Kebijakan Moneter dan Deregulasi Perbankan Masa Orde Baru

Dalam perjalannya selama memerintah Indonesia selama 31 tahun (1967-1998) rezim Orde Baru telah banyak memberikan pengaruh bagi Indonesia. Seperti di bidang politik, ekonomi, luar negeri dan sosial-budaya. 

Oleh :  Ramadan Putra

Orde baru di bawah Presiden Suharto yang juga mendapatkan gelar Bapak Pembangunan telah banyak mengeluarkan dan menerapkan berbagai macam kebijakan khususnya di bidang moneter-perbankan. Kebijakan tersebut ditujukan menunjang agenda pembangunan Indonesia selama pemerintahannya. Dimulai dari pemberlakukan Undang-Undang No. 1 Tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang No.6 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri 1968, devaluasi rupiah, dan serentetan kebijakan deregulasi sepanjang awal dekade 1980-an sampai pertengahan dekade 1990-an.

Selama kurun waktu 1974-1981, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) rata-rata sekitar 7% per tahun. Pertumbuhan yang besar ini dihasilkan dari besarnya nilai ekspor minyak bumi Indonesia. Penyebab naiknya harga minyak bumi Indonesia di pasaran dunia disebabkan oleh dua faktor yaitu: Pertama terjadi berkat embargo ekspor minyak bumi yang dilakukan negara-negara anggota OPEC, khususnya negara-negara Arab pada tahun 1973 terhadap negara-negara Barat yang mendukung Israel (Perang Yom Kippur yang terjadi pada bulan Oktober 1973). Kedua yaitu pada akhir tahun 1978 akibat terjadinya revolusi di Iran yang menggulingkan Shah Iran.

Namun keuntungan yang dihasilkan dari minyak bagi Indonesia tidak bertahan lama. Jatuhnya harga minyak dapat dilihat dari beberapa faktor seperti: penggunaan energi alternatif yang dilakukan oleh negara-negara maju sejak tahun 1973 akibat dari embargo minyak, pertumbuhan ekonomi yang lambat akibat krisis energi di tahun 1979 yang menyebabkan resesi ekonomi di tahun 1982 yang melanda negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa sehingga permintaan minyak mentah sebagai sumber energi berkurang, dan puncaknya ketika negara-negara OPEC memutuskan untuk tetap mempertahankan tingkat suplai produksi minyaknya di tahun 1986 telah pula mendorong terjadinya kelebihan suplai minyak bumi di pasaran dunia ditambah dengan meningkatnya produksi minyak bumi di negara non OPEC seperti Meksiko dan beberapa negara di Eropa ikut menyebabkan jatuhnya harga minyak bumi. Akibat jatuhnya harga minyak bumi maka pada tahun 1982 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai titik terendah, yakni 2,3%. Jatuhnya harga minyak dan resesi perekonomian dunia sangat membebani perekonomian Indonesia di awal dekade 1980-an. Minyak yang menjadi sektor utama pemasukan bagi negara sudah tidak bisa diandalkan. Pemerintah Indonesia harus mencari sektor lain selain minyak yang dapat dijadikan pemasukan utama bagi negara. 

Untuk mendukung sektor non migas menjadi sektor utama dalam rangka mengatasi jatuhnya harga minyak, resesi, dan menjaga kestabilan ekonomi maka pemerintah Indonesia perlu mengambil kebijakan di bidang Moneter. Kebijakan Moneter adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengatur peredaran uang dan tingkat bunga bank, kebijakan moneter dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral sekaligus otoritas moneter di Indonesia. Kebijakan moneter terdiri dari operasi pasar terbuka, mengubah tingkat bunga dan tingkat diskonto, persentase kas terendah, pengawasan pinjaman secara selektif dan pembujukan moral.

Kebijakan moneter pada dasarnya sangat diperlukan dalam menghadapi keadaan ekonomi tertentu seperti booming dan resesi seperti yang dihadapi oleh Indonesia di tahun 1980-an terutama setelah jatuhnya harga minyak bumi. Muchdarsyah Sinungan mendefinisikan :

 “Kebijakan moneter yang praktis dan fleksibel amat diperlukan dalam menghadapi keadaan ekonomi tertentu. Kebijakan moneter dan kredit yang luwes berarti suatu kemampuan yang tinggi untuk bergerak dengan cepat dalam menjawab perubahan-perubahan dalam suasana ekonomi”.

Baca Juga :   Sastra Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang

Kebijakan moneter saja tidaklah cukup untuk menanggulangi kemerosotan ekonomi Indonesia akibat dari resesi dan jatuhnya harga minyak. Untuk memacu sektor non migas supaya dapat berkembang maka diperlukan modal untuk merangsang kegiatan di sektor non migas. Pemerintah Indonesia harus memanfaatkan dana yang ada. Dana yang digunakan sebagai modal adalah dari dana yang ada di dalam negeri yang berasal dari tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat. Hal ini disebabkan bantuan dana berupa pinjaman dari negara-negara maju dan hasil pendapatan dari minyak tidak selalu bisa diandalkan akibat terkena dampak resesi dan jatuhnya harga minyak bumi. 

Untuk mendapatkan dana tersebut diperlukan kebijakan deregulasi khususnya dalam bidang perbankan. Karena dalam proses menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali merupakan tugas dari lembaga keuangan yaitu bank. Watterson mendefinisikan :

“Deregulasi merupakan pengurangan aturan maupun kendala yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan dunia usaha”.

Setidaknya ada sekitar 5 buah paket deregulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dalam bidang perbankan. Pertama Kebijakan 1 Juni 1983 yang berfokus kepada penghimpunan dana dan penyaluran dana oleh bank pemerintah, kedua Paket 28 Oktober 1988 yang berfokus kepada pendirian bank dan penghimpunan serta penyaluran dana, ketiga Paket 29 Januari 1990 yang berfokus kepada pemberian Kredit Usaha Kecil, keempat Paket 28 Februari 1991 yang berfokus kepada prinsip kehati-hatian, dan kelima Paket 29 Mei 1993 yang berfokus kepada penyempurnaan kredit. Selain kebijakan deregulasi dalam bidang perbankan, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan deregulasi dalam bidang lain seperti dalam bidang ekspor-impor dan otomotif. 

Pengertian, Tujuan dan Instrumen Kebijakan Moneter - indotesis.com ...
Ilustrasi mengenai kebijakan moneter
medium.com

Namun Pemerintah Indonesia lebih memfokuskan kebijakan deregulasi untuk sektor moneter-perbankan yang menjadi bagian dari ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan neraca pembayaran. Sedangkan kebijakan deregulasi dalam sektor riil yang bergerak dalam sektor usaha dan produksi yang menjadi bagian dari ekonomi mikro kurang diperhatikan. Penyebab pemerintah lebih memfokuskan sektor moneter perbankan dibandingkan sektor riil adalah karena permasalahan ekonomi Indonesia yang sangat struktural dan kuatnya pengaruh kekuatan-kekuatan ekonomi yang dekat dengan penguasa. Kedua sumber persoalan ini mempunyai hubungan yang berkaitan.

Hal ini terbukti, ketika pertumbuhan ekonomi dan kredit Indonesia meningkat pasca dikeluarkannya Paket 1 Juni 1983 dan Paket 27 Oktober 1988 yang menekankan penghimpunan dan penyaluran dana serta pendirian bank, ternyata masih ada beberapa pengusaha khususnya pengusaha kecil yang tidak mendapatkan kredit untuk usahanya padahal dana yang dihimpun banyak dan kredit yang disalurkan juga cukup banyak. Seperti yang dicontohkan oleh Krisna Wijaya mengenai nasib pengusaha kecil di Indonesia yang mengalami kesulitan dalam memperoleh dana untuk usahanya, hal ini terjadi akibat tumpang-tindihnya kebijakan antar deregulasi baik dalam bidang perbankan maupun bidang lain. Disisi lain kebijakan deregulasi perbankan menekankan pengumpulan dana namun kebijakan untuk sektor riil yang akan mengelola dana tersebut kurang sehingga kalangan perbankan hanya memberikan kredit kepada pihak-pihak tertentu dan enggan untuk menolong pengusaha-pengusaha kecil. 

Hal ini menyebabkan Bank Indonesia harus mengeluarkan kebijakan baru yang mengatur batas minimal pemberian khususnya Kredit Usaha Kecil sebesar 20% pada tahun 1990. Namun Kebijakan 29 Januari 1990 masih belum menyelesaikan permasalahan dan justru malah meningkatkan permasalahan seperti kredit macet dan pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang mengharuskan pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan baru yaitu Kebijakan 28 Februari 1991 yang memiliki ketentuan berupa prinsip kehati-hatian yang bertujuan untuk menekan pertumbuhan bank dan kredit serta pembenahan internal bank sehingga lembaga perbankan tetap sehat dan stabil. Namun kebijakan ini hanya berlaku sementara dalam mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh kebijakan sebelumnya. 

Baca Juga :   Sepak Terjang Sriwijaya dalam Perdagangan dan Maritim
SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode 1983-1997 Cakupan ...
Paket 1 Juni 1983 adalah paket deregulasi perbankan pertama yang diterapkan untuk bank pemerintah. Diluncurkan oleh Gubernur BI ke-8 Arifin Siregar
Sumber: www.bi.go.id

Dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian maka bank-bank diwajibkan melakukan pembenahan diri sesuai dengan Paket 28 Februari 1991. Pembenahan diri yang menyangkut internal dan modal pada bank menyebabkan bank menaikkan suku bunganya agar mempunyai dana yang cukup untuk memenuhi ketentuan dari Paket 28 Februari 1991. Dengan naiknya suku bunga maka kredit menjadi mahal dan menyebabkan turunnya pertumbuhan kredit dan usaha Indonesia pada tahun 1991-1993 dan untuk mengatasi hal tersebut sekali lagi pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan 29 Mei 1993 yang berfokus kepada penyempurnaan sektor perkreditan dan pelonggaran prinsip kehati-hatian. 

Gambar Paket 28 Oktober 1988 merupakan paket deregulasi terbesar pengaruhnya terhadap perkembangan perbankan di Indonesia. Diluncurkan oleh Gubernur BI ke-9  Adrianus Mooy
Sumber: www.bi.go.id

Dengan dikeluarkannya paket 29 Mei 1993 sektor perkreditan berangsur-angsur pulih diikuti dengan meningkatnya arus ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Namun permasalahan seperti belum meratanya kredit untuk pengusaha kecil, kredit macet, kuat peran konglomerat dan bank-bank yang bermasalah masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan hingga datangnya krisis ekonomi di tahun 1997 yang kelak merembet dari sektor moneter ke perbankan dan juga ke sektor lain seperti politik dan sosial. 

Sumber : 

  •   Andrinof Chaniago, Gagalnya Pembangunan Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru ( Jakarta: 2012 LP3ES)
  • ·         Muchdarsyah Sinungan, Kebijaksanaan Moneter Orde Baru (Jakarta: Bina Aksara 1987)
  • ·         Sjahrir, Kebijakan Negara Mengantisipasi Masa Depan (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia 1994)
  • ·         Soeharsono Sagir, Minyak,Resesi Dunia dan Prospek Ekonomi Indonesia, (Bandung: Alumni 1983
  • ·         Soedradjat Djiwandono, dkk., Sejarah Bank Indonesia Periode IV : 1983-1997 Bank Indonesia pada masa Pembangunan dengan Pola Deregulasi (Jakarta : Bank Indonesia 2006)

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts