Kompetisi Sepakbola GALATAMA (1979-1994) Sebagai Cikal Bakal Kompetisi Profesional di Indonesia

Sepak bola sudah merasuki sendi masyarakat hingga menjadi sebuah budaya yang bisa menciptakan rasa untuk ikut memiliki andil yang luar biasa di antara penyukanya. Magisnya sepakbola menjadi sebuah daya tarik lintas budaya meluas, mulai dari budaya sepakbola yang kuat di masyarakat Eropa dan Amerika Selatan menyebar ke seluruh dunia dari Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Utara bahkan hingga ke Oseania. Persaingan antar kelas permainan sepakbola di negara-negara Latin mulai ditiru di Eropa Utara dan wilayah sepak bola baru lainnya. Sepakbola juga menampakkan keterlibatannya dari kaum perempuan di antara pemain, penonton, komentator, dan ofisial dalam perkembangannya.

Oleh: Arif I. Ismail

Sepanjang sejarah sepakbola tidak pernah layu dari persinggungan politik, sosial-ekonomi, rasial, ideologi, bisnis, gender dan juga budaya bahkan hingga ke masalah agama. Hingga saat ini eksistensi sepakbola selalu terjaga bahkan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Termasuk di Indonesia dan negara-negara di Benua Asia yang lainnya. Orang-Orang dari Belanda-lah yang pertama kalinya memperkenalkan sepakbola ini di Indonesia menggunakan pegawai-pegawai yang bekerja di instansi milik pemerintah Hindia Belanda. Para pegawai tersebut memilih sepakbola yang sedang digandrungi oleh masyarakat di Eropa saat itu untuk rekreasi dan kebugaran fisik mereka.

Awalnya sepakbola hanya boleh dimainkan oleh orang-orang pendatang berkulit putih atau orang Eropa, khususnya Belanda. Dilanjutkan oleh orang Etnis Tionghoa dan pada akhirnya oleh pribumi Indonesia, tetapi hal tersebut hanya untuk orang pribumi yang memiliki kelas sosial setara dengan orang Belanda. Pada masa berikutnya klub-klub sepak bola di kota-kota besar membentuk Perkumpulan Sepakbola atau dalam Bahasa Belanda disebut Voetbal Bond, yakni Soerabajas Voetbal Bond di Kota Surabaya, Bandung Voetbal Bond di Kota Bandung, Batavia Voetbal Bond di Kota Jakarta, dan Semarang Voetbal Bond di Kota Semarang. Kota Semarang pada tahun 1914 untuk pertama kalinya mengadakan pertandingan kejuaraan antar klub lokal dari empat kota besar di Pulau Jawa: Batavia, Surabaya, Bandung, dan Semarang. Pertandingan itu awalnya dikomandoi oleh komite ad hoc dari salah satu diantara keempat bond sepakbola yang ditunjuk sebagai tuan rumah, pada tahun 1919 baru dibentuk Nedherlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) untuk mengakomodasi pertandingan antar kota tahunan dengan terstruktur secara rapi.

Seiring perkembangan zaman NIVB lebih memberikan fokusnya kepada klub-klub yang dibentuk oleh Bangsa Belanda sendiri yang ada di Hindia Belanda, mengakibatkan sepakbola Tionghoa dan pribumi tidak begitu mendapat perhatian bahkan dianggap sebagai sepakbola kelas paling rendah. Dari keadaan tersebut masyarakat Tionghoa dan pribumi masing-masing mendirikan perkumpulan sepakbola yang mandiri dan independent tidak memiliki keterkaitan terhadap NIVB. Perkumpulan itu diwujudkan dengan terbentuknya PSSI (Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia) pada 19 April 1930 melalui suatu kongres yang diprakarsai oleh Soeratin Sosrosoegondo yang pada akhirnya didapuk sebagai ketua PSSI pertama yang bertempat di Kota Yogyakarta oleh tujuh organisasi klub yang pada akhirnya menjadi klub pendiri PSSI yakni, Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ), Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB), Perserikatan Sepakraga Mataram (PSM), Vortenlandsche Voetbal Bond (VVB), Madioensche Voetbal Bond (MVB), Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM), dan Soerabajashe Indonesische Voetbal Bond (SIVB). Perkumpulan sepakbola berbasis nasional yang telah ada sebelumnya disatukan ke dalam tubuh PSSI. Tujuan dari dibentuknya organisasi ini adalah untuk mengimbangi kekuasaan NIVB yang sudah tidak mampu mengorganisir kepentingan dan eksistensi sepakbola pribumi. PSSI memilik anggota berupa perserikatan di setiap kabupaten dan kota yang sedikitnya memiliki lima perkumpulan sepakbola. 

Baca Juga :   Perlawanan Serikat Buruh Cetak Typografenbond Semarang di Tahun 1920
Timnas Indoneisa 1979 (GALATAMA)
sumber: idntimes.com

Mulai tahun 1931, kompetisi Perserikatan diperkenalkan sebagai kompetisi rutin tahunan. Berupa kompetisi amatir yang diikuti oleh klub perserikatan mewakili daerah kabupaten atau kotanya. Bertahan selama 48 tahun dan melahirkan banyak klub sebagai sang juara kompetisi ini berstatus satu-satunya kompetisi resmi tingkat nasional di Indonesia. Memasuki tahun 1979 sepakbola Indonesia mempunyai kompetisi sepakbola baru yang memiliki konsep sebagai kompetisi semi-profesional bernama Galatama (Liga Sepak Bola Utama). Galatama beranggotakan klub-klub swasta yang dibentuk oleh sebuah perusahaan baik Badan Usaha Milik Negara maupun perusahaan swasta atau dari konglomerat yang gila terhadap sepakbola, serta sistem kompetisi yang dijalankan menggunakan sistem liga secara penuh. Kompetisi ini bisa dibilang sebagai revolusi dalam kompetisi dan pengembangan klub sepakbola di Indonesia. Galatama membawa perubahan besar yang sangat mendasar. Sebagai contoh, Sistem kompetisi yang diterapkan merupakan format liga dengan sistem satu wilayah. Tidak dapat dibantahkan lagi bahwa yang bisa menjadi pemenang kompetisinya adalah terbaik dari yang terbaik. Peserta kompetisi Galatama merupakan klub sepakbola yang memiliki pendanaan yang sehat dan didukung oleh perusahaan besar pada saat itu. 

Galatama saat itu dianggap sebagai ladang yang menjanjikan kesejahteraan pemainnya. Di lain hal Galatama disebut sebagai ‘sekolah tinggi’ nya sepakbola sedangkan Perserikatan merupakan ‘sekolah binaan’ yang membina pemain sebelum merumput ke Galatama. Semenjak bergulirnya Galatama kompetisi sepakbola resmi di Indonesia saat itu juga kompetisi sepak bola nasional terasa terbagi menjadi dua kutub. Perserikatan dan Galatama, berjalan secara pararel dengan format yang berbeda. Galatama memiliki tujuan sama dengan Perserikatan sebagai sebuah sistem kompetisi, yaitu mewujudkan tujuan PSSI untuk membangun dan meningkatkan kualitas persepakbolaan nasional dengan semangat sportivitas, persaudaraan, nasionalisme, kejujuran, dan profesionalisme.

Kompetisi ini tahun ke tahun mengalami fluktuasi kualitas. Kemudian muncul adanya kecurigaan main mata dalam pertandingan oleh segelintir klub, dan juga isu saling suap, Galatama semakin hari ditinggalkan oleh penontonnya, dan klub satu per satu mengundurkan diri. Galatama diterjang oleh masalah judi bola dan isu suap pengaturan skor yang semakin parah di awal tahun 1980-an. Jalannya pertandingan dan keputusan kontroversial dari pengadil lapangan sebagai salah satu indikasinya.

Tim Club Niac Mitra Surabaya 1983
Sumber: fandom.id

Di akhir hayatnya kompetisi Galatama semakin sepi setelah keputusan baru dari PSSI yang melarang pemain asing bermain di Galatama. Setelah itu Galatama semakin kehilangan nama besarnya dibanding kompetisi sebelah yang mengandalkan persaingan panas klub dan fanatisme kedaerahan. Sponsor semakin enggan mengucurkan dana dan penonton tidak lagi ramai seperti awal pembentukan, serta masalah terus muncul. Meski pengelolaan profesional, namun Galatama tidak terlalu kuat untuk tetap bertahan dalam keadaan merugikan. Pada tahun 1994 PSSI mengambil satu sikap dengan menggabungkan 2 poros kompetisi antara Galatama yang didasarkan oleh profesionalisme manajemen dan perserikatan dengan gaya fanatisme kedaerahan menjadi 1 dalam kompetisi bernama Liga Indonesia.

Daftar Pustaka

Eddi Elison. 2005. PSSI Alat Perjuangan Bangsa. Jakarta: PSSI.

Eddi Elison. 2014. Soeratin Sosrosoegondo: Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepakbola Kebangsaan. Yogyakarta: Ombak.

Sumohadi Marsis. 1992. Sepakbola Kita dalam Catatan Ringan. Jakarta: PT. Gramedia.

Kadir Yusuf. 1982. Sepak Bola Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

_______. 1979. Galatama Sepakbola: Mencatat Sejarah. Jakarta: PSSI.

_______. 2000. 70 Tahun PSSI: Mengarungi Millenium Baru. Jakarta: PSSI.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts