsing juga disebutkan bahwa para awak kapal yang dioperasikan berasal dari Kun’Lun, mereka dapat memanfaatkan angin dengan sangat baik, bahkan I-Tsing menyebut bahwa Kun’Lun (Orang Melayu) merupakan pelaut handal bahkan dapat mengarungi lautan hingga ke India. Populernya para pelaut Nusantara ini sehingga dapat dipercaya untuk menjadi pengantar dalam perdagangan adalah karena mereka memiliki keuletan, kemahiran, keberanian, keramahan dan penghormatan serta mampu menjaga barang dagangan serta para pedagang itu sendiri.

Setelah mengetahui bagaimana latar belakang Sriwijaya berdiri dan apakah memiliki latar belakang dengan perdagangan dan maritim, maka pada bagian ini akan diutarakan berdirinya Sriwijaya di Abad ke VII.  Dari bukti arkeologis, Kerajaan Sriwijaya diketahui didirikan tahun 683 masehi dari prasasti Kedukan Bukit. Menurut N.J.Krom, prasasti kedukan bukit ini tidak semuanya jelas, tetapi ziarah untuk mencari kekuatan gaib itu mencolok sekali. 

Mungkin hal ini berhubungan dengan peristiwa pendirian kerajaan Sriwijaya. Dan suatu keyataan, prasasti ini dimaksudkan untuk memperingati kejadian yang penting sekali untuk negara.” lantas, apakah ada alasan tersendiri mengapa Sriwijaya didirikan pada abad VII masehi? Tentunya, dilihat dari latar belakang di atas dimana tren perdagangan mulai marak sekitar abad III masehi, tetapi justru Sriiwjaya muncul pada abad VII bukan abad III. Ternyata, ada masa dimana terdapat penurunan perdagangan pada akhir abad V sampai abad VI masehi yang diakibatkan oleh menurunnya intensitas perdagangan di Persia Sasanid akibat dari penjajahan bangsa Arab yang waktu itu kurang berminat dalam memenuhi permintaan barang dan kemunduran maritim Funan. Kejatuhan Funan yang dikenal sebagai negara maritim, berdampak pada meningkatnya jumlah perompak dan kasus perompakan di sekitar wilayah Funan dan Campa. sebagai akibatnya, tentulah jalur pelayaran lewat Nusantara Bagian Barat tanpa Singgah di Funan menjadi lebih ramai, terlebih karena kasus perompakan dan ketiadaan pengamanan berakibat pada kemunculan Sriwijaya yang kelak dikenal sebagai kerajaan maritim yang dapat mengamankan lautan dan bahkan memaksakan banyak kapal untuk singgah di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya. Sementara itu, pada permulaan abad VII munculah dinasti T’ang yang kuat, yang mampu menarik kembali perdagangan serta mengabarkan berbagai produk pengobatan dari Sumatra lewat Materia Medica.

Sriwijaya selain dikenal sebagai negara perdagangan juga dikenal sebagai negara maritim, tentunya hal ini selalu dikait-kaitkan dengan pengamanan jalur pelayaran oleh Sriwijaya. Selain itu, pada masa sebelum Sriwijaya pun yang nantinya turut melatarbelakangi kemunculan Sriwijaya telah disinggung bagaimana para nahkoda melayu dapat berlayar hingga ke China dan Sri Lanka. Sebenarnya kekuatan maritim Sriwijaya sudah dapat dilihat dari prasasti Kedukan Bukit yang isinya menjelaskan mengenai perjalanan dan penaklukan yang dilakukan oleh Dapunta Hyang menggunakan perahu. 

Baca Juga :   Kerajaan Lamajang Tigang Juru: Arya Wiraraja dan Majapahit Timur

fakta “penaklukan menggunakan perahu” sangatlah menarik, karena ini menjelaskan bagaimana Sriwijaya menopang kekuatan maritim dan militernya lewat kekuataan maritim. Aspek kekuatan maritim kembali menonjol mungkin lewat prasasti Kota Kapur dari pulau Bangka. Prasati Kota Kapur memiliki dua pesan, pertama mengenai kutukan dan kedua mengenai invasi ke Bhumi Jawa. Ada kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa ini adalah wilayah Taruma seperti yang diutarakan oleh G.Coedes, hal ini semakin diperkuat bahwa tidak ditemukanya kabar pengiriman utusan oleh Tolomo (Taruma) ketika prasasti Kota Kapur dibuat yaitu sekitar tahun 666-669 masehi. letak kekuatan maritim Sriwijaya pada penaklukan Jawa adalah terletak pada penaklukan itu sendiri. Jawa dan Sumatra terpisah oleh selat, tentunya penaklukan ke Jawa menggunakan Selat Sunda. Adapun jalan kedua adalah dengan melewati pesisir barat Sumatera. Nah dari kedua jalur tadi, keduanya bersinggungan dengan aspek laut, mau tidak mau Sriwijaya menggunakan kekuatan kapal maupun perahu dalam mengangkut pasukan. Maka dari analisis ini dapat diambil kesimpulan, bahwa Sriwijaya memang memiliki kekuatan maritim. 

Selain itu, ada kaitan antara perdagangan dengan maritim pada awal-awal masa berdirinya Sriwijaya. Dalam dua aspek ini, akan menentukan bagaimana cara Sriwijaya memperluas wilayah dan mempertahankan hegemoni perdagangan dengan cara-cara kekerasan lewat lautan. Maka tidaklah heran apabila Sriwijaya memiliki kekuatan militer yang terdiri dari kapal-kapal raja yang dinahkodai oleh orang Melayu yang tujuanya sama seperti tujuan pada invasi Sriwijaya ke Kedah dan Pelabuhan saingannya yang lain.

Aspek maritim dan perdagangan juga mempengaruhi pola pemerintahan Sriwijaya pada masa awal-awal pembentukan dan perluasan, yaitu bahwa Sriwijaya lebih menduduki wilayah-wilayah strategis dan tidak benar-benar menguasainya, artinya masih terdapat hubungan longgar antara wilayah taklukan dengan wilayah pusat di Palembang.

Selain itu, dalam prasasti kedukan bukit juga secara tidak langsung memberikan gambaran bagaimana peran maritim bagi berlangsungnya kerajaan Sriwijaya. Dapat dipastikan bahwa kekuatan maritim itu juga telah menentukan bagaimana arah kebijakan Sriwijaya terutama dalam kaitannya dengan populasi bahari yang ada di pesisir Sumatera. Dalam prasasti Kedukan Bukit, memberikan gambaran bagaimana raja dapat memanggil orang-orang Bahari untuk berkumpul dan membentuk armada yang kuat. Seperti yang diutarakan, kekuatan maritim Sriwijaya baik ketika awal pembentukan, perluasan hingga kejayaanya sangat erat terkait dengan kaum bahari atau komunitas pemukim bahari. Siapakah orang-orang Bahari ini? dan apa alasan Sriwijaya menggunakanya? Apakah nantinya erat kaitanya dengan penguasaan laut oleh Sriwijaya dalam memberikan pengamanan laut dari perompakan dan kemudian dapat memaksa kapal-kapal China untuk berlabuh di pelabuhan Sriiwjaya?

Kerajaan Sriwijaya yang telah dikenal sebagai kerajaan maritim bahkan sejak awal berdirinya pastilah memiliki kekuatan laut yang besar. Tidak hanya dalam jumlahnya, akan tetapi juga keterampilan dan kekuatanya. Jika kita kembali lagi ke akhir abad VI dan awal abad VII kita akan melihat bagaimana Sriwijaya muncul sebagai akibat dari runtuhnya kerajaan Funan, yang pada waktu itu menjadi negara maritim yang mampu memberi keamanan laut dari para perompak Campa. Menurut saya, perompakan tidak hanya terjadi di Campa, pastilah perompakan juga terjadi di beberapa pusat perdagangan seperti Palembang, Jambi, dan Malaka. Kemudian, kita hubungkan bagaimana Sriwijaya hadir dalam kondisi tersebut dengan membawa keamanan laut? dalam hal ini, ternyata Sriwijaya mampu menjalin kerjasama dengan para perompak, artinya Sriwijaya menempatkan para perompak ini sebagai satuan dan kepala armada maritim. Sriwijaya mampu memberikan pengaruhnya dengan mempengaruhi para perompak untuk menjadi bagian dari armada maritim Sriwijaya, mengubah para perompak yang tadinya mengganggu stabilitas pelayaran dan perdagangan menjadi armada laut yang mampu memberikan kenyamanan berlayar dan keamanan berdagang (Malasari). Selain itu, dari segi komposisi penduduk, kerajaan Sriwijaya memiliki komposisi penduduk bahari yang besar, mereka hidup di bantaran-bantaran sungai Musi di Palembang yang dapat terhubung ke pantai. Hal ini memperjelas bahwa maritim pada kerajaan Sriwijaya merupakan suatu kebudayaan yang tak terpisahkan.

Daftar Pustaka

Wolters, O.W. 1967. Kebangkitan&Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII. Diterjemahkan oleh Sutanto, Rahmat Edi. 2017. Depok:Komunitas Bambu.

Wolters, O.W. 1970. Kejatuhan Sriwijaya Kebangkitan Malaka. Diterjemahkan oleh Partogi, Sebastian, dkk. 2019. Depok:Komunitas Bambu.

Hamid, Abd Rahman. 2018. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta:Penerbit Ombak Dua

Muljana, Slamet. 2011. Sriwijaya. Yogyakarta:LKIS Printing Cemerlang

Coedes, G dkk. 2014. Kedatuan Sriwijaya. Diterjemahkan oleh Prasetyo, Arif Bagus dkk. Depok:Komunitas Bambu.

Poesponegoro, Marwati Djoened, Nugroho Notosutanto, dan Sumadio, Bambang (Ed). 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta:Balai Pustaka.

Rachmad, Yopi. (2012). Budaya Bahari Masyarakat Sriwijaya Pada Masa Pra-Modern. JASMERAH:Journal of Education and Historical Studies. Volume 1(2). Hlm.23-30.

Pradhani, Sartika Intaning. (2017). Sejarah Hukum Maritim Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam Hukum Indonesia Kini. Lembaran Sejarah. Volume 13(2). Hlm 186-203.

Nurrohim. (2020). Kerajaan dan Komunitasnya:Sejarah dan Teori Keberadaan Komunitas Bahari di Masa Sriwijaya. Tsaqofah&Tarikh. Volume 4(2).

Sholeh, Khabib, Widya Novita Sari, dan Lisa Berliani. (2019). Jalur Pelayaran Perdagangan Kuno Di Selat Bangka Sebagai Letak Strategis Berkembangnya Kekuasaan Maritim Sriwijaya Abad VII-VIII Masehi. Sundang:Jurnal Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah. Volume 1(1). Hlm. 25-36

Yuliati. (2014). Kejayaan Indonesia Sebagai Negara Maritim (Jalesveva Jayamahe). Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewargaegaraan. Volumen 27(2).

S, Budisantoso. (2006). Sriwijaya Kerajaan Maritim Terbesar Pertama di Nusantara. Jurnal Ketahanan Nasional. Volume 11(1).

Sholeh, Khabib. (2019). Pelayaran Perdagangan Sriwijaya dan Hubunganya dengan Negeri-Negeri Luar pada Abad VII-IX Masehi. Jurnal HISTORIA. Volume 7(1).

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts