Pangeran Mangkubumi: Sebuah Konflik dan Kontestasi Politik

Oleh: Raymizard Alifian

Sejarah Kerajaan Mataram pada masa lampau banyak diwarnai oleh sengketa di antara para pangeran, lebih-lebih jika masalah yang dihadapi menyangkut suksesi. Meski ketika penguasa yang sah sudah memberi gelar putra mahkota kepada pewaris, namun ketika sang penguasa wafat, pelantikan sering kali tidak berjalan mulus. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa di balik pergantian tahta itu, tetapi faktor kekuasaan yang berdasarkan wahyu cakraningrat atau wahyu kraton masih berakar amat menonjol adalah konsep kekuasaan dalam pemikiran kebudayaan Jawa. Konsep kuat dalam pemikiran mengenai calon yang dapat menjadi pengganti raja. Di kalangan masyarakat tradisional Jawa, kekuasaan itu berkaitan dengan turunan Wahyu.

Pangeran Mangkubumi adalah salah satu penguasa yang paling berkuasa dalam sejarah Jawa modern. Mungkin hanya Sultan agung dan pangeran Mangkubumi yang benar-benar layak disebut “besar” di antara semua penguasa dari Mataram hingga masa berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia. Kedua tokoh ini sangat memahami peluang-peluang dan keterbatasan-keterbatasan kuasa raja Jawa. Mereka juga berhasil memanipulasi posisi raja untuk menciptakan keagungan dan kehormatan yang lebih besar pada diri mereka. Ketika wafat, mereka bahkan meninggalkan kerajaan-kerajaan yang lebih stabil dan lebih kuat ketimbang saat mereka naik tahta. Keduanya adalah jenderal yang berhasil dan pengalaman di medan perang ini sangat penting dalam pembentukan kemampuan mereka dalam mencapai kebesaran sebagai seorang raja Jawa.

Mengenal Pangeran Mangkubumi

Raden Mas Sujana adalah putra dari Amangkurat IV dari istri selir bernama Mas Ayu Tejawati. Menurut Babad Giyanti, Raden Mas Sujana semasa masih kecil pernah menyamar menjadi rakyat jelata bernama Bagus Mahadin. Menjadi pelayan seorang janda dari dusun Botokan bernama Biang Sanun, seorang penjual Gempol dan pencari kapas untuk dijual. Menyamar sebagai Bagus Saprin yang menjadi pelayan seorang penjual kuda bernama Ki Gendari dari dusun Pedan. Upaya itu sudah dirasa cukup untuk merasakan nasib sebagai rakyat jelata. Setelahnya, Raden mas Sujana menghadap Sunan Pakubuwana II. Oleh penguasa Kartasura dan Surakarta itu, Raden Mas Sujana mendapat gelar Pangeran Mangkubumi.

Sesudah dewasa, Pangeran Mangkubumi sudah melakukan laku prihatin dengan bertapa kungkum (berendam) di Kali Pepe dan Kali Sanggung. Salah satu laku orang jawa ini dilaksanakan oleh Pangeran Mangkubumi untuk mematangkan rohani dan kesentosaan jiwanya. Berkat kesentosaan jiwa dan kesaktiannya itu, Sunan Pakubuwono II memberi kepercayaan kepada pangeran Mangkubumi untuk merebut tanah Sukawati yang telah dikuasai oleh tumenggung Martapura dan Raden Mas Said. Dengan imbalan, bagi siapa saja yang dapat merebut tanah Sukawati, akan mendapat tanah seluas 3000 cacah (hitungan berdasarkan kepala keluarga).

Pada bagian pertama Babad Giyanti ini pula menjelaskan bahwa Raden Mas Said merupakan salah seorang putra pangeran Arya Mangkunegara (adik Sunan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi). Raden Mas Said memiliki 4 saudara laki-laki, yakni Pangeran Buminata, Pangeran Singosari, Pangeran Pamot, dan Pangeran Mangkudiningrat.

Geger Pacinan dan Berdirinya Keraton Surakarta.

Pada tahun 1740 pecah keributan antara orang Tionghoa dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang menjalar dari Batavia ke Jawa Tengah. Di Batavia, lebih dari 10.000 orang Tionghoa mati terbunuh oleh VOC. Selebihnya banyak yang berhasil melarikan diri ke Jawa Tengah. Akibat peristiwa itu, Keraton Kartasura mengalami kekacauan. Pakubuwono II tidak dapat mengatasi kerusuhan yang timbul akibat adanya aliansi antara Amangkurat V (Sunan Kuning), Pangeran Sambernyawa, dan para Tionghoa peranakan. Konflik ini juga akibat titah Sunan Pakubuwana II sendiri yang dirasa tidak konsisten. Sunan Pakubuwana II terpaksa mengungsi ke daerah sekitar gunung Lawu. Sumber lain mengatakan bahwa Pakubuwana II mengungsi ke daerah Ponorogo.

Baca Juga :   Babak terakhir Makassar vs Belanda

Keadaan bisa dipulihkan keamanannya setelah Pakubuwono II meminta bantuan VOC. Namun, bantuan tersebut tidaklah gratis. Hal yang harus dipenuhi oleh Pakubuwana II adalah menyerahkan pantai utara jawa kepada VOC. Ditambah, VOC berhak mengintervensi pemerintahan Surakarta.  Berhubung ibukota pernah diduduki musuh, maka ibu kota menurut kepercayaan Jawa harus dipindah. Ibukota Mataram pindah dari Kartasura ke Surakarta. Pada tahun 1744 VOC menitipkan orangnya, yang bisa digunakan untuk memuluskan kepentingannya. Kaki tangan VOC ini ini dilegalkan dalam bentuk kelembagaan yaitu pepatih dalem (Rijsbeestuurder). Pepatih dalem inilah yang sesungguhnya menjadi pelaksana pemerintahan di Keraton Mataram titik kedaulatan Keraton Surakarta benar-benar diintervensi oleh VOC secara vulgar.

Perang Suksesi Jawa III & Perjanjian Giyanti

Meletusnya Perang Suksesi Jawa III dimulai sejak Pangeran Mangkubumi yang merasa kecewa dengan kebijakan Sunan Pakubuwana II yang mengurangi tanahnya seluas 3000 cacah hingga 1 nambang. Akibatnya, pangeran Mangkubumi keluar dari istana Surakarta dan beralih memusuhi sunan Pakubuwana II dan Kompeni. 

Selama memusuhi Sunan Pakubuwana II dan Kompeni, Pangeran Mangkubumi yang dalam Babad Giyanti dikenal dengan Sunan Kabanaran. Pangeran Mangkubumi yang mulanya bermusuhan dengan Pangeran Sambernyawa, akhirnya bekerjasama.  Dalam upaya lebih mempererat hubungan antara keduanya, Pangeran Mangkubumi menikahkan Pangeran Sambernyawa dengan Raden Ayu Inten putrinya. Hal ini merupakan pernikahan politik yang sering dilakukan oleh keluarga kerajaan-kerajaan di tanah Jawa. 

Gerilya yang dilakukan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa dalam menghadapi Pakubuwana II yang dibantu VOC ini juga disebut Perang Mangkubumen. Dalam Perang Mangkubumen, Pangeran Mangkubumi menggunakan gelar Sultan Pakubuwana untuk mengimbangi gelar Sunan Pakubuwana di Surakarta.

Peta gerilya Pangeran Mangkubumi
Sumber : Sekaten 2019, hasil foto penulis

Melihat Perang Mangkubumen yang tak kunjung berkesudahan. Nicholas Hartingh (Gubernur Jawa Utara) mengadakan perundingan dengan Pangeran Mangkubumi. Setelah beberapa kali melakukan kesepakatan, Nicholas Hartingh menyetujui kehendak Pangeran Mangkubumi yang juga hendak menjadi salah satu penguasa di Jawa. Pada 4 November 1754, Pakubuwana III (penerus Pakubuwana II) menyepakati hasil perundingan ini. Hal ini disusul oleh Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 di desa Giyanti. Penjanjian ini menjadi pangkal dari terbelahnya tanah Jawa menjadi dua, atau yang lebih dikenal dengan Palihan Nagari.

Perundingan antara Pangeran Mangkubumi, Sunan Pakubuwana III, dan Nicholas Hartingh 
Sumber: relief berdirinya keraton Yogyakarta, hasil foto penulis.

Berselang dua hari seusai Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I) melakukan perjanjian di Lebak, Jatisari, bersama dengan Pakubuwana III. Perjanjian Jatisari merupakan upaya dalam memperjelas pondasi kebudayaan dari kedua kerajaan. Hasil perjanjian Jatisari berupa, Sultan Hamengkubuwana I meneruskan budaya Mataram, sedangkan Sunan Pakubuwana III memberi pembaharuan budaya.

Hal ini menjadi penyebab keretakan hubungan antara Pangeran Mangkubumi dengan Pangeran Sambernyawa berujung dengan perseteruan. Setelah proklamasi berdirinya Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat pada 13 Maret 1755 oleh Pangeran Mangkubumi. Timbul rasa cemburu dari Pangeran Sambernyawa. Pada Februari 1756, Pangeran Sambernyawa hampir membakar keraton yang baru saja didirikan. Namun, setelah bertahun-tahun berperang. VOC menyudahinya dengan menandatangani perjanjian Salatiga, yang kelak menjadi Kadipaten Mangkunegaran.

Sultan Hamengkubuwana I & Keraton Yogyakarta.

Pada tanggal 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengkubuwono I mulai menempati Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini ditandai dengan dibuatnya Candrasengkala memet berbentuk dua patung naga yang ekornya saling melilit, sengkala itu berbunyi “Dwi Naga Rara Tunggal”. Ini merujuk tahun Jawa 1682, atau 1756 M.

Siti Hinggil Keraton Yogyakarta
Sumber: hasil foto penulis.

Dibangunnya kota Yogyakarta di hutan pabringan hal ini ada sejarahnya.tempat ini pernah merupakan kota kecil yang indah di mana ada istana Pesanggrahan yang disebut Garjitawati. Pada zaman pemerintahan Pakubuwana II Pesanggrahan ini diberi nama Yogyakarta dan dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para raja yang akan dimakamkan di Imogiri. Untuk mengabadikan nama itu, ibukota daerah Sultan Hamengkubuwono I diberi nama Ngayogyakarta. Ngayogyakarta berasal dari 2 kata yaitu Yogya dan karta. Yogya berarti pantas, terhormat, indah, bermartabat, mulia. Karta berarti perbuatan, karya, Amal.dengan demikian Ngayogyakarta berarti tempat indah yang selalu dibuat bermartabat dan terhormat.

Baca Juga :   KAMIKAZE: Demi Kehormatan dan Tanah Air

Dalam Babad Nitik Ngayogya, Sultan Hamengkubuwono digambarkan sebagai pemimpin yang bijaksana nan berwibawa. Disebutkan pula bahwa Sultan Hamengkubuwana I memiliki keahlian dibidang tata kota dan arsitektur. Tak heran, lokasi Keraton Yogyakarta yang sangat strategis dan memiliki makna dalam setiap bangunannya.

Sumber:

Buku

  • Rickfels, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Alih bahasa Tim penerjemah Serambi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
  • Achmad, Sri Wintala. 2016. Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga. Yogyakarta: Araska.
  • Marwati D. P, Nugroho N (Ed). 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka.
  • Purwadi, Djoko Dwiyanto. 2008. Kraton Surakarta: Sejarah, Pemerintahan, konstitusi, Kesusastraan, dan Kebudayaan. Yogyakarta: Panji Pustaka.
  • Supadjar, Damardjati. 2001. Mawas diri. Yogyakarta: Philosophy Press.
  • Kustiniati. 1982. Pak Sultan dari masa ke masa. Jakarta: Gramedia.
  • Purwadi. 2010. The History of Javanese Kings. Yogyakarta: Ragam Media.
  • Margana, Sri. 2010. Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Revolta, Rara. 2008. Konflik Berdarah ditanah Jawa. Yogyakarta: Bio Pustaka.
  • Meinsma, J.J. 1987. Babad Tanah Djawi ; de prozaversie van Ngabehi Kertapradja / voor het eerst uitgegeven door J.J. Meinsma en getranscribeerd door W.L. Olthof. Dordrecht, Holland : Foris Publication.
  • Sastronaryatmo, Moelyono. 1981. Babad Mangkubumi. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Sastronaryatmo, Moelyono. 1981. Babad Kartasura II. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Daradjadi. 2017. Geger Pecinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC. Jakarta: Gramedia.

Diskusi

  • Rendra Agusta. (2019) Seminar Sejarah Sekaten 2019. Pangeran Mangkubumi dalam pusaran konflik di Surakarta 1740-1755. Kraton Yogyakarta hadiningrat, Yogyakarta.
  • Galih Adi Utama. (2019) Seminar Sejarah Sekaten 2019. Mangkubumi: Kontestasi Politik Sultan Hamengkubuwono I 1788-1790. Kraton Yogyakarta hadiningrat, Yogyakarta.

Tradisi Lisan

  • Tepas Pariwisata. interview. 15 September 2019. “Sejarah Keraton Yogyakarta”. Kraton Yogyakarta.

Internet

Video

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts