Menggali Sejarah Goa Lowo Sampung Ponorogo Sebagai Salah Satu Situs Purbakala di Indonesia

Pada masa Pra Aksara (sebelum mengenal tulisan), Ponorogo telah menyumbangkan kebudayaan besar dalam perjalanan Sejarah Nasional Indonesia yang dikenal dengan “Kebudayaan Sampung”. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya Goa Lowo Sampung yang terletak di Desa Sampung, Kecamatan Sampung, Ponorogo.  

Oleh: Eka Tia Wardani

Goa Lowo Sampung merupakan salah satu dari beberapa goa tempat tinggal manusia purba yang ditemukan di Indonesia. Disebut sebagai Goa Lowo karena dulu banyak Lowo (Kelelawar) yang hidup dalam goa. Begitu banyak nilai arkeologis yang terdapat dalam goa ini. Pada saat itu, goa seakan-akan menjadi sebuah perkampungan manusia dan mereka meninggalkan jejak-jejak kebudayaannya. Kebudayaan manusia purba yang tinggal di goa-goa ini disebut “abris souse roche” (R. Soekmono,1981:41). Lebar Goa Lowo Sampung ini sekitar 17-18 m dengan ketinggian sekitar 14 m. Sedangkan luas halaman situs Purbakala Goa Lowo Sampung sendiri sekitar 50×40 m.

GOA LOWO SAMPUNG PONOROGO - YouTube
Gambar Goa Sampung Ponorogo
https://www.youtube.com/watch?v=h2iE6zeMzWY

Terbukti bahwa penggalian dan penelitian pertama kali Situs Goa  Lowo Sampung dilakukan pada tahun 1926 oleh Jean Chretien van Es ( Seorang Geolog Belanda), yang kemudian dilanjutkan oleh Van Stein Callefels (Arkeolog Belanda) pada tahun 1928 sampai 1931 (Marwati dan Nugroho, 2010: 167-168; toni dkk,2004:3). Dalam hal ini Situs Goa Sampung termasuk ke dalam kategori kebudayaan mesolithik (batu tengah), yang diperkirakan berlangsung sejak akhir plestosen atau sekitar 10.000 tahun yang lalu (Slamet Sujud, 2013:26), yang oleh Robbert van Heekern (Pakar Pra Sejarah Belanda) disebut “Mesolithik  Jawa” (Hubert, 1998:67). 

C:\Users\Acer\Downloads\temuan artefak.jpg
Alat dari Tulang dan Batu
Solopos.com

Dalam proses penelitian telah ditemukan alat-alat peninggalan pada masa purba. Alat-alat tersebut terdiri dari batu, tulang, dan alat dari perunggu serta besi sebagai berikut: 

  1. Alat-alat dari Batu

Alat-alat dari batu diantaranya :

  1. Mata Panah

Mata panah  sebagai salah satu alat yang digunakan untuk berburu dan meramu pada zaman pra aksara. Mata Panah yang ditemukan ini pada umunya berbentuk segitiga dengan bagian basis bersayap dan cekung, cembung, dan bahkan rata tidak bersayap. Sedangkan ukurannya  memiliki panjang 3-6 cm, lebar 2-3 cm, dengan ketebalan rata-rata 1 cm. Bahan yang digunakan untuk mata panah ini berasal dari batu gamping yang ditarah dari dua arah sehingga menghasilkan tajaman yang bergerigi atau berliku-liku dan tajam.

  1. Flakes (Alat Serpih)

Alat serpih atau flakes ini merupakan perkakas-perkakas yang berbentuk sederhana yang berbentuk kerucut. Sesuai dengan bentuknya yang kerucut alat tersebut digunakan sebagai penggaruk atau serut, penusuk dan pisau.

  1. Batu Penggiling (Pipisan)

Pipisan merupakan batu penggiling lengkap yang memiliki landasan. Alat ini digunakan sebagai penggiling makanan sekaligus berfungsi untuk menghaluskan cat merah yang berasal dari tanah merah.

  1. Alat-alat dari Tulang

Jenis alat tulang yang banyak ditemukan pada masa ini merupakan tulang-tulang dari binatang. Dalam penemuan ini diprakarsai oleh L.J.C Van Es dengan melakukan ekskavasi di timur laut Gua Lawa. Bahkan ekskavasi ini mencapai kedalaman 13, 75 m dibawah permukaan tanah. Sedangkan beberapa fosil tulang memiliki kedalaman sekitar 11,50 m dengan lapisan atas gua setebal 3,50 m. Disinilah van Es menemukan serpih-serpih sederhana berupa alat-alat tulang yaitu 2 macam bentuk sudip tulang (digunakan untuk mengorek dan membersihkan kulit umbi-umbian) dan belati dari tanduk (yang digunakan untuk menggali umbi-umbian), lesung batu, perhiasan kulit kerang,dan rangka manusia dalam sikap terlipat dan gigi serta tulang-tulang binatang. 

  1. Alat-alat dari Perunggu dan Besi

Namun bagian terbesar alat-alat yang ditemukan di Gua Lawa Sampung ini terdiri dari “alat-alat dari tulang” sehingga disebut sebagai “Sampung Bone Culture” (R. Soekmono, 1981:41-42). Sedangkan Robert Van Heekern menyebutnya dengan istilah “Budaya Sampungian” (Hubert,1988: 67).

Baca Juga :   Sejarah Masuknya Islam ke Eropa

Menurut R. Soekmono (1981: 41), dalam situs Goa Lowo Sampung sebagian besar ditempati oleh manusia jenis “Papua Melanesoid”. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh Saptomo dkk (2008) dalam laporan penelitian Arkeologi Goa Lowo Sampung bahwa telah ditemukan 7 buah kerangka manusia yang bercirikan Papua Melanesoid, namun hanya 2 yang masih utuh (Bagyo, 2014: 5). Ras atau bangsa Papua Melanesoid yang mendiami Gua Lawa Sampung memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut:

  1. Warna kulit gelap, kadang hitam tetapi tidak sama dengan ras Negroid.
  2. Rambut sangat kasar dan keriting.
  3. Memiliki hidung yang lebar.
  4. Mulutnya agak menonjol kedepan dan giginya besar-besar.
  5. Tinggi badannya sekitar 170 cm untuk laki-laki (Hariman dan Subandriyo, 2016: 39; Marwati dan Nugroho, 2010:149).

Dalam segi kehidupannya, mereka sudah mulai hidup menetap dengan tinggal di Gua secara berkelompok/ individu. Selain itu juga mulai bercocok tanam secara sederhana, berburu dan mengumpulkan makanan. Di zaman ini mereka melakukan cocok tanam dengan berpindah-pindah sesuai kesuburan tanah. Sebagian besar yang mereka tanam berupa umbi-umbian dan sudah mulai menjinakkan hewan untuk diternak. Menurut Soepomo dkk, mereka juga mengenal sistem penguburan mayat dengan posisi kaki terlipat dan tangan ditekuk didepan tubuh, bagian atasnya ditindih dengan lempengan batu utuh yang digunakan untuk melindungi gangguan dari binatang buas.

DAFTAR PUSTAKA

Bagyo Prasetyo. 2014. Perkembangan Budaya Akhir Pleistosen-Awal Holosen Di Nusantara, Dalam KALPATARU : Majalah Arkeologi Volume 23 Nomor 1, Mei 2017

Hubert Forestier. 1988. Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu Pra Sejarah Song Keplek, Gunung Sewu Jawa Timur. Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia

 Marwati Djoened Poesponegoro. 1981. Sejarah Nasional Indonesia 1. Jakarta: Balai Pustaka

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka

R. Soekmono. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid I. Yogyakarta: Kanisius

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts